Aomori, 2234
"Hujannya tidak turun bukan?" Katsumoto memecahkan kesunyian yang daritadi menyelubungi kami. Seraya menatap langit yang berkabut, dia melanjutkan perkataannya. "Profesor Nakajima sudah menduga hal ini sepuluh tahun lalu ketika beliau meneliti hujan yang turun terakhir kali di Kyoto. Keasaman yang dihasilkan oleh air yang turun dari langit sudah menandakan bahwa untuk beberapa puluh tahun berikutnya akan mungkin terjadi kekeringan."
Aku masih diam menyimak penjelasan Kastumoto. Dia adalah salah satu murid kesayangan Profesor Nakajima. Sayang, lima tahun lalu Profesor Nakajima meninggal karena penyakit gerstmann-straussler-scheinker-nya. Kini, Katsumoto berencana melanjutkan kembali penelitian yang dulu terhenti itu.
"Dunia sudah berubah, Mamura. Laut tak lagi mau menawarkan hujan. Ya, bagaimana menawarkan hujan sedangkan matahari ditutupi kabut seperti itu." Aku senang mengamati gaya bicara Katsumoto. Santai namun serius. Oh iya, kenalkan aku adalah Mamura Nana. Anak dari adik Profesor Nakajima. Setelah kematian Profesor Nakajima-aku tak mau memanggil dia paman karena dia tidak mau dipanggil begitu-, Katsumoto mengirimiku sebuah email ke Kyoto. Surel yang berisikan untuk aku kerja sama dengan dia dalam melanjutkan penelitian tentang kejadian aneh waktu itu.
Didalam surelnya Katsumoto menjelaskan bahwa di Aomori terdapat sedikit kabut berwarna kelabu yang membuat udara menjadi pengap. Belum ada penyelidikan, namun dari pemantauan secara pribadi oleh Profesor Nakajima, beliau mengatakan ada gelembung besar yang keluar dari permukaan laut di sekitar pesisir Aomori.
Aku mengerti kenapa waktu itu Kastumoto langsung mengarahkan surat itu kepadaku, Jabatanku di departemen pemerintahan divisi lingkungan hiduplah yang menjadi alasannya. Tidak mungkin, penelitian ini dilakukan dengan biaya pribadi dari seorang Profesor yang sudah wafat. Mereka butuh dana penuh, butuh investor. Dilain pihak, hal ini setidaknya menguntungkan aku juga dalam mengambil gelar Profesor.
"Kenapa kau diam saja Mamura?" ternyata Katsumoto sudah selesai dengan penjabarannya mengenai kabut yang semakin memekat akhir-akhir ini. Sekarang, dia malah mengamatiku. Aku terkejut dan tersipu.
"Aku mendengarkan penjelasanmu, Katsumoto." elakku.
"Arrgh, sudah berapa kali aku katakan padamu. Hentikan memanggilku dengan nama keluarga." erangnya.
"Oh, baiklah Sano."
Pria berkacamata itu nyengir, memamerkan gigi-gigi rapinya.
" Aku tak menyangka kalau kau berniat melanjutkan penelitian ini Sano. Apa kau mau mati seperti dia? Cukup banyak ilmuwan-ilmuwan mati menggenaskan bukan?" tanyaku diluar topik pembicaraan kami.
"Mamura, "
"Nana, jika kau memintaku memanggilmu dengan nama depan, aku harap juga kau begitu." selaku memutus perkataanya.
"Nana, aku sebatang kara di dunia ini. Jikapun aku mati menggenaskan, aku pikir tidak akan ada yang mau meratapiku seperti halnya Profesor Nakajima. Aku lebih bersyukur karena setidaknya, selama aku hidup baik jiwa dan ragaku berguna bagi ilmu pengetahuan." jelasnya diplomatis.
Aku sudah mengira jawaban Katsumoto demikian, hanya saja bukankah jawaban begitu terlalu naif?
"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu Mamura, Eh maaf, Nana? Apakah kau mulai jatuh cinta denganku?" Lagi-lagi, dia membuatku tersipu dengan perkataannya.
"Aku punya selera yang tinggi terhadap pria Sano, lelaki kurus-kering bukan tipeku." Mungkin dari mulut aku bisa mengelak, tapi tidak dengan air mukaku.
"Hahaha... kau pintar mengelak ternyata." Tawanya memecah kesunyian tepi dermaga itu sekali lagi. Laboratorium yang cuma diisi oleh beberapa karyawan dari divisiku seperti di hantam badai. Badai degub jantungku, tentunya.
" Permisi, Miss Mamura." seorang Stafku, Siniji, menyela keasyikan kami.
" Ya, ada apa Siniji? Apa kau sudah menemukan sumbernya?" tanyaku mengawali kedatangannya.
" Kami menemukan satu lagi gelembung di sebelah utara Jepang. Kemungkinan ini disebabkan kilang minyak lepas pantai yang sudah tak terpakai namun bekas galiannya tidak di rehabilitasi kembali. Kami ingin anda dan pak Katsumoto memastikan hal yang kami curigai ini." Siniji menyodorkan kepadaku sebuah peta pencitraan satelit dengan koordinat dan titik-titik merah dengan label yang kurang aku tahu.
"Ini bahaya." Katsumoto langsung menyimpulkan tanpa harus lagi mengamati lebih lanjut peta itu.
"Apa maksud Anda Pak Katsumoto? Bukankah itu cuma gas metan yang tidak mematikan?" Jelas Siniji heran.
" Apa kau tidak mengamati titik-titik kelabu ini?" tunjuk Katsumoto kearah peta satelit tersebut. " Ini tidak cuma gas metan, Ini asap beracun. Apa kau menemukan makhluk hidup disekitar gelembung ini?" lanjut Katsumoto.
" Tidak, tetapi aku menemukan sebuah getaran."
" Getaran? Apakah kau sudah mencek amplitudonya?" tanya Katsumoto. Ada mimik terkejut dari wajahnya.
" Sekitar 3-5 Amp " jawab Siniji bingung.
"Ada apa Sano? apakah getaran itu bahaya?" aku sama bingungnya dengan Siniji.
"Bahaya? tidak... tidak, tetapi mengkhawatirkan."
"Mengkhawatirkan?"
" Mungkin kita tidak bisa menyalahkan pihak-pihak yang mengeksplorasi kekayaan alam dengan cara brutal. Seperti yang kau tahu, di akhir 2100 terjadi krisis sumber daya alam terbesar di bumi. Banyak negara yang berusaha mencari minyak agar listrik tetap hidup, agar kendaraan mereka tetap berjalan. Tetapi tidak sedikit yang menyadari akan ancaman dari perilaku mereka demikian. Lubang galian yang mereka ciptakan membuat perut bumi menjadi kosong. Suatu celah dalam lapisannya menciptakan gas beribu-ribu kiloton. Dan itu mematikan." Ada kengerian dari kata-katanya yang aku tangkap.
" Gas itu yang menyebabkan siklus air terhenti." Lanjutnya seraya menutup percakapan itu.
***
"Lalu apa hubungannya dengan getaran itu? Kenapa kau bilang itu mengkhawatirkan?" Aku bertanya ketika kami beranjak meninggalkan dermaga dan menuju kedalam laboratorium.
"Nana, apakah ketika lambungmu kosong maka perutmu keroncongan? dan disaat begitu kau masuk angin. Apa yang terjadi?" Pertanyaan sekaligus jawaban buatku.
" Jika kita bisa mengantisipasi hal ini, bukan tidak mungkin beberapa gelembung yang telah lahir bisa kita tanggulangi juga." Katsumoto berujar optimis.
" Aku tidak yakin, dengan apa? apakah mungkin kita menyelam ke dasar laut lalu menutup lubang itu?" Mungkin, wajar pemikiran ini keluar dariku yang hanya mengerti bagaimana menanam dan melestarikan pepohonan hijau.
"Tidak ada yang tidak mustahil bukan"
" Jadi kau benar akan menyelam?" kataku tak percaya.
" Aku tidak bilang begitu, percuma Profesor Nakajima mati dengan cara memenggal lehernya sendiri jika kita harus menyelam ke dasar laut, Nana."
" Apa kau bilang? Paman- mmh.. maksudku Profesor Nakajima memenggal lehernya?" Aku terkejut seketika, pun Katsumoto seolah tersadar akan perkataannya. " Kau bilang dia mengidap penyakit Greust... greust.. apa itu, ah, aku tidak tahu. Lalu sekarang kau bilang dia memenggal kepalanya?" lanjutku masih dengan emosi yang menggelegak.
" Nana, aku maaf, aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu." Dia berhenti melangkahkan kakinya di lorong yang mengarah ke ruangan kontrol di laboratorium itu.
"KALAU BEGITU JELASKAN!" Suaraku menggema, diikuti bunyi derit pintu yang terbuka di ujung lorong. Siniji yang mendahului kami tadi keluar, berjalan mendekat.
" Levelnya sudah bahaya." lapornya.
bersambung...
(S.k)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H