Bagi sebagian masyarakat termasuk saya, mungkin tidak paham bagaimana asal-muasal penetapan harga (Harga Eceran Tertinggi/HET) daging, gula, minyak goreng, beras di pasar - pasar tradisional. Ketika bersama Kompasianer lain "nankring bareng" dengan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, di Auditorium Kementerian Perdagangan, jadi terbuka wawasan saya. Ternyata begitu rumit, lho !Â
Prosesnya, perlu strategi politik juga untuk menundukan para bandar, produsen dan mafia kebutuhan pokok. Tak sekedar keluarkan aturan, lalu dilapangan mengikuti. Memang jaman sudah berubah, kebijakan pemerintah di era reformasi tidak serta- merta diikuti oleh stake holder kepentingan di sektor itu. Tak heran, bila ada yang mengatakan menjadi seorang Menteri di "Zaman Now" tak seperti jaman lalu - lalu.
Dari penuturan Enggartiasto Lukito, pria yang bangga sebagai warga Cirebon ini saya "tahu cerita di balik cerita" proses pengambilan keputusan penetapan harga 9 bahan kebutuhan pokok. Diawal sessi perkenalan, beliau throw back tentang amanat dari Presiden Joko Widodo ketika diminta menjadi Menteri Perdagangan di Kabinet Jokowi - JK.Â
Menurut mantan Ketua REI ini, ada 3 (tiga) hal yang diamanatkan Presiden Joko Widodo, yakni : pengendalianinflasi, Menjaga neraca perdagangan dan tingkatkan ekspor dengan membuka pasar baru, Membuka pasar baru, dan Perbaikan pasar tradisional dan pedagangnya. Tiga amanat tersebut sesuai dengan agenda 9Program Nawacita pertama :
Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Pengendalian Inflasi dan Harga Bahan Pokok
Kata kunci (keyword) "Menghadirkan kembali negara...." menjadi pegangan Enggartiasto dalam mengambil setiap kebijakan di sektor perdagangan, meski kadang harus berbenturan dengan kepentingan "mafia-mafia". Bahkan kebijakan tidak populis sekalipun ditempuh seperti kebijakan impor beras pada awal tahun 2018 ini. Menurut Enggar, kebijakan ini menimbulkan polemik sementara.Â
Tapi bila tidak diambil, Â pada jelang Bulan Puasa nanti biasa terjadi kekacauan sosial (chaos) bila persediaan beras tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasar. Menurut Enggartiasto, landasan utama dari setiap keputusannya adalah ilmu ekonomi dasar, yakni "permintaan dan penawaran" (supply and demands).
Sebagai contoh, menjelang hari raya Idul Fitri atau memasuki bulan Puasa permintaan terhadap kebutuhan pokok sangat tinggi dan pola selalu berulang sepanjang tahun. Pada masa - masa inilah para spekulan dan pedagangan besar biasanya meraup keuntungan besar dengan memainkan harga, terkadang mereka menjual dengan harga di atas HET. Bila komuditas kebutuhan pokok persediaannya di bawah permintaan, dan permintaan terus tinggi, otomatis harga - harga tersebut akan melampaui HET.
Bagaimana cara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan mengatasi kasus tersebut ? Menteri Perdagangan mengeluarkan kebijakan dengan dengan menggelontorkan komoditas bahan pokok agar pasar tidak kekurangan stok. Artinya menyeimbangkan permintaan dan penawaran sehingga harga dapat berimbang.Â
Salah satu implementasi dari kebijakan tersebut adalah Operasi Pasar , untuk mendapatkan hasil maksimal, Mendag menurunkan staf Kemendag ke daerah - daerah untuk memantau secara langsung harga di pasar selama beberapa bulan. Sebagai background tulisan ini saya cantumkan pemberitaan dari Kompas.com tentang impor beras.
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo mengatakan, kebijakan impor 500.000 ton beras dilaksanakan demi memperkuat cadangan beras nasional. "Itu ( impor beras) untuk memperkuat cadangan beras kita agar tidak terjadi gejolak harga di daerah-daerah," ujar Jokowi di sela kunjungan kerjanya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (15/1/2018). Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, harga beras medium di Pasar Beras Cipinang mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir sehingga dibutuhkan penetrasi berupa tambahan stok.Â
Selain itu, posisi cadangan beras pangan Indonesia menipis. Ketentuan soal cadangan beras di Indonesia itu mematok pada FAO. Organisasi sayap PBB yang mengurusi soal pangan itu merekomendasikan cadangan beras untuk negara seperti Indonesia 1,1 juta hingga 1,8 juta ton. (Baca juga: Satgas Pangan Sebut Impor Beras karena Hasil Panen Sedikit) Sementara itu, cadangan beras pangan Indonesia pada pertengahan Januari 2018 jauh di bawah itu sehingga dibutuhkan penambahan cadangan.
Di sisi lain, panen beras di Indonesia baru dimulai pertengahan Februari 2018 dan berakhir pada Maret 2018 (panen raya). Total konsumsi beras per tahun di Indonesia 37.700.000 ton. Artinya, konsumsi beras per bulan mencapai sekitar 3,1 juta ton. Hitung-hitungan pemerintah pun, 500.000 ton beras hasil impor itu akan menjadi cadangan  sekitar satu hingga dua pekan saja. Jika merujuk pada waktu panen, impor beras itu pun diyakini tidak akan "memukul" petani.
Membuka  Pasar - Pasar Baru Internasional
Menteri Enggartiasto menyatakan bahwa Indonesia saat ini menikmati angka ekspor tertinggi dibandingkan periode pemerintahan sebelumnya, benarkah demikian ?. Saya penasaran juga dengan pernyataan ini, mengingat pernyataan ini berbasis data saya mencari data pembanding dari  situs katadata untuk membuktikan, hasilnya :
Nilai ekspor pada Agustus mencapai US$ 15,21 miliar sementara impor hanya mencapai US$ 13,49 miliar. Alhasil, neraca perdagangan pada bulan lalu surplus US$ 1,72 miliar dibanding bulan sebelumnya mengalami defisit US$ 274 juta. Capaian ini merupakan yang terbesar sejak Desember 2011 atau hampir dalam tujuh tahun terakhir.
Neraca perdagangan sepanjang Januari-Agustus 2017 naik 77,6 persen menjadi US$ 9,11 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya hanya US$ 5,13 miliar. Neraca perdagangan dalam delapan bulan tahun ini hampir menyamai surplus perdagangan sepanjang 2016, yakni senilai US$ 9,53 miliar.
Solusi Memperbaiki Pasar Tradisional
Pasar tradisional kini makin terpinggirkan oleh gerai ritel modern, bahkan di banyak pasar tradisional keberadaan gerai tersebut mengepung lokasi pasar. Kondisi kedua tempat belanja tersebut berbanding terbalik, pasar tradisional kondisinya masih becek dan bau sementara kondisi gerai ritel modern bersih, wangi dan dingin.
Apa solusi mengatasi kesenjangan tersebut ? Apakah dengan menutup gerai - gerai tersebut ? Mendag Enggartiasto memiliki solusi,bukan dengan menutupnya, sebab ada sekitar 400 ribu anak - anak muda bekerja di sana. Hingga saat ini, Kemendag sedang melakukan uji coba (pilot project) sebagai inisiasi perbaikan pasar tradisional dan meningkatkan daya saingnya.Â
"Ada 3 hal yang perlu diperbaiki pada pasar tradisional, yaitu bangunan fisik, akses kepada barang dagangan agar sama dengan pasar modern, akses kepada modal berusaha", ujar Mendag Enggartiasto Lukito dalam acara Perspektif Kompasiana.com.
Menurut Mendag, pengusaha ritel besar memiliki banyak kelebihan dibanding pedagang tradisional, yakni : outlet bagus, mendapatkan barang dagangan lebih murah dari produsen karena membeli dalam kuantitibesar, serta memiliki modal besar yang berlipat ganda bila melakukan Initial Public Offering (IPO) di bursa saham. Bagaimana cara membuat daya saing pedagang pasar tradisional setara dengan gerai – gerai ritel modern ? Menurut Enggar kemitraanpengusaha besar dan pengusaha kecil menengah selama ini sebatas slogan tanpa mediasiserius , disinilah negara harus sebagai mediator antar pedagang kecil dan besar.
- Untuk mendapatkan akses barang dengan harga sama, Kemendag menghimbau dan mediasi  kepada pedagang grosir modern menjual dengan harga sama kepada pedagang pasar tradisional dan gerai ritel jaringannya.Â
- Merenovasi warung -warung dengan penataan warung  berbasis sistim outlet dan pengiriman barang lewat aplikasi online.
- Mengetuk lembaga perbankan nasional untuk mengucurkan dana ke pedagang pasar tradisional secara harian secara selektif, sistim keanggotaan (membership) dan rekening koran. Pengaturan ini untuk menghindari penyelewengan penggunaan untuk belanja konsumsi lainnya, seperti membeli sepeda motor atau lainnya. Enggar menuturkan, pedagang pasar tradisional meminjam modal uang dengan bunga 5% per 12 jam dari bank keliling.
Dari sisi usia, Mendag Enggatiasto Lukito sudah tidak muda lagi, bisa jadi ia adalah sedikit dari sisa aktivis mahasiswa tahun 70-an di lingkar kekuasaan. Dilahirkan Kota Cirebon, mengaku berasal dari keluarga biasa, bukan kalangan pejabat atau pengusaha. Oleh sebab itu, ia merasa "berhutang"Â pada negeri ini, dan ingin membayarnya kepada rakyat Indonesia dengan berdiri di garis rakyat.Â
Tekadnya tersebut dibuktikan ketika berjuang menurunkan harga minya goreng, gula, daging, serta mempertahan kebijakan impor beras untuk menyangga persediaan beras jelang Bulan Ramadhan. Enggar harus melawan para produsen besar minyak goreng, Â mereka adalah penyumbang devisa terbesar Indonesia lewat komoditasCPO, produsen gula nasional yang memiliki brandternama, pengimpor daging terbesar.Â
Untuk menjaga kestabilan harga, tak ragu - ragu mengajak produsen barang kebutuhan pokok dan menghitung ulang biayanya sampai ketemu Harga Eceran Tertinggi (HET). Dia rela menunggu berhari - hari di ruang Auditorium Kemendag  sampai ada kesepakatan harga antara pemerintah dan  produsen dan pemilik jaringan grosir.
Meski tidak selalu langkahnya mengendalikan harga dan meningkatkan daya saing selalu berjalan mulus, Enggar tak pernah kehilangan akal atau takut menghadapi mafiadi sektor ini. "Urat takut saya sudah putus sejak masih aktifis mahasiswa di Bandung", ujarnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H