Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dari Diskusi FMB 9: Kaitan Pancasila, Islam dan Media Sosial

31 Mei 2018   23:02 Diperbarui: 31 Mei 2018   23:30 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.

KH. Hasyim Asy'ari - Pendiri NU

Belakangan  dampak radikalisme sudah pada tahap mengkuatirkan, dimana segenap elemen masyarakat dicurigai telah terpapar langsung dan lewat media sosial,  termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian, Lembaga dan BUMN. Di media sosial, sebelum bulan Ramadhan sempat viral tentang seorang pegawai BUMN Telkom dicurigai sebagai agen kelompok radikal. Karyawan tersebut adalah penanggungjawab kegiatan rohani Islam di perusahaan milik negara tersebut, masyarakat mengetahui keterlibatannya  setelah beredar daftar pengisi ceramah bulan Ramadhan mencantumkan penceramah yang dianggap pro- gerakan radikal.

Metode radikalisasi kini paling banyak dilakukan di media sosial , meski cara - cara konservatif lewat komunitas keagamaan di sekolah - sekolah dan Perguruan tinggi juga dilakukan untuk merekrut kader militan. Hasil temuan dari Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Kemenkominfo per 21 mei 2018  ini ada  sekitar 3.195 konten yang mengandung radikalisme, terorisme, di berbagai platform media sosial yang telah diblokir. Artinya setiap hari ada saja konten - konten berisi ajaran - ajaran radikal terselip di timeline - timeline media sosial yang tiap hari kita konsumsi.

"Kami ada data, jadi temuan per 21 mei 2018, selama kurang lebih 10 hari ditapis menggunakan Artificial Intelligence System (sistem kecerdasan buatan) milik Kominfo, kita menemukan dan memblokir sekitar 3.195 konten yang mengandung radikalisme, terorisme, di berbagai platform media sosial," ungkap Niken dalam  Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Merawat Keberagaman, Menangkal Terorisme dan Radikalisme" yang diselenggarakan di Gedung Serba Guna Kemkominfo, Jakarta, Rabu (30/5/2018).

Diakui Niken, media sosial saat ini memang telah menjadi salah satu faktor yang mempercepat radikalisasi oleh kelompok teroris, terlebih di Indonesia, karena sebanyak 53 persen atau sekitar 143 juta penduduk di Tanah Air telah mengakses internet.

"Dengan adanya media sosial yang dimanfaatkan kelompok radikal, ideologi ini semakin lama semakin cepat menyebar. Dan kalau anak-anak muda yang barangkali wawasannya terbatas dan dibombardir informasi radikal, maka mereka banyak yang kemudian tidak hanya terinformasi, tapi juga berpotensi terinternalisasi paham-paham tersebut," ujarnya.

Pancasila dan Radikalisme

Negara seakan dibawa kembali situasi genting seperti  masa tahun 65 dimana ideologi Komunis juga ditenggarai merasuk jauh ke semua elemen masyarakat saat itu. Pemerintah Orde Baru dengan justifikasi ini membersikan pengaruh gerakan ini dengan kebijakan "bersih lingkungan" untuk semua aparatur negara, termasuk untuk lembaga yudikatif, legislatif dan ekskutif sampai Reformasi bergulir pada tahun 1998. Paska Reformasi terjadi kekosongan penanaman ideologi dasar negara Pancasila, kini setelah ancaman  terhadap keutuhan NKRI kita tak mempunyai pondasi pemahaman ideologi yang cukup untuk menghadapinya. 

 "Hal itu terjadi karena sejak 1998 Pancasila tidal lagi diajarkan, sehingga memori generasi muda tentang Pancasila cenderung kosong," ujar Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono di forum diskusi media itu. 

Untuk menjembatani kekosongan tersebut, BPIP tengah menyusun garis-garis besar pembinaan Pancasila. Problem lain, Hariyono mengungkapkan, adalah ekslusivisme, sehingga, kata dia, terjadi segregasi (pemisahan sebuah golongan dari golongan lainnya) sosial.

"Seharusnya inklusivitas dikembangkan di mana-nama. Sebab, sebuah peradaban hanya muncul di dalam kondisi inklusif. Di mana di sana ada makna dari memberi dan menerima," katanya. Persoalan selanjutnya, menurut Hariyono, adalah terkait pendidikan. Di mana, kata dia, pendidikan Pancasila tidak bisa dilakukan secara top down. Tapi, harus memasukkan nilai Pancasila dalam problem yang ada di masyarakat.

Hal lain yang menjadi pencermatan BPIP, Hariyono mengungkapkan, terkait proses  pelembagaan. Diketahui, sambung dia, saat ini masyarakat kesulitan mencari teladan. "Bahkan dalam dunia seni budaya, seni rakyat kita, tidak memberikan optimisme pada anak didik Indonesia. Misalnya, di Indonesia, hampir semua film mengisahkan kekalahan. Sehingga anak berpikir, kita adalah keturunan bangsa kalah," tuturnya.

Itulah sebabnya, Hariyono mengatakan, BPIP tengah mengembangkan pola pendidikan dan pelatihan yang menjadikan Pancasila menjadi sumber kreasi dan prestasi. 

Menurut Hariyono, ada kecenderungan ketika bicara Pancasila  hanya terkait masa silam, bukan masa kini dan masa depan. Di dalam pidato 1 Juni, Pancasila sebagai Philosofosche Grondslag, tidak ditemukan pidato-pidato dari tokoh-tokoh lain selain Bung Karno. 

"Pancasila lahir pada 1 Juni, digodok pada 22 Juni dan disahkan pada 18 agustus. Terkait Pancasila dan keberagaman, orang yang mengenal keberagaman pasti tidak akan radikal. Karena ia terbiasa bergaul secara luas. Terbiasa berpikir terbuka dan toleran. Ini cocok dengan sunatullah, hukum alam," ujar Hariyono.

Yang paling menarik, Wakil Kepala BPIP menjelaskan, tidak ada manusia Indonesia yang DNA-nya yang sama. Ini berarti, Indonesia sangat beragam. Sebagaimana yang disampaikan bung Karno dan bung Hatta, kita adalah bangsa yang besar.

"Pancasila hanya bisa digali dengan nilai-nilai yang ada di tanah airnya. Pohon bisa besar, tinggi, kalau dia memiliki akar yang kuat. Justru nilai-nilai budaya, saat ini mulai banyak yang hilang. Awal mula hilang adalah saat masa penjajahan. Dan penjajahan itu melahirkan jiwa-jiwa yang inlander. Akhirnya, cara berpikirnya sempit, tidak membuka diri," ulas Hariyono.Dalam rangka memperingati Hari Pancasila, Wakil Kepala BPIP menjelaskan, BPIP menggelar festival budaya, seminar internasional, lomba meme, lomba yel-yel, film pancasila pendek, dll.

"Ternyata, anak-anak muda saat ini sangat kreatif. Ketika bicara pancasila, prestasi sebuah bangsa adalah bermuara dari akar budaya yang dimilikinya untuk masa depan," jelasnya. Saat ini, Hariyono menegaskan, kementerian dan lembaga negara harus diingatkan, apakah sejumlah kebijakan sudah berbasis pada pancasila. Karena ternyata, masih banyak regulasi yang tidak berbasis dengan pancasila."Pancasila juga belum mampu menjadi paradigma keilmuan. Karena ketika mengritikisi kapitalisme global dan neoliberal, sementara ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai pancasila belum mengakar di dunia pendidikan," jelas Hariyono.

Pandangan PBNU Tentang Islam dan Negara

Saya tertarik dengan pandangan ormas Islam terbesar di Indonesia NU yang diungkapkan oleh Wakil Sekjen PBNU Sulthonul Huda negara Pancasila, Nasionalisme dengan Islam. Sulthonul mengacu pada pendapat pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari tentang hubungan negara Indonesia  dan agama Islam. 

"Menurut NU berdiri karena Indonesia seperti disinyalir oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari yang menyatakan agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian agama dan keduanya saling menguatkan," ungkap Wakil Sekjen PBNU tersebut.

Selama ini, menurut Sulthonul, yang menjadi pijakan NU memahami prinsip-prinsip dan kondisi di Indonesia terdiri banyak kepulauan, suku, dan bahasa. 

"Islam sendiri muncul pada generasi ke-3 sejarah Nusantara. Agama pertama yang datang adalah Hindu, Buddha, Islam, baru kemudian Kristen," jelasnya.

Kenapa paham radikalisme atau fundamentalisme agama justru banyak berasal dari Islam Transnasional/Timur Tengah? Sulthonul menjelaskan negara-negara Islam di Timur Tengah dibentuk dari kepentingan negara-negara imperialis Barat seperti Inggris dan Prancis. Berbeda dengan pembentukan negara Indonesia di mana kelompok Islam dan nasionalis berjuang membebaskan diri dari penjajahan kolonial Barat. 

Lebih lanjut, ia mengatakan orang-orang atau kelompok yang mengaku wakil Islam itu sama sekali bukan orang-orang yang turut mendirikan Indonesia, tapi yang mendirikan Indonesia adalah NU dan Muhammadiyah.

Sulthon menambahkan, NU tidak pernah menyatakan diri atau merasa memberikan hadiah terbesar dari umat Islam bagi Indonesia ketika BPUPK sedang merumuskan dasar negara Pancasila sepakat mencabut tujuh kata yang menyebut kewajiban menjalankan agama berdasarkan syariat Islam.

Semoga bermanfaat !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun