Mead mengatakan bahwa suatu interaksi sosial merupakan sebuah proses pemersatuan segmen masyarakat tertentu untuk memperoleh kesamaan simbol karena membuat keputusan berdasarkan lingkungan yang ditempatinya sehingga membentuk dasar seseorang untuk melakukan suatu perilaku yang diinginkan oleh lingkungannya.
Keberadaan bonge, jeje, dan kawan-kawan yang hadir untuk melakukan pertunjukan aktivitas sosial melalui gaya busana, pembuatan konten sebagai tindakan ekspresionisme, namun aktivitas mereka mendapatkan reaksi yang berbeda dari kelompok sosial lainnya.
Yang menjadi istimewanya adalah aksi mereka ditunjukan pada ruang publik yang aktif dan cenderung tidak tertib namun mendapat reaksi dari pemilik kebijakan dengan terkesan yang membiarkan atas ketertiban fasilitas publik yang saat ini menjadi penguasaan atas kelompok sosial tertentu.
Nah, melalui teori interaksi simbolik dijelaskan bahwa struktur sosial tertentu dapat membentuk simbol dalam interaksi sosial masyarakat. Dalam interaksi dimaksud tentunya membutuhkan kelompoknya untuk saling menunjukan kesamaan minat, kreativitas, keunikan, kerumitan, dan sering kali sulit interpretasikan.
Oleh karenanya, masyarakat memang terbentuk atas kesamaan simbol tersebut maka sering kali menekankan pada dua hal utama, yang pertama, manusia memang tidak akan terlepas dari interaksi sosial dan kedua, interaksi dimaksud mewujudkan simbol tertentu yang memiliki format dinamis.
Fenomena anak-anak remaja ini sebagai adanya perspektif interaksi simbolik yang menekankan pola budaya melalui perilaku individu yang terefleksikan melalui pola komunikasi. Interaksi simbolik memberikan pemaknaan terhadap interaksi budaya sebagai sebuah komunitas.
Peran Pemerintah: Penyediaan Ruang Publik yang Seluas-luasnya
Kemunculan komunitas anak-anak remaja yang saat ini ada perlu menjadi sebuah pemantik bagi pemerintah bahwa fenomena ini bukanlah hal yang pertama kali ada namun sudah menjadi kesekian dari kelompok sosial yang ada dengan corak yang berbeda. Tentunya, kemunculan kelompok masyarakat yang senantiasa berkumpul, berserikat, dan berekspresi bukanlah hal yang dilarang namun tentunya perlu diberikan ruang yang memang sudah menjadi tempatnya.
Hal ini terjadi karena perubahan adalah hal yang pasti termasuk anak remaja yang hadir sebagai akibat terbatasnya ruang ekspresi dan pengakuan diri di lingkungannya, maka pemerintah pun perlu memandangnya sebagai komunitas yang perlu disalurkan sesuai dengan kapasitasnya melalui penyediaan ruang yang cukup dan bisa menempatkan mereka menjadi duta-duta perubahan melalui proses pembimbingan berdasarkan kebutuhan interaksi simbolik dimaksud.Â
Menurut PPS (Project for Public Spaces) sebuah lembaga dari New York, terdapat 4 (empat) kualitas utama yang perlu dimiliki ruang terbuka, yaitu ruang publik yang aksesibel, menumbuhkan aktivitas pengunjung, nyaman serta memiliki visual yang baik dan memiliki nilai sosial dimana setiap individu dapat bertemu satu dengan lainnya dan menjadikan tempat tersebut menarik bagi pengunjung.
Pendekatan placemaking yang dilakukan oleh PPS bagi ruang publik kota memberikan penekankan terhadap kualitas ruang kota sebagai daya tarik masyarakat sehingga mampu membangun kualitas tersebut untuk keberhasilan program dan kepada masyarakat penggunanya.
Tata ruang kota yang dibangun oleh pemerintah perlu menyediakan tempat bagi setiap orang untuk bergerak, bermain, relaksasi di luar ruang berlangsung di ruang terbuka publik.