Mohon tunggu...
Sigit Priyadi
Sigit Priyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Padang rumput hijau, sepi, bersih, sapi merumput, segar, windmill, tubuh basah oleh keringat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pidato Penuh Guyonan ala Presiden Jokowi

18 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 22 Juni 2016   16:47 3514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo melalui siaran langsung di RRI membuat saya tertawa, terutama karena kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Bapak Jokowi yang mengandung guyonan. Biasanya kalau mendengar pidato kenegaraan saya merasa malas karena penyampaiannya selalu serius. Namun saat melihat Pak Jokowi berpidato di televisi, tampak bahwa mimik wajah Presiden selalu terlihat sekan-akan ada senyum yang ditahan. Apapun situasinya.

Sebulan atau dua bulan yang lalu, saya sempat mendengar pidato Pak Jokowi di RRI, dalam acara tatap muka dengan gubernur dan bupati (kepala daerah), di Jakarta. Dalam pertemuan itu Presiden mewanti-wanti supaya anggaran APBD jangan digunakan untuk hal-hal yang tidak menunjang kegiatan produktif. Seingat saya Pak Presiden menekankan agar dana APBD sebaiknya digunakan untuk meningkatkan sarana infrastruktur yang tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat di wilayah masing-masing. 

Uang APBD itu jangan hanya dibagi-bagi ‘rata’ pada kantor-kantor dinas, sebab selama ini tidak akan kelihatan hasilnya. Jangankan wujudnya, bahkan ‘bau’ dan ‘rasa’-nya sekalipun tidak terasa sama sekali. Lebih baik seandainya dana itu digunakan untuk meningkatkan sarana pelabuhan. Sebagai misal, Presiden memberikan contoh wilayah Maluku yang menjadi pusat penangkapan ikan terbesar di wilayah Timur Indonesia, seharusnya memiliki sarana pelabuhan ikan yang lengkap, sehingga seluruh proses pelelangan ikan hingga penyimpanan ikan hasil tangkapan dapat teratasi di pelabuhan tersebut. Pak Jokowi memberikan contoh bahwa pelabuhan Rotterdam (di Belanda) merupakan pelabuhan besar untuk melayani pembongkaran muatan bahan bakar minyak yang sangat lengkap. 

Uang APBD itu juga jangan hanya digunakan untuk perjalanan dinas, membeli mobil dinas, membangun gedung yang sebetulnya tidak diperlukan (karena gedung yang sudah ada masih layak digunakan), membeli furniture dari luar negeri (padahal pabrik di dalam negeri bisa membuat sendiri), dan lain-lain yang merupakan pengeluaran uang yang bersifat 'konsumtif'.

Presiden juga mengatakan bahwa kini masing-masing daerah seharusnya memiliki karakter ‘spesifik’ (branded). Terkait dengan predikat ‘Kota Budaya’, kini masing-masing daerah berusaha menonjolkan tema ‘budaya’, namun ternyata penjabaran sebagai kota budaya tidak bisa memperlihatkan kekhasan budaya masing-masing secara signifikan. Yang dikehendaki Presiden adalah, misalnya kota Jogja yang lebih terkenal dalam bidang Seni Lukis maka sebaiknya hasil seni budaya lukis lebih ditonjolkan oleh para seniman yang berada di Jogja, serta mendapat dukungan lebih banyak dari Pemda Jogja. Demikian halnya dengan seni budaya tari yang merupakan ciri utama Kota Surakarta, maka seharusnya seniman tari di Surakarta lebih ditampilkan dalam berbagai forum. Masyarakat Kota Surakarta juga menyadari bahwa ‘tari’ merupakan kegiatan seni yang selalu diadakan di kotanya.

Dalam persaingan usaha yang sangat keras, maka ‘branded’ (ciri khas) akan menjadi penentu utama bagi satu bangsa yang akan memenangkan persaingan dalam bidang apapun. Demikian ujar Presiden.

Dalam pidato di Munaslub Golkar di Bali, saya sempat tersenyum simpul ketika Presiden Jokowi menafsirkan pertanyaan pertanyaan terkait ‘posisi’ Presiden dalam kumelut Partai Golkar. Presiden mengatakan:

 "Saya ditanya oleh banyak orang: di mana posisi istana? Ya... saya jawab saja, posisi istana masih di jalan Merdeka Utara. Kemudian karena si penanya masih penasaran dan tidak puas atas jawaban saya, dia kembali bertanya: ‘Maksudnya posisi presiden di mana? Saya jawab bahwa saya ada di Munaslub Golkar, di Bali."

Saya langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Pak Presiden.

Terakhir saya mendengarkan pidato Presiden Jokowi melalui Radio El Shinta, Hari Jum’at, 17 Juni 2016, dalam tanya jawab dengan warga masyarakat di Batang. Pada saat upacara peletakan batu pertama pembangunan jalan tol Batang – Semarang, Presiden Jokowi bertanya kepada seorang warga (perempuan) tentang ‘uang ganti’ hasil pembebasan tanah dalam proyek tol tersebut. Dalam bahasa Jawa diseling dengan Bahasa Indonesia, Presiden akhirnya tahu bahwa ibu itu mendapat uang ganti tanahnya seluas 1000 meter persegi, yakni kurang lebih sebesar 600 juta rupiah(?). Presiden bertanya, "Uangnya masih ada?" Ibu tadi menjawab, "Sampun telas (sudah habis), Pak." Padahal Presiden sebetulnya hendak memberi saran agar supaya uang yang sangat banyak itu sebaiknya disimpan terlebih dahulu di bank. 

"Padahal tadinya saya mau memberi saran agar uangnya jangan dihabiskan. Ternyata sudah dibelanjakan," timpal Presiden. "Saya mau memberi saran kalau menerima uang sebesar itu sebaiknya menenangkan pikiran dan hati. Jangan tergesa-gesa membelanjakan. Gunakan untuk keperluan yang produktif. Uang tersebut jangan digunakan untuk membeli mobil atau sepeda motor. Lebih baik dipakai untuk membeli tanah. Kalau membeli mobil yang harganya 200 juta, nanti lima tahun lagi nilainya akan turun. Harga mobil itu hanya jadi 75 juta rupiah."

“Setuju bapak-bapak, ibu-ibu!!” tegas Presiden Joko Widodo.

“Setuju....” dijawab serentak oleh warga masyarakat dengan nada tidak kompak.

“Setujunya koq ndak mantab,” timpal Presiden.

Saya tertawa terbahak-bahak sendiri.

Setelah si Ibu, Bapak Presiden memanggil seorang warga laki-laki untuk mendekat ke panggung.

Asmane sinten (nama bapak, siapa), Pak?” Tanya Presiden.

“Rohimin!” jawab laki-laki itu tegas.

Selanjutnya Pak Rohimin dengan penuh percaya diri berbasa-basi membuka percakapan dengan Presiden.

“Terima kasih atas waktu yang telah diberikan kepada saya untuk dapat berdiri..” ucap Pak Rohimin.

“Pak Rohimin, sampeyan jangan pidato lho!” potong Presiden sambil bercanda.

Saya kembali tertawa terbahak-bahak. Dalam pendengaran saya, terdengar tawa membahana dari hadirin undangan yang berada di tempat upacara peresmian itu.

“Bapak hapal dengan Pancasila?” Presiden Jokowi mencoba mengetes hapalan Pancasila laki-laki tersebut.

“Hapal, Pak!”

Cobi dipun waos (coba Anda bacakan)”.

“Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa; Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Tiga, Persatuan Indonesia, Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; Lima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia!” Pak Rohimin membaca dengan lantang dan runtut.

Tampaknya Presiden manggut-manggut sebagai tanda perasaan puas bahwa warga masyarakatnya di Batang, Jawa Tengah, ternyata masih ada yang menghapal Pancasila dengan baik.

Hadiah-e nopo, Pak (hadiahnya apa, Pak?)?” Pak Rohimin menagih ‘hadiah’ pada Presiden.

Durung-durung wis njaluk hadiah (belum-belum sudah minta hadiah),“ celetuk Presiden.

Saya tersenyum. Pak Jokowi ternyata bisa memerankan sebagai Presiden dan ‘dalang’.

18 Juni 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun