Mohon tunggu...
Silvha Darmayani
Silvha Darmayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Everything will be fine

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Ibu

22 Maret 2021   16:20 Diperbarui: 22 Maret 2021   16:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bila suatu pagi kau terbangun lebih dulu dari adikmu Sri, dan tidak menemukan ibu di rumah, cari saja ibu di jalanan, atau di sudut-tepi kota. Namun bila kau tidak menemukan ibu pada tiga tempat itu, carilah ibu di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam, sebab ibu sudah menjadi bulan. Sabit ibu berarti menyenyumimu, purnama ibu berarti merindukanmu.

***

Kerlap-kerlip lampu jalan mulai menyala, cahayanya masih hambar dikalahkan jingga matahari yang menunggu waktu tenggelam di kaki langit. Lalu lintas jalur dua masih saja ramai, minibus, angkutan umum, mobil-mobil berbagai jenis dan bentuk, dari yang paling kuno hingga mutkahir, berlaluan tak kunjung habis. Pengendara sepeda motor ikut pula berdesak-desakkan, menyalip bila ada ruang sekecil apapun. 

Aktivitas komuter itu hanya akan mandek bila ada lampu merah di persimpangan, itu juga hanya beberapa menit, lalu berlanjut dan begitu seterusnya.

Matahari sudah benar-benar raib, diikuti lampu jalan yang paripurna kuningnya. Aku tetap bergeming, dengan tumpukan koran di tanganku. Semakin lama, pemandangan itu semakin terasa mengecil, hilir-mudik kebisingan memenuhi dada, merambat ke seluruh nadi, syaraf dan darah--berakhir dengan mataku yang berair, buram perlahan. Aku menangis? Hah tentu tidak--seperti ibu. 

Tak sekalipun air mata jatuh dari kedua matanya yang cekung, dan penuh rahasia itu. Ibu perempuan tertegar yang pernah kutemukan, sekalipun ayah pergi tiga tahun silam, pergi dan takkan pernah pulang.

Dari simpang lampu merah, aku melewati tempat-tempat yang sorot lampunya menimpali jalan, orang-orang ramai di warung nasi goreng, gerobak sate, warung kopi, yang sedap betul aromanya. Di atas langit sekawanan kalong mengepakkan sayap serentak, terbang mengikuti arah angin juga nasib. Kuamati kalong-kalong itu, tidak ada ubahnya denganku, menggumuli jalanan mencari makan, hanya saja aku memulai hidup sejak pagi, sedang kalong-kalong itu memulai sejak rembang malam--seperti ibu.  

Gang-gang sempit,  dinding dan genting kontrakan berhimpit, juga bantaran sungai yang penuh tumpukan sampah, kulewati, hingga sampai di sebuah gubuk kecil dan buruk, itulah rumahku, bersebelahan dengan pohon mangga. Aku mengurung niat, tidak masuk ke rumah, daun pintu yang sebelah engselnya patah itu, terbuka lebar.

"Aku tidak mau tau Nur, kau harus segera melunasinya, ini sudah lebih dari tenggat yang kuberikan, kau pikir dengan kematian Kadir, aku akan memaafkan semua utang-utang mendiang suamimu itu padaku? Jangan harap Nur, bah baik betul aku. Ingat Nur sepuluh juta! se-pu-luh ju-ta! Kudengar dari orang-orang, kau jadi pekerja malam sekarang, lantas kenapa kau tak meminta uang dari suami-suami barumu itu?"

Dasaku terasa tertusuk, mendengar ucapan laki-laki tua berkepala botak yang tegak berkacak pinggang, membentak ibuku, Riuh tampak ketakutan. Ingin kukembalikan tusukan ke mulut laki-laki itu, sebab melempar ucapan banal pada ibu. 

Kulihat wajah ibu merah, tapi ia begitu hebat menahannya, "Sudahlah jangan menunjukkan drama di depanku Nur, pandai betul kau bermakar. Dua hari lagi aku balik kemari, uang sepuluh juta harus sudah ada, tidak boleh tidak!" laki-laki tua botak itu bergegas keluar.

"Kalau uangnya tidak ada, aku harus apa?" ibu angkat bicara, matanya nanap-tapi tidak menangis.

"Kau harus siap kehilangan anak-anakmu atau kau harus siap mati, barulah utang-utangmu kuanggap lunas. Pikirkan baik-baik Nur. Pastilah kau tidak menginginkan keduanya bukan?" laki-laki botak itu menyeringai, melengos kemudian pergi, benar-benar pergi. 

Aku terhenyak di teritis samping rumah, koran-koran di tangan kubiarkan berserak, bibirku bergemeletak. Apa aku harus mati menyusul ayah, biar utang-utang itu lunas, dan ibu tidak terus-terusan menahan hatinya. Aku bergeming, tidak siap masuk menemui ibu dan adikku.

Malam semakin larut, kantuk mulai merebakku, juga gerombolan nyamuk dari bantaran sungai, yang menggeluti tubuhku, bentol-bentol dibuatnya, tapi aku tetap bertahan. 

Suara pintu rumah terdengar ditutup, rupanya ibu, cepat-cepat aku bersembunyi di balik pohon mangga yang ukuran batangnya melebihi tubuhku. Itu kali pertama aku mengamati jejak ibu yang meninggalkan rumah, bekerja malam tanpa mendengarnya dari siapapun, ibu akan pergi setelah aku dan Riuh terlelap, lalu kami bangun tanpa ibu, disambung aku yang pagi-pagi buta harus kembali ke jalanan, menjajakan koran.

Aku beralih niat, mengikuti ibu diam-diam, lihatlah rambut ibu yang tersanggul rapi, celana hitam panjang dengan baju kurung bercorak bunga, juga tas di bahunya, ibu cantik benar, tapi ke mana ibu pergi. 

Sinar bulan menerangi jalan ibu, di atas jejak yang kulalui saat pulang, tergurat bayangan ibu di sana. Tak salah lagi, ibu mengarah ke jalanan yang mulai senyap, kedai-kedai, warung-warung, sudah tutup semua, hanya beberapa mobil yang berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi, lampu-lampunya menyilaukan mata.

Di kursi pelipir jalan, berjarak 20 meter satu sama lain, ibu berhenti lalu duduk di sana, menghadap barisan gedung-gedung tua di seberang. Hanya siluet gigir dan sanggul ibu yang tertangkap gamblang di mataku, sedang air mukanya tidak. 

Apa yang ibu lakukan di sini? apa ibu tengah menunggu seseorang, tapi siapa? kuhampiri ibu dengan langkah tak bersuara, belum genap dua anjakkan, aku lebih dulu terperangah dan mematung saat namaku dipanggil.

"Sri. Ibu tau kau di sini." Sayup-sayup suara ibu, bagaimana bisa ibu tau aku di sini? kudekati ia dan duduk di sampingnya. Aku telisik wajah ibu, gilap seperti bulan, mungkin karena ibu tak jeda mengalihkan pandangannya ke langit, jadi bulan berbaik hati berbagi sinar karena menganggap ibu adalah teman. Aku memilih tidak berkata apapun, aku hanya ingin melihat ibu, itu saja.

"Maafkan ibu Sri, karena ibu, kau dan adikmu menanggung semuanya. Besok kalau seluruh urusan ibu sudah rampung, dan ibu dapat uang, kau harus lanjut sekolah lagi ya Sri, kau dan Riuh mesti menjadi orang yang cakap, hebat, jangan seperti ibu, jangan." Ibu mengalihkan pandangannya padaku, matanya yang cekung tetap teduh dan tegar. Ibu melekapkan tangannya padaku, hangat sekali.  

Malam bertambah larut, ibu menyudahi pelukannya dan mengantarku pulang, ibu menyuruhku masuk, tidak dengan dirinya, ibu harus pergi bekerja dan aku harus tidur, begitu katanya, tapi apa kerja ibu? kuberanikan bertanya, cepat atau lambat aku akan tau, pungkas ibu.

"Bila suatu pagi kau terbangun lebih dulu dari adikmu Sri, dan tidak menemukan ibu di rumah, cari saja ibu di jalanan, atau di sudut-tepi kota. Namun bila kau tidak menemukan ibu pada tiga tempat itu, carilah ibu di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam, sebab ibu sudah menjadi bulan. Sabit ibu berarti menyenyumimu, purnama ibu berarti merindukanmu."

"Jangan menangis Sri. Kau anak perempuan ibu yang kuat bukan? semua akan baik-baik saja. Ibu harus pergi bekerja malam ini, setelah semuanya selesai, ketakutan-ketakutan itu tidak akan ada lagi, tidak ada lagi Sri." Suara ibu sangat lembut, lama ibu menatapku, kurasakan kedamaian dari matanya yang cekung. Rambutku ia sampirkan di daun telinga, tapi aku melihat rahasia di balik mata ibu yang memburam. 

Apa ibu menangis? Tidak, ibuku tidak pernah menangis, tapi sesuatu mengalir dari ujung matanya. Ibu membalik badan, menghitung langkah lalu pergi, kutatap punggung ibu yang semakin kecil dan menjauh, tak apa--besok ibu akan pulang, ucapku dalam hati.

Waktu setelah ibu pergi, hingga cahaya mentari sudah menjelanak di kisi-kisi ventilasi, mestinya aku sudah turun ke jalan menjajakan koran, tapi tidak, sejak bangun, aku bercangkung, sambil berpeluk lutut, dengan punggungku bersandar di dinding kusam-retak. Perutku perih, sebab semalaman tak terjamah makanan. Kutatap pintu depan yang tak kunjung terbuka, berarti ibu belum pulang, adikku Riuh masih pulas tertidur, mungkin anak usia empat tahun sepertinya sedang asyik bermain di taman mimpi. Kuputuskan mencari ibu ke jalanan atau sudut-tepi kota seperti ucap ibu.

Peluhku bercucuran, tetap tidak kutemukan ibu di sana. Kuputuskan pulang, hanya adikku yang mematung di sudut rumah, rambutnya kusut, kurapikan. Hari beranjak malam, tapi ibu belum juga pulang. Mungkin saja pekerjaan ibu masih banyak, tapi ibu pasti akan pulang, begitu jawabku saat Riuh bertanya. 

Sejak hari itu aku dan Riuh terus menanti ibu, pagi berulang pagi, malam berulang malam, hari berganti hari, hanya ada tanya dari Riuh, yang masih membuatku percaya bahwa ibu akan pulang.

Pintu rumah diketuk saat hampir tengah malam, besar hatiku ketika akan membukanya, tapi bukan ibu, melainkan laki-laki tua botak menakutkan, dengan air muka yang berbeda, datar dan lusuh, dia menyerahkan sebuah koran padaku.
"Utang-utang sepuluh juta itu telah lunas. Mulai besok kau akan bersekolah lagi. Itu pesan ibumu." Ucapnya kemudian pergi. Aku berteriak menanyakan ibuku di mana, dia menoleh sekejap, menunduk terdiam, lalu menjauh.

Tak henti Riuh memanggil-manggil ibu, matanya basah sebab menangis, kubujuk Riuh dan membawanya pergi. Di bawah sinar bulan aku mengikuti jejak ibu dulu. Koran yang diberikan laki-laki tua botak, masih kugenggam di tangan kiri, akan kubaca saat sampai di tempat menanti ibu. 

Jalanan lengang, dapat kuterka jumlah kendaraan yang melemparkan sorot lampunya ke mata kami, warung-warung tertutup, di mana orang bisa menemukan anak seusiaku dan Riuh melanglang di rembang malam, mungkin hanya di sini.

Di kursi jalan aku dan Riuh duduk menghadap gedung-gedung tua, persis seperti aku bersama ibu, tiba-tiba koran di tanganku terlepas, melambai-lambai halamannya ditiup angin, kuambil lalu kusejajarkan dengan lampu yang berpendar cahayanya. Badanku seperti tersetrum dahsyat, dadaku serasa dihantam batu besar, menyakitkan, perih dan meramukkan segalanya.

Bagaimana mungkin penjaja koran sepertiku tidak tahu, berita tewasnya supir truk perempuan, sebab kecelakaan pasca mengantarkan barang ke pasar induk? saat dini hari, sebulan yang lalu. Bagaimana mungkin aku sebegitu kejam, berprasangka tentang apa yang ia kerjakan setiap malam? Bagaimana mungkin aku tidak pernah menyadari betapa tegar dan kuat hatinya, untuk tidak menangisi kehidupan ini. Semua telah selesai, ketakutan-ketakutan itu tidak ada lagi, seperti kata ibu.

"Kita sudah bertemu ibu Dik,"

"Sungguh? di mana kak?" mata Riuh membulat, berharap aku berkata yang sebenarnya.

"Kau lihat purnama itu Dik? Itu adalah ibu kita. Di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam. Ibu sudah menjadi bulan di sana."

Riuh tersenyum menilik bulan. Aku memicingkan mata, menyilakan angin yang berdesir halus, menyibakkan rambut kusutku, menjamah hatiku, meninggalkan aroma perih. Tak lagi kupikirkan besok akan seperti apa, aku hanya ingin menghayati sinar ibu, begitu lembut dan damai memeluk kami berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun