Mohon tunggu...
silvester alvin basundara
silvester alvin basundara Mohon Tunggu... Lainnya - Komunikasi UAJY

UAJY 2018

Selanjutnya

Tutup

Film

Kontradiktif "Kucumbu Tubuh Indahku"

20 Oktober 2020   15:26 Diperbarui: 20 Oktober 2020   15:54 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: mydirtsheet.com

Siapa yang gemar menonton sebuah film? apalagi ditengah kebosanan menghadapi pandemi seperti saat ini.

Film merupakan salah satu bentuk media dalam berkomunikasi  untuk menyampaikan sebuah pesan kepada khalayak dengan audio visual sebagai penerapannya  (Effendy, 1986: 134). Pesan yang disampaikan atau terkandung dalam sebuah film dapat mencakup berbagai konteks, seperti hiburan, pendidikan, kritik, informasi dan lain-lain.

Sifatnya yang audio visual, menjadikan film sebagai media komunikasi yang manjur terhadap khalayak luas, bahkan penonton dapat terpengaruh pada sebuah film yang ditonton, seakan masuk serta hadir menembus ruang dan waktu larut dalam alur cerita.

Realitas sosial di lingkungan sekitar  bisa juga digambarkan pada sebuah film, sehingga unsur budaya masyarakat kerap kali hadir dalam sebuah alur film sebagai cermin akan pesan moral.

Berbicara mengenai film, realitas sosial serta unsur budaya, ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ tampaknya film yang tepat menggambarkan akan ketiga hal tersebut.

Film ini dirilis pada tahun 2018 lalu dengan Garin Nugroho sebagai sutradaranya. Diperankan oleh Muhammad Khan sebagai Juno, raditya Evandra sebagai Juno kecil, Randy Pangalila sebagai petinju, Rianto sebagai penari dan masih banyak lagi.

Kucumbu Tubuh Indahku sukses membawa nama Indonesia di kancah internasaional melalui ajang Venice Independent Film Critic, Festival Des 3 Continents, dan Asia Pasific Screen Awards dengan memenangkan ketiga ajang film internasional tersebut.

Meski banyak mendapat penghargaan baik dari ajang internasional maupun dalam negeri, nyatanya film Kucumbu Tubuh Indahku justru mendapat banyak pertentangan hingga penolakan dari masyarakat, alasannya film tersebut mengandung unsur Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang bertentangan dengan kepribadian serta moral masyarakat Indonesia.

Memenangkan berbagai penghargaan namun mendapat penolakan, menarik untuk diulas lebih dalam mengenai film Kucumbu Tubuh Indahku dengan menggunakan perspektif Strukturalisme.

Strukturalisme merupakan metode teoritis teks sastra, yang menekankan pada hubungan menyeluruh antara berbagai unsur teks. Teks sastra terdiri dari bagian-bagian berikut: konsepsi, tema, pesan, latar, karakter dan ciri, peristiwa plot dan gaya bahasa  (Taum, 1997: 38)

Untuk dapat di analisis menggunakan strukturalisme teks, unsur intrinsik pada sebuah karya sastra merupakan aspek yang paling tepat, seperti: adegan, alur/plot, tokoh/penokohan, latar dan tema.

Unsur Alur/plot

sumber: www.bbc.com
sumber: www.bbc.com

Berdasarkan urutan waktu, alur dibedakan menjadi dua, kronologis dan tidak kronologis. Kronologis menceritakan jalan cerita yang lurus dan maju secara berurutan, sebaliknya tidak kronologis juga dapat disebut regresif flashback menceritakan jalan cerita mundur ke belakang.

Menilik dari film Kucumbu Tubuh Indahku, alur yang disampaikan adalah adalah kronologis, dimana menceritakan Juno dari kecil hingga tumbuh dewasa dengan problematika yang Ia hadapi.

Dilihat dari cara penggambarannya film ini termasuk dalam kategori Récit en parallèle, dimana cerita yang digambarkan secara berurutan, mulai dari dari cerita utama diikuti dengan cerita kedua dan disambung pada cerita – cerita selanjutnya (Peyroutet 2001: 8). Hal tersebut tampak pada empat babak yang disajikan dalam film tersebut, yaitu babak yang pertama terjadi saat Juno kecil hidup sendiri tanpa kehadiran orang tua, yang mulai menaruh minat pada kesenian tari lengger yang ada di desanya. Menjadi bagian anggota rombongan kesenian tari tersebut, Juno dihadapkan pada guru tarinya yang memberikan penjelasan bernada seksual yang terlalu vulgar, bahkan hingga dipaksa melihat alat kelamin milik istri gurunya. Lebih dari itu, Juno dengan mata kepalanya menyaksikan hukuman mati yang dilakukan gurunya kepada seorang murid.

Pada babak kedua, Juno kecil lantas memilih tinggal bersama bibinya, dan mendapat guru tari wanita yang memiliki sifat keibuan padanya. Suatu saat Juno diperintahkan gurunya tersebut untuk meraba belahan dada guru tari wanita tersebut, akibatnya warga menggelandang guru tersebut yang dianggap bertindak asusila.

Di Babak ketiga, Juno sudah menginjak masa remaja, dimana Ia berjumpa seorang petinju bayaran yang memiliki penampilan gagah maskulin, yang tak disangka Ia memiliki ketertarikan kepada petinju tersebut.

Di babak keempat, Ia mendapat ancaman atas kontestasi politik di daerahnya, akibat menolak ajakan berhubungan badan dengan penari yang lebih senior darinya.

Unsur Penokohan

Juno kecil hingga dewasa digambarkan sebagai sosok yang mengalami keraguan hingga akhirnya dihadapkan oleh pertentangan dalam dirinya, sehingga berdampak pada pembawaannya yang tampil kalem dan sabar.

Guru Lengger laki-laki yang diperankan oleh Sujiwo Tejo merupakan sosok yang keras dalam artian pembawaannya, sehingga terkesan sebagai sosok yang otoriter, terlihat jelas dalam adegan Dia (guru lengger) menghukum mati muridnya karena melakukan tindak asusila.

Bibi, peran bibi dalam film ini menampilkan sosok yang tegas, hal ini mungkin karena Dia harus menggantikan sosok Ibu dari si Juno. Terlihat adegan ketegasan Bibi dari caranya memahari Juno saat memasukkan jarinya ke lubang kelamin ayam.

Guru tari wanita Juno dapat dikatakan juga memiliki sifat keibuan, tampak bagaimana cara Dia memperlakukan Juno, meski terkesan bersifat vulgar.

Petinju bayaran yang berjumpa dengan Juno, ditampilkan dengan sosok yang maskulin dengan bentuk tubuh yang macho, meskipun kontras dengan orientasi seksualnya sesaat setelah bertemu Juno.

Bupati, sosok yang satu ini memiliki sifat yang ambisius dibuktikan dengan hasratnya pada kontestasi politik dengan menggunakan segala macam cara.

Warok, meski terkesan antagonis, karena pembawaannya sebagai pemain reog yang terkesan menampilkan sisi maskulin.

Unsur Latar Tempat

Film ini mengisahkan dibalik penari Lengger, dimana tari ini sebagai identitas budaya Jawa terutama daerah Banyumas. Latar tempat yang ditampilkan dalam film Kucumbu Tubuh Indahku berada di pedesaan gersang dengan batuan – batuan cadas khas desa Banyumas yang identik dengan kekeringan.

Unsur Latar Waktu

 Latar waktu yang ada pada film ini bukan hanya pagi siang malam, namun mengenai perjalanan waktu yang dimuat, seperti fase – fase kehidupan dari Juno dari kecil hingga dewasa, hingga pasang surut dinamika kehidupan yang dialami tokoh utama (Juno).

Unsur Sudut Pandang 

Sudut pandang yang digunakan dalam film Kucumbu Tubuh Indahku menggunakan sudut pandang orang pertama, dimana pencerita menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut.

Adegan serta peristiwa yang dialami tokoh dalam film Kucumbu Tubuh Indahku memiliki latar tempat, waktu, serta latar sosial dengan kondisi serta situasi sosial di era Orde Baru dengan pedesaan khas pulau Jawa sebagai tempat yang diidentitaskan. Dengan kondisi di atas tersebut secara tidak langsung mampu membentuk ketokohan yang ada pada film, misalnya saja Juno yang tinggal dilingkungan penari lengger, secara tidak langsung membentuk dirinya yang memiliki sifat feminim.

Dari unsur – unsur di atas dapat disimpulkan bahwa tema besar dari film Kucumbu Tubuh Indahku mengenai isu maskulinitas dan feminisme atau juga dapat dieksplisitkan mengenai isu LGBT pada kesenian Lengger, meskipun tidak bisa di generalisir secara mutlak.

Teori Strukturalisme mencoba mengaitkan unsur satu dengan unsur lainnya menjadi satu rangkaian yang dapat menghasilkan suatu pandangan, pendapat serta kesimpulan. Dari film Kucumbu Tubuh Indahku, dapat kita temukan bahwa setiap individu memiliki visioner kedepan yang tak bisa dipungkiri bahwa visioner tersebut memiliki keterkaitan latar belakang setiap individu.

Daftar Pustaka

Effendy, Onong Uchjana, 1986. Dimensi Dimensi Komunikasi, Bandung : Alumni

Peyroutet, Claude. 2001. La Pratique de L’expression Écrit. Paris: Nathan.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Penerbit Nusa Indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun