Mohon tunggu...
Sihabussalam
Sihabussalam Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Al-Quran Tafsir Fakultas Ushuluddin di Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa Ilmu Al-Quran Tafsir Fakultas Ushuluddin di Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Santri Tradisionalis dan Revisionis: Upaya Membangun Produktivitas di Era Pandemi dengan Trilogi Kompromistis Pesantren

27 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 27 Februari 2021   12:26 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan mengenai pendidikan pesantren dan santri tidak akan mati dan akan terus menjadi topik yang menarik, terlebih pesantren dan santri memiliki posisi yang krusial di negeri ini. Diyakini sebagai model pendidikan tertua, pesantren telah memberikan kontribusi sangat banyak untuk negeri, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Dinamika pesantren dan santri mulai mengalami perubahan sejak abad ke-20, tepatnya tahun 1970-an, khususnya dalam hal mode pembelajaran. Kontribusi terhadap negeri berbanding lurus dengan efektivitas dan produktivitas komponen pesantren, terutama santri. Oleh karena itu, meningkatkan produktivitas santri merupakan cara yang harus ditempuh untuk kemajuan negeri.

Dewasa ini, arus gelombang santri terus menunjukan tren meningkat, santri abad ke-19 tentunya memilki perbedaan dengan santri sekarang, tantangan dan cara yang dilakukan dalam mengekspresikan identitas jelas berbeda, terlebih legalitas santri sekarang tidak bisa dipandang sebelah mata, dengan disahkannya hari santri nasional sekaligus menjadi hari libur nasional. Tetapi dibalik itu, mereka --santri- harus menyesuaikan dengan zaman tersebut. Masuk abad 21, tantangan akan terus meningkat seiring perubahan dan kebutuhan zaman, dimana penggunaan internet dan teknologi lebih banyak dan mendominasi. Di Indonesia, pada akhir Januari sebanyak 64 persen penduduknya sudah menggunakan internet. Selain fakta tersebut, ditambah situasi global khususnya di Indonesia sedang berhadapan dengan situasi baru yaitu wabah penyakit Covid-19, dimana tatanan hidup dan kehidupan lapisan masyarakat berubah pula, begitu juga yang dialami oleh pesantren dan santri.

Secara kuantitas, data pada tahun 2019 jumlah santri menginjak angka 2.645.344 santri dengan rincian 1.442.283 santri mukim dan 1.203.061 santri tidak mukim yang tersebar di seluruh Indonesia (https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik, Diakses pukul 7.37 WIB, 14 Oktober 2020), sementara total jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa (https://nasional.kompas.com/ Diakses pukul 7.58 WIB, 14 Oktober 2020). Dengan demikian, sebesar 0,98 persen penduduk Indonesia berstatus santri. Dari fakta itu dengan angka minimal --setengahnya- maka akan tercipta keseimbangan dalam berbagai sektor, seperti sosial, keagamaan, budaya, bahkan ekonomi; pemasalahannya apakah angka tersebut dapat dijadikan referensi dan bukti adanya perubahan? Bagaimana santri dapat melihat fakta dan potensi tersebut di tengah pandemi ini? dan bagaimana santri tradisionalis dan revisionis membangun produktivitas di tengah pandemi.?

Oleh sebab itu, karya tulis ini akan membahas mengenai santri tradisionalis dan rivisionis sebagai upaya dalam membangun produktivitas dengan trilogi kompromistis pesantren. Dalam tulisan ini pula akan dibahas konsep dari keduanya dan jalan tengah dalam membangun produktivitas di tengah pandemi sehingga tulisan ini diharapkan menjadi referensi awal dalam menjalankan aktivitas di tengah pandemi, khususnya bagi kalangan santri.

Tinjauan Umum Santri Tradisionalis dan Revisionis

Secara sederhana, santri merupakan nama bagi mereka yang belajar di lembaga pendidikan pondok pesantren. Sedangkan pengajarnya disebut kyia, ustadz, ajengan, dan sebutan lain --disesuaikan dengan tradisi setempat-. Perkembangan zaman dan tutunan untuk menyesuaikan dengan zaman, pesantren secara tidak langsung mengalami transformasi yang akan berdampak pada kebijakan dan status santri tersebut. Secara umum pesantren diklasifikasikan ke dalam 3 kategori; pertama, pesantren salaf. Kedua, pesantren modern. Ketiga, pesantren komprehensif.

Kategorisasi tersebut berdampak pada penyebutan dan misi dari santri tersebut, mindset santri mengalami perubahan juga, karena pesantren tersebut merupakan lingkungan santri yang terus membentuk kepribadian santrinya. Oleh karena itu, dalam keadaan tersebut akan tercipta dualisme santri yaitu santri tradisionalis yang memegang teguh teradisi pesantren salaf dan santri revisionis yang mempunyai misi perubahan yang didominasi oleh kalangan pesantren modern.

Ada 3 asumsi yang melatarbelakangi lahirnya dualisme santri; pertama, lokasi pesantren yang berbeda yang akan memunculkan santri secara kolektif. Atas dasar itu, santri tradisional menyuguhkan gambaran atau pandangan bahwa pendidikan pesantren merupakan hasil dari tradisi lokal yang harus dijaga kearifan lokalnya. Sedangkan santri revisionis lebih melihat pada kelemahan yang ada di beberapa sektor pesantren, misal kurikulum dan metode, yang perlu disesuaikan dengan zaman. Kedua, pencitraan santri dan pesantren sebagai tonggak perubahan. Sebagaimana yang telah didiskusikan terdahulu, bahwa pesantren dan santri memiliki fungsi krusial dalam menanggapi isu dan permasalahan zaman, mereka diharapkan bisa bersaing serta menjadi pionir perubahan. Dalam mengekspresikan fungsi tersebut santri tradisionalis yakin dengan tradisi dan pembelajaran gaya lama dapat menyelesaikan isu zaman, berbeda dengan revisionis, untuk melakukan perubahan maka diperlukan pembaruan pada aspek tertentu supaya fungsi berjalan dengan efektif. Jadi permasalahannya bukan pada "sumber" pesantren itu, tetapi sejauh mana aktor pesantren mengenal pesantren dan tantangan zaman. Ketiga, soal finalitas dan kesempurnaan pesantren. Santri tradisional memberikan persaksian bahwa finalitas pesantren adalah pendidikan yang bermodel sorogan, pembelajaran satu arah, referensi kitab kuning, dan enggan menerima materi umum. Sedangkan santri revisionis berpendapat belum ada bentuk yang final terkait dengan lembaga pesantren, selagi pesantren bertujuan menjadi role model di tengah-tengah masifnya bentuk/model pendidikan.

Asumsi di atas secara sekilas akan memunculkan dua mazhab santri yang berpotensi mengalami dikotomi, akan tetapi apabila kita telusuri lebih lanjut dualisme santri terebut dapat berjalan beriringan tentunya dengan porsi, produktivitas, dan kreativitas masing-masing yang akan saling melengkapi selagi mereka tidak mementingkan egoisme kelompok. Kemudian yang lebih penting adalah elaborasi dari semua itu yang akan melahirkan bentuk pesantren ketiga yaitu pesantren komprehensif. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memahami dan mengimplementasikan trilogi kompromistis pesantren.

Trilogi Pesantren Perspektif Santri Tradisionalis dan Revisionis

Istilah trilogi ini sangat cocok dengan kesinambungan dan kesatuan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan dalam prakteknya memilih satu dari tiga, atau dua dari tiga. Arti dari trilogi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tiga hal yang saling bertaut dan saling bergantung. Ketika sudah dinamakan trilogi maka ketiga konsep atau gagasan itu harus saling bahu-membahu dalam fungsinya, dan menjadi sempurna ketika tiga hal itu benar-benar berjalan dengan mestinya.

Secara universal trilogi pesantren terdari dari pendidikan, keagamaan, dan sosial. Awal terbentuknya sebagai sarana pembelajaran, pesantren berfokus pada pendidikan yang sebagian besar tumbuh berkembang di pedesaaan dengan tradisi yang sangat kuat. Metode dan sarana pembelajaran harus berdasarkan pada awal berdirinya sehingga tidak diperkenankan masuk unsur-unsur modern. Dapat kita jumpai, sebagian pesantren masih enggan membuka diri untuk melek teknologi dan internet, karena mereka berpandangan hal yang demikian akan mengganggu eksistensi pendidikan pesantren. Santri revisionis lebih membuka diri, mereka melihat aspek pendidikan pada substansinya, apa pun metode dan bagaimana pun caranya yang terpenting adalah tercapainya substansi pendidikan, yakni tidak hanya nilai kognitif melainkan masuk dalam ranah hati. Revisionis menilai semua itu dapat dicapai dengan penyesuaian abad 21, bahkan keadaan saat pandemi sekarang menjadi tantangan untuk memperkuat salah satu trilogi yang pertama itu --akan dijelaskan dipoin selanjutnya-.

Pada bagian yang kedua dari trilogi yaitu keagamaan, tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara santri tradisionalis dan revisionis, konsep keagamaan yang ada di pesantren telah diatur dan disebutkan secara rinci dalam agama Islam sendiri. Walaupun demikian, perbedaan yang mendasar adalah prilaku keagamaan mereka.

Dalam kaitannya dengan sosial yang menjadi sumber masalah adalah keadaan lingkungan dan dinamika pesantren sehingga akan berdampak pada prilaku sosial santri. Tiga asumsi di atas menjadi isu yang akan merubah sudut pandang sanri tradisionalis dan rivisionis serta menjadi pembeda dari keduanya, sama halnya dalam masalah sosial, revisionis yang terbuka terhadap teknologi cenderung kualitas sosialisasi akan kalah dengan santri tradisionalis yang sehari-hari bergaul dengan masyarakat.

Santri dan Produktivitas

Produktivitas adalah membuat pilihan yang cerdas dengan energi, fokus, dan waktu untuk memaksimalkan potensi diri serta merai hasil yang bermanfaat (M. Faris, 2016). Pada dasarnya setiap santri memiliki kesempatan yang sama yaitu mempunyai kreativitas dan produktivitas karena dalam diri mereka ada potensi diri, yang membedakan adalah efektifitas energi, fokus, dan waktu yang dikeluarkan oleh santri tersebut. Menurut M. Faris, produktivitas santri mencakup tiga unsur yaitu spritual, fisik, dan sosial.

Secara implisit produktivitas yang digagas oleh M. Faris substansinya mengarah pada penguatan trilogi pesantren. Spritualitas yang dibangun oleh santri seperti dzikir, salat, dan membaca al-Qur'anharus terus mendorong pada produktivitas santri, bukan jadi penghambat. Begitu juga fisik dan sosial. Kebugaran dan kekuatan fisik harus dilatih dan ditingkatkan supaya produktivitas kualitasnya bagus, contohnya, mengatur jadwal tidur, bangun sebelum subuh, olahraga, dan melaksanakan puasa adalah cara yang bisa dilakukan. Sedangkan terkait dengan produktivitas sosial, tradsi menjenguk teman, salat berjamaah, makan bersama, dan kerja bakti, semua itu bentuk dari produktivitas sosial.

Tiga formulasi yang disebutkan di atas secara tidak langsung akan mengalami perubahan di era pademi sekarang dan berimplikasi pada efektifitas dan konsistensi produktivitas santri, terlebih pada bagian produktivitas sosial. Dengan demikian, formulasi tersebut perlu rekonstruksi yang disesuaikan dengan era pandemi saat ini, yaitu adanya trilogi kompromistis pesantren.

Implementasi Trilogi Kompromistis Pesantren untuk Era Pandemi

Kekuatan dan kelebihan abad 21 adalah akses pada satu perkara tidak terlalu sulit, cukup dengan smartphone dan data internet perkara tersebut akan diketahui. Mobilitas masyarakat dan teknologi informasi yang semakin cepat menjadi indikator era sekarang lebih instan dan cenderung mudah. Kelebihan tersebut tatap tidak menafikan kekurangan pada abad sekarang.

Fakta di atas menjadi penyebab perubahan pada trilogi pesantren, yang perlu direspon oleh santri, kelebihannya dapat dijadikan sebagai media atau cara pengutan trilogi tersebut, dan kekurangannya dapat dijadikan pembelajaran untuk menghasilkan cara yang kreatif lahir dari santri, tujuannya untuk menutupi kekurangan tersebut. Dengan demikian, pesantren dan santri tetap menyandang status shlih likulli zamn wa makn. 

Akan tetapi, untuk mencapai cita-cita tersebut perlu adanya usaha yaitu yang disebut dengan trilogi kompromistis pesantren. Trilogi ini merupakan perkembangan dari trilogi pesantren secara umum --pendidikan, keagamaan, dan sosial-, artinya substansi dan ranah yang diperbaiki masih dalam seputar tiga hal tersebut yang membedakan adalah trilogi kompromistis ini lebih bersifat universal sehingga aspek yang dijangkau oleh trilogi kompromistis ini lebih luas. Sederhananya kompromistis dapat diartikan sebagai satu hal yang bersifat kompromi atau melakukan jalan tengah untuk menyelesaikan suatu masalah. Trilogi kompromistis itu adalah independsi, internalisasi, dan integrasi.

Petama, independensi. Independensi atau kemandirian adalah karakteristik pesantren yang dibangun atas dasar kesadaran dan cita-cita kyai. Independensi hadir sejak perjuangan mendirikan pesantren yang terus melahirkan cabang kemandirian baru, seperti independensi finansial, kurikulum, metodelogi, dan ekonomi. Dalam era pandemi independensi harus ditingkatkan, itulah yang dilakukan oleh pesantren Cipasung, khususnya asrama Selamet, mereka membangun independensi ekonomi --kantin-, dengan modal awal dari pengusrus sebesar Rp 1,5 juta kemudian hasilnya untuk kesejahteraan santri. Sama halnya dengan pesantren Cipasung, pesantren As-Shulahaa Kabupaten Tasikmalaya selama pandemi santri di pesantren tersebut dilatih budidaya ikan di sawah, ternak domba, dan menanam bibit albasia.

Kedua, internalisasi atau penguatan. Internalisasi dalam konteks ini adalah internalisasi yang berhubungan dalam berbagai hal pengajaran (pengajian), metodologi, tradisi, dan esensi pesantren. Realisasi kegiatannya adalah diadakan pengajian kilat --posonan atau pasaran-, jam pengajian, kajian kitab, dzikir rutinanan bertambah. Dengan kegiatan tersebut otomatis produktivitas santri meningkat.

Ketiga, integrasi atau pembauran. Pembauran dalam konteks ini adalah pembauran tradisi, cara, media, dan metodologi yang akan membentuk sebuah tatanan tradisi baru yang disesuaikan dengan keadaan zaman. Tradisi santri tradisional yang notabene menutup diri terhadap teknologi tetapi dalam kajian kuningnya masif dan santri revisionis dengan keadaan terbalik dapat diambil jalan tengah dengan melaksanakan kegiatan kajian kitab kuning via sosial media, penulisan intisari kitab kuning yang di publish di internet dan sosial media.

KESIMPULAN

Pemaparan di atas merupakan telaah atas pesantren yang berbasis pembaruan dan kekinian dengan berfokus pada realita dan potensi santri baik santri tradisionalis dan rivisionis. Angka yang tidak sedikit menunjukan potensi yang dimiliki cukup baik sebagai pengembangan dan ketahanan di tengah-tengah situasi dan keadaan sekarang. Dualisme santri dipandang mengalami dikotomi padahal tidak demikian, realitasnya dualisme tersebut dapat berjalan dengan trilogi kompromistis pesantren. Yaitu sebuah pengembangan trilogi untuk menghadapi era pandemi. Trilogi kompromistis harus dijalankan bersamaan untuk menghasilkan tujuan yang maksimal; independensi dipandang sebagai hakikat pesantren, internalisasi untuk tradisi dan metodologi, dan integrasi sebagai kemajuan hakikat, tradisi, dan metodologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun