Mohon tunggu...
Silva Jasmine Rolia
Silva Jasmine Rolia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menanggapi Maraknya Pernikahan Dini dalam Kacamata Hukum Perdata

9 Desember 2024   12:22 Diperbarui: 9 Desember 2024   12:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENANGGAPI MARAKNYA PERNIKAHAN DINI DALAM KACAMATA HUKUM PERDATA

 

Silva Jasmine Rolia

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

 

 Pernikahan merupakan hal yang sakral, karena bukan hanya berupa hubungan fisik tapi juga hubungan spiritual. Di dalamnya terdapat  komitmen dari suami istri untuk menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya sebagai pasangan. Di dalam Islam pernikahan merupakan suatu ibadah terlama dan butuh kesiapan untuk menjalankannya. Baik kesiapan dari segi fisik, emotional, dan  finansial. Di Indonesia sendiri pernikahan masuk dalam pembahasan hukum perdata yg mambahas terkait perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, hingga batasan usia minimal untuk Menikah. Mengutip Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang tertulis dalam pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak  pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Perubahan atas peraturan ini telah tertuang dalam Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun.[2] Meskipun Undang-Undang tersebut sudah disahkan, pernikahan dini masih menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan di Indonesia. 

 

Data terjadinya pernikahan dini di Indonesia pada tahun 2020 bahkan menunjukkan peningkatan sejak Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masuk ke Indonesia. Hal ini sebagaimana diketahui data dari BBC.com pada bulan Januari-Juni 2020, ada 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, 97% di antaranya dikabulkan. Padahal sepanjang 2019, hanya terdapat 23.700 permohonan (Anonim, 2020). Tingginya persentase pernikahan dini di Indonesia ini tidak lepas dari beberapa faktor yang memengaruhinya. Salah satu faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya pernikahan dini di Indonesia adalah faktor budaya di beberapa wilayah di Indonesia.[3]

 

Berdasarkan data kementrian pemberdayaan perempuan dan anak, perkawinan dibawah umur yang terjadi pada 2021 sebesar 9,23 %, pada tahun 2022 sebesar  8,06%, dan 6,92% pada tahun 2023.  Hal ini bukan hanya tentang perundang-undangan tapi juga terkait dampak yang terjadi karena pernikahan dini, baik dari segi kesehatan, psikologis, dan finansial. Dari aspek kesehatan, pernikahan dini berdampak pada kesehatan wanita yang sedang hamil. Menurut medis usia ideal untuk hamil pada angka 20-35. Jika di bawah usia 20 maka berdampak pada kesehatan rahim karena masih rentan untuk mengalami kondisi kehamilan, serta berdampak pada anak yang dilahirkan yaitu berpotensi mengalami stunting karena kurangnya persiapan sang ibu untuk merawat dan mengasuh buah hatinya. Dari aspek psikologi, pernikahan dini belum mencapai usia matang dalam segi emosional, yang dimana dalam pernikahan merupakan pertukaran pikiran 2 individu yang bebeda sehingga butuh kebijaksanaan dalam berpikir dan memanage emosi. Dalam segi finansial, pelaku pernikahan dini masih pada usia sekolah, yang berarti belum memiliki perkerjaan sebagi sumber ekonomi untuk  memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya ada tindakan dari pemerintah dalam penegakan hukumnya.

 

 Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Persoalan pernikahan dini memang memang tidak dijelaskan secara eksplisit akan tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal 29 dijelaskan bahwa usia minimal laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 15 tahun. Sedangkan batas kedewasaan berdasarkan KUHPer pasal 330 ialah pada usia 21 tahun dan belum pernah menikah.

 

Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 dijelaskan batasan usia minimal seseorang dapat menikah bagi laki-laki yakni di usia 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan. Dengan berdasar pada peraturan pemerintah tentang pernikahan maka memperlai harus mendapat izin dari orang tuanya (UU RI 1974). Merujuk pada pasal 2 bila terjadi penyimpangan terhadap pasal 1 maka seseorang dapat meminta dispen terhadap pengadilan atau pejabat lain. Pejabat dan pengadilan merupakan yang ditentukan oleh orang tua kedua mempelai. [4]

 

Terdapat peraturan lain yang membahas yang termuat dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 "Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan". Dalam peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Bab IV pasal 8, menyebutkan adanya dispensasi nikah apabila calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka diwajibkan adanya perizinan  yang diberikan oleh orang tua atau wali nikah, hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang pencatatan nikah Bab IV pasal 7 "Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua"(Munandar et all, 2023). [5] Kelonggaran itu diberikan pemerintah pasangan yang akan melaksanakan pernikahan namun belum cukup umur.[6] Berdasarkan hal tersebut, maka sudah  seharusnya ada tindakan dari pemerintah dalam penegakan hukumnya.

 

Pemantauan ketat yang dilakukan oleh pemerintah serta lembaga terkait diberikan

 

untuk mengonfirmasi tidak adanya perkara terhadap ketentuan usia perkawinan. Dalam hal terjadi pernikahan dini, hukum perdata memberikan beberapa jalur perlindungan, seperti kemungkinan pembatalan perkawinan jika dilakukan di bawah usia yang ditetapkan atau tanpa persetujuan yang sah. Korban pernikahan dini juga dapat meminta perlindungan hukum melalui pengadilan untuk mendapatkan hak-haknya, didalamnya hak atas pendidikan serta perlindungan dari penyalahgunaan.

 

Untuk meningkatkan perlindungan terhadap korban pernikahan dini, beberapa usulan perbaikan regulasi dan kebijakan dapat dilakukan. Pertama, reformasi legislatif untuk menaikkan batas usia minimal pernikahan menjadi 21 tahun. Kedua, penerapan dan penegakan hukum pernikahan anak harus mempertimbangkan penyediaan keadilan, solusi, dan layanan perlindungan bagi korban pernikahan anak dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait. Selain itu, strategi nasional untuk pencegahan pernikahan usia dini harus mencakup perlindungan dari diskriminasi dan perlakuan buruk lainnya, termasuk praktik pernikahan anak. Di Indonesia sendiri, studi tentang perlindungan hukum terhadap pernikahan anak telah dilakukan dan menunjukkan bahwa analisis normatif dari berbagai sumber tertulis sangat diperlukan. [7]

 

 

PENUTUP

 

Pernikahan merupakan sunnatullah yang dialami manusia.  Dalam Islam pernikahan merupakan hal yang sakral, di Indonesia sendiri pernikahan diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata atau KUHPer. Termasuk yang diatur diantaranya tentang batas usia minimal pernikahan. Pernikahan dini memberi dampak negatif dari segi kesehatan, psikologis, dan finansial. Meski begitu, hal tersebut masih marak terjadi di Indonesia dan menjadi hal yang dinormalisasikan. Dengan adanya izin dan aturan yang terkait, pernikahan dini dapat disahkan memalui dispen yang diberikan pemerintah. Namun, alangkah baiknya hal ini diminmalisir ssebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang belum cukup umur untuk menikah. Sehingga pernikahan dilaksankan sebagaimana mestinya dengan kesiapan jiwa dan raga dalam menjalankannya.

 

DAFTAR PUSTAKA 

 

Bawono, Yudho, Setyaningsih Setyaningsih, Lailatul Muarofah Hanim, Masrifah Masrifah, and Jayaning Sila Astuti. "Budaya Dan Pernikahan Dini Di Indonesia." Jurnal Dinamika Sosial Budaya 24, no. 1 (2022): 83. https://doi.org/10.26623/jdsb.v24i1.3508.

 

Mawardah, Fifah, Juan Ferdinan Sitanggang, Puti Agustia Wardana, and Shella Rachmawaty. "Paradigma Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Perdata." Jurnal Mahasiswa Karakter Bangsa. Vol. 1, n.d.

 

Rifiani, Dwi. "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam." De Jure: Jurnal Hukum Dan Syar'iah 3, no. 2 (2011): 127--42. https://doi.org/10.18860/j-fsh.v3i2.2144.

 

Yopani Selia Almahisa, and Anggi Agustian. "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam." Jurnal Rechten: Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia 3, no. 1 (2021): 27--36. https://doi.org/10.52005/rechten.v3i1.24.

 

Zulkarnain, Steven Agilo, and Arief Rachman Hakim. "Jurnal Darma Agung BATASAN PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA," 2024, 164--75.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun