Tak terasa bulir air mataku jatuh dari pelupuk mataku, bahkan kian menderas, hingga membuatku sedu sedan.
Aku bukan minta ulang tahunku dirayakan, tapi setidaknya kalian ingat Ibumu sekarang sudah serenta ini, usia 70 tahun wahai Anak-anakku.
Lagi pula sudah berpuluh-puluh tahun sudah tak kalian rayakan, aku tidak apa-apa. Tapi janganlah kalian lupakan ulang tahun Ibumu ini.
Sudah puluhan tahun lamanya kalian tidak lagi ingat hari ulang tahunku. Sudah lewat beberapa hari baru kalian ingat. Itupun kalau bukan karena aku sindir-sindir kalian pasti akan tetap lupa.
Apakah ulang tahunku sudah tak lagi penting?Â
Apakah disetiap hari ulang tahunku, aku harus berjibaku dengan tangis dan pedih hati karena telah terlupakan?
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara lantang bak vokal grup para Cucu-cucuku ini.
"Selamat ulang tahun Nenek."
Lalu mereka serentak bernyanyi, "tiup lilinnya, tiup lilinnya, sekarang juga, sekarang juga."
Dilan, vina, dan dewi, tak ketinggalan istri dan suami mereka tetiba muncul di belakang Cucu-cucuku membawa Kue ulang tahun.Â
Tertegun aku, tangisku makin menjadi, tapi kini bukan karena sedih, tapi haru karena gembira.