Mohon tunggu...
Silvia Nurul Afivah
Silvia Nurul Afivah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Semangat Sil!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

MK Putuskan UU Cipta Kerja Cacat Formil! Ini Penjelasannya

9 Juni 2022   20:10 Diperbarui: 9 Juni 2022   20:17 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam sidang pembacaan putusan oleh Hakim Konstitusi atas Perkara Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUUXVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 4/PUU-XIX/2021, serta Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas Uji Formil dan Uji Materil Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pada 25 November 2021.

Terhadap sidang putusan pengujian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dicap cacat formil karena tidak dibuat berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak melibatkan partisipasi publik yang luas, serta norma yang telah ditetapkan bersama oleh DPR dan Pemerintah mengalami perubahan dan pergantian ketika melalui tahap perundangan.

"Pembentukan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," ucap Anwar Usman.

Lalu, apa sebenarnya makna cacat inkonstitusional formil dan kondisional yang disebutkan Anwar Usman dalam sidang amar putusan UU Ciptaker?

UU Ciptaker dinyatakan inskonstitusional karna proses pembuatannya tidak sesuai dengan peraturan UU No. 11/2012 yang telah diubah menjadi UU No. 15/2019.
Yang mana memang UU ini dinilai tidak sesuai dengan cara pembuatan peraturan perundang-undangan dan tidak mengenal tata cara pembuatan omnimbus law.

Akan tetapi putusan MK ini menghasilkan putusan yang ambigu dimana hanya rancangannya yang dinyatakan cacat, namun Undang-Undangnya masih tetap berlaku.
Dengan demikian secara hukum UU Ciptaker dinyatakan tidak membatalkan dan tidak dinyatakan membuat tidak berlakunya suatu norma. Hanya saja UU ini adalah UU inskonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional.

Putusan MK ini bersifat final and binding dimana RUU ini hanya bersifat sementara selama masih tidak ada perbaikan dan revisi DPR dalam jangka dua tahun. Jika selama waktu yang diberikan tidak ada perbaikan maka secara permanen UU tidak dapat berlaku. 

Akibat dari putusan MK tersebut akhirnya pemerintah tidak diperbolehkan membuat dan melahirkan peraturan perundang-undangan lagi selama DPR belum melakukan perbaikan dan revisi terhadap undang-undang tersebut, namun untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan maka Undang-Undang tersebut berlakukan sementara. Hal itu juga ditegaskan presiden Joko Widodo bahwa selama kurun yang telah diberikan sampai DPR melakukan perbaikan maka seluruh isi dari Undang-undang tersebut berlaku. 

Terkait asas keterbukaan, RUU juga dinilai minim akan keterlibatannya masyrakat atau dapat dikatakan mengabaikan aspirasi masyarakat. Memang benar ada beberapa yang mengatakan bahwa dalam proses pembentuka peraturan perundang-undangan telah melakukan beberapa pertemuan dengan masyarakat. Namun hal itu tidak cukup karna dalam pertemuannya tidak dibahas mengenai materi apa yang akan diadakan perubahan dan dimuat dalam UU Cipta Kerja.

Yang lebih disayangkan lagi yaitu pada naskah akademik RUU Cipta Kerja yang mana sangat sulit diakses oleh masyarakat dengan mudah. Padahal jika melihat pada Pasal 96 Ayat 4 Undang-Undang 12/2011 akses terhadap undang-undang harus dapat dengan mudah dilakukan oleh masyarakat.

Disamping itu MK juga menilai bahwa dalam RUU Cipta Kerja ini terdapat metode yang abu-abu. Dimana MK menganggap dalam RUU ini apakah merupakan Undang-Undang baru atau melakukan revisi terhadap Undang-Undang sebelumnya.

Suhartoyo, sebagai hakim yang mempertimbangkan da yang membacakan putusan pada saat itu, ia menyebut tata cara pembentukan UU cipta kerja tidak sesuai prosedur dan metode yang baku serta tidak mematuhi peraturan pembentukan perundang-undangan. Kemudian dalam pembentukan UU ciptaker dinilai diadakannya perubahan penulisan terhadap beberapa pasal atau substansi pasca persetujuan DPR dan Presiden yang disetujui secara bersama.

Lain daripada itu Suhartoyo juga menyebutkan bahwa antara asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dengan UU Cipta kerja ini dianggap bertentangan. Oleh karenanya MK berfikir bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan berdasarkan UUD 1945. Itu salah satu alasan mengapa Undang-Undang Cipta Kerja ini dinyatakan cacat secara formil.

Selain daripada yang disebut diatas MK menjelaskan alasannya mengapa UU Cipta Kerja ini dicap sebagai UU Inkonstitusional bersayarat. Ialah demi menghindari ketidak pastian hukum dan menghindari dampak yang lebih besar yang akan ditimbulkan jika RUU ini tetap disahkan meski cacat secara formil.

Kemudian, Mahkamah mempertimbangkan bahwa sejatinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memang harus memenuhi usur kepastian hukumnya yang nantiya merupakan salah satu syarat formil demi melahirkan Undang-Undang baru dan juga mempertimbangkan aspek dan tujuan dari dibentuknya UU Cipta Kerja.

Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyatakan pendapatanya bahwa MK menemukan fakta mengenai penamaan UU Cipta Kerja menggunakan nama baru yakni UU Tentang Cipta Kerja. Dengan demikian , Mahkamah bisa menafsirkan faktor yang mendasari para pemohon yang meyebut bahwa UU Cipta Kerja merupakan UU baru atau bisa disebut UU perubahan. Terlebih, pada pasal 1 ayat (1) UU Cipta Kerja didesain sebagai upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, kemudahan berusaha

Enny menambahkan jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, maka tidak perlu adanya nomeklatur baru seperti ruang lingkup, tujuan dll kecuali isi dari undang-undang yang akan dirubah memang betul-betul membahas membahas hal tersebut.

 

Sebab, meskipun tidak ditegaskan mengenai UU yang lama dalam UU Cipta Kerja tersebut masih berlaku atau tidak, faktanya undang-undang lama yang dalam UU Ciptaker telah diubah beberapa undang-undang lama masih tetap berlaku.

Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan Manahan M.P. Selaku hakim, keempat-empatnya melontarkan pendapatnya masing-masing hang tentunya berbeda-beda. Namun terdapat kesamaan pendapat diantara Keempatnya, menurut mereka, meskipun UU Cipta Kerja diselimuti berbagai kelemahan khususnya dari segi legal drafting, UU Cipta Kerja ini nyatanya memang sangat dibutuhkan pada masa sekarang ini.

Selain itu, mereka juga berpendapat jika dilihat dari segi filosofis, sosiolis serta pertimbangan yuridisnya Undang-Undang Cipta Kerja sudah sangat baik dan cermat demi mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945

Berdasarkan paparan diatas , jika terdapat pikiran bahwa akan membatalkan UU Cipta Kerja secara mendadak dengan yang telah diketahui bahwa UU ini cacat secara formil dapat memberi dampak yang sangat besar bagi tatanan hukum di Indonesia. Selain itu UU Cipta Kerja telah memiliki berbagai macam peraturan turunan yang berlaku dan menjadi pedoman bagi nyaris seluruh elemen masyarakat.

Lebih dari itu, UU Cipta Kerja yang telah di rancang dan djundangkan serta tidak dibatalkan dan masih berlaku meski sementara saat ini meyakinkan bahwa UU Cipta Kerja masih memiliki daya laku dan daya ikat bagi masyarakat. Keberlakuan suatu UU didasarkan pada pengundangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU 12/2011.

Kemudian penerapan UU tentang Cipta Kerja ini diharapkan dapat sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu: penciptaan dan peningkatan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap seluruh lapisan masyrakat yang menyatakan tunduk terhadap UU Cipta Kerja ini serta diharapkan menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya.

Karena itu guna memperbaiki dan merevisi Undang-Undang Cipta Kerja nanti dalam prosesnya bisa lebih mengindahkan dan memperhatikan aspirasi masyrakat. Karena hal yang berhubungan dengan suara masyarakat sejatinya memang tidak dapat ditawar-tawar. Bila dalam proses perbaikan UU Ciptaker nanti tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat secara maksimal dan leluasa, maka tidak menutup kemungkinan tetap adanya penolakan yang terjadi berlarut-larut. Pun bisa jadi hasil perbaikan itu  akan diuji kembali di Mahkamah Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun