Mohon tunggu...
sigit setiawan
sigit setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

Pecinta Gamelan dan Wayang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Nyantrik", Salah Satu Metode Belajar ala Jawa

26 Desember 2019   15:04 Diperbarui: 26 Desember 2019   15:10 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.merdeka.com/

Model "nyantrik", menurut Dr. Haryono, merupakan proses transformasi kompetensi dengan menerapkan ajaran "Bapak Pendidikan Nasional" Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Pada model tersebut, katanya, proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan sikap, bersifat belajar sambil bekerja yang mengarah pada pengalaman langsung (Haryono, 2014).

Brandon menjelaskan tentang sistem nyantrik seperti yang tertulis pada buku Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara:

Seorang pemuda duduk di belakang pentas; ia melihat dan mendengarkan pertunjukan, ia belajar. Sementara waktu berlalu, cantrik muda ini diberi tugas kecil. Ia menjadi seorang pembawa tombak atau memainkan sebuah dari instrumen-instrumen yang mudah. Seberapa tinggi ia menanjak di sebuah rombongan tergantung sepenuhnya atas bakat dan keberuntungan. Situasi pengajaran tidaklah terstruktur dan informal. Si 'murid' belajar dengan mengulang-ulang dan diharapkan untuk meniru dengan tepat seperti yang ia lihat dan dengar dari orang-orang yang lebih tua melakukan (Brandon, 2003: 212).

Berdasarkan pendapat di atas, nyantrik adalah belajar dengan cara melihat, mendengar, menirukan atau praktek. Sedangkan para pengajar diambil dari para pemain senior yang dianggap sudah mumpuni dalam bidangnya, maka ia sudah dianggap sebagai guru untuk mengajari para juniornya (Fitriani, 2013 : 25-26). 

Sedikit berbeda dengan Brandon, Victoria M. Clara van Groenendael menyatakan pendidikan dalang (nyantrik) setidaknya berhubungan dengan tiga hal berikut; (1) tumbuh dalam keahlian, (2) mengabdi pada seorang dalang dan (3) bertapa. Tumbuh dalam keahlian dimaknai sebagai keyakinan bahwa dalang adalah kodrat yang didapatkan semenjak dari dalam kandungan. Mengabdi di sini mempunyai pengertian para murid mempelajari setiap aktivitas dan gerak-gerik yang dilakukan yang 'digurui".

 Bertapa dapat dikategorikan sebagai sikap spiritual seseorang untuk proses menuju (menjadi) dalang. Nyantrik yang dimaknai sebagai pendidikan (menjadi) dalang, juga di bahas dalam penelitian Sonja Balaga. 

Dalam penelitiannya, Balaga menyatakan bahwa nyantrik diawali dari si murid yang tinggal di rumah dan akan membantunya. Misalnya, membantu dengan tugas rumah tangganya, pembersihan, dan juga ikut dan membantu kalau ada pergelaran wayang kulit (Balaga, 2005: 23). Selain terlibat dalam setiap kegiatan pertunjukan, dalang yang baru belajar, selalu mengikuti tata cara tingkah laku dunia dalang. Menurut Udreka dalam Balaga, nyantrik adalah belajar secara langsung, secara nyata. 

Rahayu Supanggah, seorang etnomusikolog, pengrawit hebat, seniman gamelan dunia dan komposer (gamelan) dunia dalam bukunya "Bothekan Karawitan II : Garap", kata cantrik adalah "murid tidak formal" dari seorang tokoh (dalang maupun pengrawit) dengan tingkat kedekatan yang bervariasi mulai dari dianggap sebagai keluarga, seperti ayah dan anak, nenek cucu, kakak beradik bahkan sampai seperti "tuan" dan "abdi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun