Memantas-mantaskan diri di kantor?
Apakah itu?
Apa termasuk bagian dari flexing atau personal branding?Â
Ya, perilaku memantas-mantas diri ini adalah termasuk kategori flexing atau pamer, karena memantas-memantaskan diri ini adalah suatu perilaku yang dirasa pantas disandang oleh diri tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang dijalani.
Sehingga pada akhirnya menimbulkan pula praktik sikap "merasa paling" dari semua orang di kantor, merasa dirinya paling penting di kantor misalnya, merasa diri paling dibutuhkan di kantor misalnya, dan merasa paling lainnya, padahal kenyataannya tidaklah seperti itu.
Ujung-ujungnya ketika perilaku memantas-memantaskan diri ini terus berlangsung hingga menimbulkan praktik sikap merasa paling ini maka yang terjadi secara simultan kemudian adalah flexing.
Ada pencapaian sedikit langsung pamer, ada prestasi secuil langsung pamer, dapat pujian seiprit langsung pamer, hingga akhirnya merembet, dapat beli barang branded dari bonus kerjaan langsung pamer kekayaan, jadilah sedikit-sedikit pamer.
Padahal secara kepantasan kalau dilihat dari kenyataan secara nilai mutu dan kualitas dari apa yang merasa dipantaskan tersebut masihlah biasa saja atau standar-standar saja.Â
Apa yang dipamerkan masihlah umum terjadi di kantor, tapi jumawanya sudah jadi merasa sok yang paling pantas dan paling expert saja di kantor.
Apalagi ketika sikap dan praktik memantas-mantaskan diri dan "merasa paling" ini diumbar di Medsos dapat banyak like, wah jadi semakin jumawa setinggi langit. Jalan dimanapun kepala tengadah melulu deh jadinya sehingga jadi semakin lupa diri.
Sering juga praktik sikap dan perilaku memantas-mantaskan diri dan merasa paling ini disalah artikan sebagai personal branding.
Iya sih, personal branding itu memang berkaitan dengan impresi atau kesan yang erat kaitannya juga dengan keahlian, perilaku, maupun prestasi yang dibangun baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dengan tujuan menampilkan citra diri yang positif ke orang banyak.
Dengan kata lain, personal branding bisa membuat seseorang mengingat kita dengan mudah dengan citra yang positif yang kita bangun.
Namun bukan berarti bisa dipadankan dengan flexing, personal branding tidak bisa disama artikan dengan sikap perilaku praktik memantas-mantaskan diri dan merasa paling.
Personal branding lebih kepada membentuk citra positif tentang krediblitas, reputasi, pamor, dan karakter diri dengan mengedepankan integritas.
Ya, disadari ataupun tidak disadari sindrom memantas-mantaskan diri dan merasa paling di antara sesama karyawan ini memang sering umum terjadi di suatu kantor.
Bahkan arogansi dan sesumbar, bahwa tanpa ada eksistensi dirinya yang paling penting di kantor, maka kantor bisa jomplang ataupun kantor bisa tumbang pun terjadi.
Padahal sejatinya, apa yang disesumbarkan tersebut belum tentu sesuai dengan kenyataan, belum tentu sesuai dengan ukuran mutu dan kualitas kinerja diri di kantor, bahkan secara realitanya justru jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Yang pasti, kalau praktik sikap dan perilaku memantas-mantaskan diri dan merasa paling ini terjadi pada diri dan tidak diatasi maka akan berdampak pula pada gangguan kepribadian bahkan kesehatan mental dapat terganggu.
Bisa-bisa seseorang akan mengalami gangguan kepribadian, mental, dan kejiwaan, seperti di antaranya, megalomaniac, narsisistic, druning-krueger efect, overthinking, dan bermacamnya yang sejenis.
Jadi, daripada berpolah flexing (memantas-mantaskan diri dan merasa paling) tapi nantinya kepradah lebih baik bertindak positif dengan memperkuat personal branding.
Dengan cara apa?
1. Menerapkan Grit and Humility secara wawas.
Menerapkan grit dalam diri ini merupakan langkah wawas dalam rangka mengukur sifat, kapasitas, dan kegigihan tanpa terlalu peduli dengan penghargaan, pengakuan orang lain, prinsipnya adalah yang penting kerjakan dahulu dengan baik dan berbuat dahulu yang terbaik.
Jangan ketinggalan untuk mengombinasikannya dengan humility dalam diri sebagai langkah wawas dalam rangka mengukur kemampuan diri dalam hal wawas menghargai orang lain, wawas mengukur kekuatan orang lain, dan wawas terhadap kemampuan orang lain.
2. Menerapkan ketabahan ketika mengalami embrace failure.
Langkah berikutnya adalah wawas diri untuk bisa menerima kegagalan (Embrace Failure) untuk berprinsip yakin bisa bangkit dengan segera.
Dengan begitu, diri akan selalu tangguh menghadapi tantangan, dan akan berusaha melampaui batas diri bukan karena kesombongan dan pamer, tapi berpacu dengan inovasi dan kreatifitas dan selalu terus berupaya menjadi pembelajar yang bijak.
3. Menjadi pribadi yang SMART.
Ya, "jadilah orang" , jadilah pribadi yang; Spesifik yaitu tersusun dan terencana dalam segala hal. Measurable punya tolak ukur. Achievable yaitu merasionalisasi apa yang memungkinkan untuk diraih. Relevant yaitu tahu batasan dan realistis. Timely yaitu punya tenggat waktu.
------
Nah, selanjutnya tinggal dipilih saja, mau flexing atas nama personal branding dengan cara memantas-mantaskan diri dan merasa paling atau murni mem-personal branding secara plus-plus. Ya terserah saja.
Terpenting melalui artikel ini, penulis sudah berbagi saran dan masukan, selanjutnya terserah saja, yang sejalan dengan artikel ini ayo kita maju dan wawas bersama, yang tidak sejalan ya sudah tinggalkan saja artikel ini.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.
Artikel ke 57, tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H