Mohon tunggu...
sigit setiawan
sigit setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

Pecinta Gamelan dan Wayang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nyantrik", Salah Satu Metode Belajar ala Jawa

26 Desember 2019   15:04 Diperbarui: 26 Desember 2019   15:10 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.merdeka.com/

Budaya Nyantrik

Jawa adalah sebuah peradaban yang melahirkan banyak sekali warisan budaya. Seperti yang diterangkan dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003, bahwa Pusaka (warisan) budaya mencakup pusaka tangible dan pusaka intangible (Artha dan Ahimsa-Putra, 2004 : 18). 

Pusaka tangible adalah warisan budaya berupa benda-benda atau dapat diraba dengan indra manusia bersifat fisik. Sedangkan pusaka intangible adalah warisan budaya tak benda, berupa pemahaman ilmu, pengetahuan, norma-norma  yang bersifat konvensional maupun non-konvensional.

Mengutip pendapat Geertz, berpendapat bahwa satu ciri penting dari manusia -- si pembuat kebudayaan -- adalah kemampuannya melakukan komunikasi dengan menggunakan berbagai macam sarana, seperti misalnya suara, bunyi, gerak, gambar, dan sebagainya, dalam kehidupan sehari-hari (Geertz, 1973). 

Posisi manusia sebagai pembentuk suatu kebudayaan inilah yang kemudian menjalin satu komunikasi melalui apa yang disebut tanda dan simbol. Simbol dan tanda mulanya didasari oleh pengetahuan individu yang kemudian dimaknai secara kolektif dan diterima sebagai pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) (Spradley, 1972). 

Artinya, seorang manusia dalam perjalanannya, akan membentuk satu konstelasi kebudayaan yang diawali dari komunikasi antar manusia kemudian dimaknai secara kolektif sebagai sebuah kebudayaan, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk nilai-nilai pengetahuan (ilmu) yang disebut sebagai produk kebudayaan.

Menelaah tentang produk kebudayaan yang dapat dibaca melalui (sistem) tanda dan simbol sebagai wujud manifestonya adalah (1) hal-hal yang abstrak seperti ide, pengetahuan, nilai-nilai, norma, dan aturan, yang tidak dapat dilihat, karena tersimpan sebagai pengetahuan yang ada dalam pikiran manusia; dapat berupa (2) hal-hal yang agak abstrak, atau tidak sepenuhnya abstrak, seperti misalnya perilaku dan tindakan manusia; atau berupa (3) hal-hal yang sangat kongkrit dan empiris seperti meja, kursi, buku, gelas, cangkir, dan seterusnya, yang semuanya merupakan hasil perilaku dan tindakan manusia (Ahimsa-Putra, 2004: 33).

Kebudayaan Jawa sama artinya mempunyai arti produk yang disebut "kebudayaan Jawa" itu sendiri. Jawa sangat identik dengan berbagai filosofi dan makna yang dalam. 

Perjalanannya, produk-produk kebudayaan tersebut, ada yang termakan oleh usia karena alasan tidak lagi relevan dengan nilai-nilai saat ini, sehingga kita -- sebagai orang Jawa -- tidak lagi mengenali warisan tersebut. 

Tidak menutup kemungkinan, terdapat beberapa produk-produk kebudayaan yang hingga kini masih dinilai relevan dan patut dipertahankan sebagai bagian dari nilai-nilai kehidupan masyarakat. 

Hingga saat ini, yang masih sangat kental dan dapat dijumpai budaya unggah-ungguh, tata-krama yang secara umum dapat dimaknai sebagai penggambaran  dari sopan-santun bagi usia yang lebih muda kepada yang lebih tua. Hal ini masih lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. 

Produk budaya lainnya, yang kini dianggap tidak lazim dan "kuno" adalah pada pengetahuan tentang sistem pendidikan antar generasi atau bagaimana cara pandang orang Jawa dalam mentransfer ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya? Hal ini tentu saja sangat penting untuk diketahui mengingat sistem pendidikan secara formal baru diperkenalkan sejak era kolonial Belanda.

Budaya Jawa memiliki istilah "Nyantrik,  sebagai bentuk sikap dalam menimba ilmu kepada seseorang. Seseorang di sini dapat berarti siapa saja yang mempunyai ilmu (kawruh) untuk kemudian bersedia diajarkan kepada yang sedang nyantrik. Lazim dan identik dengan istilah nyantrik adalah tokoh-tokoh masyarakat seperti guru, kyai, dalang, empu dan begawan/ pandhita. 

Secara umum nyantrik dapat disejajarkan dengan kata meguru (berguru), belajar ilmu, mengabdi dan melayani. Tetapi pada hakekatnya ada sesuatu yang bersifat "lebih dari sekedar" belajar, tetapi mengerti sampai sedalam-dalamnya tidak hanya tentang pengetahuan tetapi juga sikapnya dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatnya.

Terminologi 

Istilah nyantrik merupakan bentuk kata kerja yang berasal dari kata benda cantrik. Cantrik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) orang yang berguru pada seorang pandai (sakti); murid pendeta (pertapa), (2) pengikut (Soegono dkk, 2008: 261). Cantrik pada dasarnya adalah "nama" dari seseorang yang sedang belajar ilmu terhadap guru. Lazim diketahui bahwa, istilah cantrik sangat dekat dengan kyai, pertapa dan dalang (wayang kulit).

Kyai pada budaya Jawa disematkan pada benda-benda pusaka, seperti keris, kereta, tumbak, pedang dan lain sebagainya. Tetapi, lain sisi, kata kyai juga digunakan untuk menyebut para ulama tradisional Jawa, sebagai pengasuh pondok pesantren dan guru agama. Nyantrik dalam konteks ini dapat dikategorikan sebagai murid dari ulama atau kyai pada pondok pesantren tertentu. 

Secara terminologi, kata nyantrik terdapat kemiripan dengan kata nyantri; mondhok. Hingga sampai tulisan ini ada, belum ditemukan bukti ilmiah keterkaitan antara kata nyantrik dan nyantri atau cantrik dan santri -- kalau bukannya tidak ada hubungannya sama sekali.

Kedua, kata nyantrik sangat identik dengan pendidikan non-formal dunia pedalangan. Dunia pedalangan yang dimaksud adalah ruang lingkup di mana seseorang yang ingin belajar menjadi dalang wayang kulit haruslah memperoleh ilmu mendalang dari seorang dalang dengan cara mengabdi, mengikuti ketika dalang menggelar pertunjukan bahkan tinggal di rumah ki dalang.

Pendidikan dalang-dalang pada muridnya yang juga seringkali anaknya sendiri, merupakan laku yang sangat berat dan harus dilewati. Berat dan rumit tidak serta merta berkaitan dengan masalah-masalah teknis tetapi berhubungan pula dengan ilmu-ilmu religius dimana semua itu merupakan benteng-benteng diri dari gangguan-gangguan yang bersifat kasatmata, serta diyakini sebagai pembawa berkah bagi para penanggap dalang. 

Dalang merupakan tokoh sosial dan religi hingga akhirnya diyakini sebagai sosok yang dapat menghubungkan kekuatan magis disekitar kita serta penghubung dengan Sang Adikodrati. 

Pendidikan dialami dengan tidak serta merta diberikan begitu saja tetapi calon dalang dididik untuk melihat, menirukan dan mengambil apa yang dapat diambil dari pertunjukan gurunya. Nyantrik merupakan salah satu metode yang digunakan oleh sang murid kepada gurunya, yakni metode menirukan bahkan menjadi abdi bagi sang guru (Groendael, 1985).

Model "nyantrik", menurut Dr. Haryono, merupakan proses transformasi kompetensi dengan menerapkan ajaran "Bapak Pendidikan Nasional" Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Pada model tersebut, katanya, proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan sikap, bersifat belajar sambil bekerja yang mengarah pada pengalaman langsung (Haryono, 2014).

Brandon menjelaskan tentang sistem nyantrik seperti yang tertulis pada buku Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara:

Seorang pemuda duduk di belakang pentas; ia melihat dan mendengarkan pertunjukan, ia belajar. Sementara waktu berlalu, cantrik muda ini diberi tugas kecil. Ia menjadi seorang pembawa tombak atau memainkan sebuah dari instrumen-instrumen yang mudah. Seberapa tinggi ia menanjak di sebuah rombongan tergantung sepenuhnya atas bakat dan keberuntungan. Situasi pengajaran tidaklah terstruktur dan informal. Si 'murid' belajar dengan mengulang-ulang dan diharapkan untuk meniru dengan tepat seperti yang ia lihat dan dengar dari orang-orang yang lebih tua melakukan (Brandon, 2003: 212).

Berdasarkan pendapat di atas, nyantrik adalah belajar dengan cara melihat, mendengar, menirukan atau praktek. Sedangkan para pengajar diambil dari para pemain senior yang dianggap sudah mumpuni dalam bidangnya, maka ia sudah dianggap sebagai guru untuk mengajari para juniornya (Fitriani, 2013 : 25-26). 

Sedikit berbeda dengan Brandon, Victoria M. Clara van Groenendael menyatakan pendidikan dalang (nyantrik) setidaknya berhubungan dengan tiga hal berikut; (1) tumbuh dalam keahlian, (2) mengabdi pada seorang dalang dan (3) bertapa. Tumbuh dalam keahlian dimaknai sebagai keyakinan bahwa dalang adalah kodrat yang didapatkan semenjak dari dalam kandungan. Mengabdi di sini mempunyai pengertian para murid mempelajari setiap aktivitas dan gerak-gerik yang dilakukan yang 'digurui".

 Bertapa dapat dikategorikan sebagai sikap spiritual seseorang untuk proses menuju (menjadi) dalang. Nyantrik yang dimaknai sebagai pendidikan (menjadi) dalang, juga di bahas dalam penelitian Sonja Balaga. 

Dalam penelitiannya, Balaga menyatakan bahwa nyantrik diawali dari si murid yang tinggal di rumah dan akan membantunya. Misalnya, membantu dengan tugas rumah tangganya, pembersihan, dan juga ikut dan membantu kalau ada pergelaran wayang kulit (Balaga, 2005: 23). Selain terlibat dalam setiap kegiatan pertunjukan, dalang yang baru belajar, selalu mengikuti tata cara tingkah laku dunia dalang. Menurut Udreka dalam Balaga, nyantrik adalah belajar secara langsung, secara nyata. 

Rahayu Supanggah, seorang etnomusikolog, pengrawit hebat, seniman gamelan dunia dan komposer (gamelan) dunia dalam bukunya "Bothekan Karawitan II : Garap", kata cantrik adalah "murid tidak formal" dari seorang tokoh (dalang maupun pengrawit) dengan tingkat kedekatan yang bervariasi mulai dari dianggap sebagai keluarga, seperti ayah dan anak, nenek cucu, kakak beradik bahkan sampai seperti "tuan" dan "abdi".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun