Mohon tunggu...
Silvha Darmayani
Silvha Darmayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Everything will be fine

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Ibu

22 Maret 2021   16:20 Diperbarui: 22 Maret 2021   16:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam bertambah larut, ibu menyudahi pelukannya dan mengantarku pulang, ibu menyuruhku masuk, tidak dengan dirinya, ibu harus pergi bekerja dan aku harus tidur, begitu katanya, tapi apa kerja ibu? kuberanikan bertanya, cepat atau lambat aku akan tau, pungkas ibu.

"Bila suatu pagi kau terbangun lebih dulu dari adikmu Sri, dan tidak menemukan ibu di rumah, cari saja ibu di jalanan, atau di sudut-tepi kota. Namun bila kau tidak menemukan ibu pada tiga tempat itu, carilah ibu di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam, sebab ibu sudah menjadi bulan. Sabit ibu berarti menyenyumimu, purnama ibu berarti merindukanmu."

"Jangan menangis Sri. Kau anak perempuan ibu yang kuat bukan? semua akan baik-baik saja. Ibu harus pergi bekerja malam ini, setelah semuanya selesai, ketakutan-ketakutan itu tidak akan ada lagi, tidak ada lagi Sri." Suara ibu sangat lembut, lama ibu menatapku, kurasakan kedamaian dari matanya yang cekung. Rambutku ia sampirkan di daun telinga, tapi aku melihat rahasia di balik mata ibu yang memburam. 

Apa ibu menangis? Tidak, ibuku tidak pernah menangis, tapi sesuatu mengalir dari ujung matanya. Ibu membalik badan, menghitung langkah lalu pergi, kutatap punggung ibu yang semakin kecil dan menjauh, tak apa--besok ibu akan pulang, ucapku dalam hati.

Waktu setelah ibu pergi, hingga cahaya mentari sudah menjelanak di kisi-kisi ventilasi, mestinya aku sudah turun ke jalan menjajakan koran, tapi tidak, sejak bangun, aku bercangkung, sambil berpeluk lutut, dengan punggungku bersandar di dinding kusam-retak. Perutku perih, sebab semalaman tak terjamah makanan. Kutatap pintu depan yang tak kunjung terbuka, berarti ibu belum pulang, adikku Riuh masih pulas tertidur, mungkin anak usia empat tahun sepertinya sedang asyik bermain di taman mimpi. Kuputuskan mencari ibu ke jalanan atau sudut-tepi kota seperti ucap ibu.

Peluhku bercucuran, tetap tidak kutemukan ibu di sana. Kuputuskan pulang, hanya adikku yang mematung di sudut rumah, rambutnya kusut, kurapikan. Hari beranjak malam, tapi ibu belum juga pulang. Mungkin saja pekerjaan ibu masih banyak, tapi ibu pasti akan pulang, begitu jawabku saat Riuh bertanya. 

Sejak hari itu aku dan Riuh terus menanti ibu, pagi berulang pagi, malam berulang malam, hari berganti hari, hanya ada tanya dari Riuh, yang masih membuatku percaya bahwa ibu akan pulang.

Pintu rumah diketuk saat hampir tengah malam, besar hatiku ketika akan membukanya, tapi bukan ibu, melainkan laki-laki tua botak menakutkan, dengan air muka yang berbeda, datar dan lusuh, dia menyerahkan sebuah koran padaku.
"Utang-utang sepuluh juta itu telah lunas. Mulai besok kau akan bersekolah lagi. Itu pesan ibumu." Ucapnya kemudian pergi. Aku berteriak menanyakan ibuku di mana, dia menoleh sekejap, menunduk terdiam, lalu menjauh.

Tak henti Riuh memanggil-manggil ibu, matanya basah sebab menangis, kubujuk Riuh dan membawanya pergi. Di bawah sinar bulan aku mengikuti jejak ibu dulu. Koran yang diberikan laki-laki tua botak, masih kugenggam di tangan kiri, akan kubaca saat sampai di tempat menanti ibu. 

Jalanan lengang, dapat kuterka jumlah kendaraan yang melemparkan sorot lampunya ke mata kami, warung-warung tertutup, di mana orang bisa menemukan anak seusiaku dan Riuh melanglang di rembang malam, mungkin hanya di sini.

Di kursi jalan aku dan Riuh duduk menghadap gedung-gedung tua, persis seperti aku bersama ibu, tiba-tiba koran di tanganku terlepas, melambai-lambai halamannya ditiup angin, kuambil lalu kusejajarkan dengan lampu yang berpendar cahayanya. Badanku seperti tersetrum dahsyat, dadaku serasa dihantam batu besar, menyakitkan, perih dan meramukkan segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun