Produk budaya lainnya, yang kini dianggap tidak lazim dan "kuno" adalah pada pengetahuan tentang sistem pendidikan antar generasi atau bagaimana cara pandang orang Jawa dalam mentransfer ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya? Hal ini tentu saja sangat penting untuk diketahui mengingat sistem pendidikan secara formal baru diperkenalkan sejak era kolonial Belanda.
Budaya Jawa memiliki istilah "Nyantrik, Â sebagai bentuk sikap dalam menimba ilmu kepada seseorang. Seseorang di sini dapat berarti siapa saja yang mempunyai ilmu (kawruh) untuk kemudian bersedia diajarkan kepada yang sedang nyantrik. Lazim dan identik dengan istilah nyantrik adalah tokoh-tokoh masyarakat seperti guru, kyai, dalang, empu dan begawan/ pandhita.Â
Secara umum nyantrik dapat disejajarkan dengan kata meguru (berguru), belajar ilmu, mengabdi dan melayani. Tetapi pada hakekatnya ada sesuatu yang bersifat "lebih dari sekedar" belajar, tetapi mengerti sampai sedalam-dalamnya tidak hanya tentang pengetahuan tetapi juga sikapnya dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatnya.
TerminologiÂ
Istilah nyantrik merupakan bentuk kata kerja yang berasal dari kata benda cantrik. Cantrik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) orang yang berguru pada seorang pandai (sakti); murid pendeta (pertapa), (2) pengikut (Soegono dkk, 2008: 261). Cantrik pada dasarnya adalah "nama" dari seseorang yang sedang belajar ilmu terhadap guru. Lazim diketahui bahwa, istilah cantrik sangat dekat dengan kyai, pertapa dan dalang (wayang kulit).
Kyai pada budaya Jawa disematkan pada benda-benda pusaka, seperti keris, kereta, tumbak, pedang dan lain sebagainya. Tetapi, lain sisi, kata kyai juga digunakan untuk menyebut para ulama tradisional Jawa, sebagai pengasuh pondok pesantren dan guru agama. Nyantrik dalam konteks ini dapat dikategorikan sebagai murid dari ulama atau kyai pada pondok pesantren tertentu.Â
Secara terminologi, kata nyantrik terdapat kemiripan dengan kata nyantri; mondhok. Hingga sampai tulisan ini ada, belum ditemukan bukti ilmiah keterkaitan antara kata nyantrik dan nyantri atau cantrik dan santri -- kalau bukannya tidak ada hubungannya sama sekali.
Kedua, kata nyantrik sangat identik dengan pendidikan non-formal dunia pedalangan. Dunia pedalangan yang dimaksud adalah ruang lingkup di mana seseorang yang ingin belajar menjadi dalang wayang kulit haruslah memperoleh ilmu mendalang dari seorang dalang dengan cara mengabdi, mengikuti ketika dalang menggelar pertunjukan bahkan tinggal di rumah ki dalang.
Pendidikan dalang-dalang pada muridnya yang juga seringkali anaknya sendiri, merupakan laku yang sangat berat dan harus dilewati. Berat dan rumit tidak serta merta berkaitan dengan masalah-masalah teknis tetapi berhubungan pula dengan ilmu-ilmu religius dimana semua itu merupakan benteng-benteng diri dari gangguan-gangguan yang bersifat kasatmata, serta diyakini sebagai pembawa berkah bagi para penanggap dalang.Â
Dalang merupakan tokoh sosial dan religi hingga akhirnya diyakini sebagai sosok yang dapat menghubungkan kekuatan magis disekitar kita serta penghubung dengan Sang Adikodrati.Â
Pendidikan dialami dengan tidak serta merta diberikan begitu saja tetapi calon dalang dididik untuk melihat, menirukan dan mengambil apa yang dapat diambil dari pertunjukan gurunya. Nyantrik merupakan salah satu metode yang digunakan oleh sang murid kepada gurunya, yakni metode menirukan bahkan menjadi abdi bagi sang guru (Groendael, 1985).