Sejalan dengan siklus belajar multiliterasi (Marocco, 2008) yang melingkupi lima tahapan: Engage (melibatkan), Respond (merespon), Elaborate (mengelaborasi), Revisit (meninjau ulang), dan Represent (mempresentasikan), diperlukanlah strategi praksis pembelajaran yang mewadahi kompetensi dasar literasi, yaitu:
Pertama: Perbanyak dan perkuat kegiatan "membaca kritis" yang dimulai dari terampil memilih bacaan yang tepat dan sesuai dengan isi materi pelajaran, memahami organisasi teks (struktur dan jenis wacana), mengkritisi teks (menguji kebenaran, akurasi sumber, dan kelengkapan data), dan membangun makna kata (memahami etimologi, arti, dan maknanya sesuai mata pelajaran tertentu).
Kedua: Menuliskan ide/gagasan sesuai dengan materi yang dipelajari, dibaca, diteliti, diobservasi, dan diparafrase dalam berbagai bentuk laporan penelitian, catatan lapangan, intisari bacaan, sinopsis, teks visual (tabel, grafik, gambar, dll), resensi, tanggapan kritis, dan berbagai jenis tulisan yang lain. Tulisan yang dihasilkan juga harus sesuai dengan jenis/genre, tujuan/maksud, dan untuk siapa sasaran tulisan tersebut dibuat.
Ketiga: Berbicara/Presentasi sesuai dengan kaidah tujuan berbicara, ragam kegiatan berbicara (diskusi, debat, paparan, dll), sarana/media yang digunakan sesuai dengan substansi teks/materi yang dipelajari, memberi ruang komunikasi efektif, dan juga memenuhi kriteria etis dalam berbicara.
Ruang Terbuka: Peluang dan Tantangan
IKM yang memberikan "kebebasan" setiap satuan pendidikan untuk merancang dan mendesain pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik menghadirkan oase dan kesempatan untuk melakukan eksplorasi pembelajaran baik model, metode, media, maupun strateginya. Hal tersebut sekaligus memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah untuk menemukan bentuk terbaiknya dalam memfasilitasi belajar peserta didiknya.Â
Implementasi model pembelajaran berbasis proyek (PjBL), berbasis masalah (PBL), dan berbasis riset (RBL) menjadi contoh bagaimana sekolah melalui para guru memberi ruang eksplorasi dan sekaligus interaksi belajar antara guru dengan peserta didik yang berorientasi pada pengembangan kompetensi Abad-21.
Tantangan terbesar dari merancang dan memfasilitasi pembelajaran yang berorientasi pada "pembebasan" peserta didik tidak lain terletak pada mengubah mindset dan membangun kapasitas dan kapabilitas pengajaran guru sesuai dengan karakteristik perkembangan jaman dan kebutuhan peserta didik.Â
Meski demikian, tantangan tersebut sekaligus dapat ditempatkan sebagai peluang bagi upaya berkelanjutan pengembangan kompetensi para guru agar dimampukan memfasilitasi pembelajaran yang berorientasi pada:
Pertama, menghubungkan materi yang dipelajari dengan apa yang peserta didik ketahui (pentingnya tes diagnostik dan pre-knowledge).
Kedua, menghubungkan materi bahasan dengan kehidupan nyata dan isu-isu kontemporer.