politik di negeri Indonesia yang kita cintai bersama ini.
Ya, jelang Pemilu 2024 dan termasuk jelang Pilpres dan Wapres 2024 sudah mulai memanaskan panggungPanggung politik mulai memanas ketika transaksional politik mulai terbentuk dengan adanya pembicaraan yang krusial di antara berbagai pihak Parpol.
Saling konsultasi dan koordinasi, diskusi, negosiasi atau lobi-lobi politik antara dua atau lebih komunikator elit politik, dikarenakan di antara mereka masih sama dalam hal pandangan dan kepentingan, sehingga mulai meramaikan panggung politik di negeri ini.
Ya, setiap menghadapi Pemilu, perseteruan hingga perbedaan pandangan yang ke depannya akan membuat masyarakat terbelah menjadi dua atau beberapa poros politik adalah suatu keniscayaan.
Demi mengumpulkan persentase minimal (20%) untuk dapat mengusung Capres-Cawapres sudah mulai mewarnai pesan-pesan politik dalam bentuk persuasif atau pun negatif atau dengan kata lain ada kampanye negatif dan hitam yang juga jadi keniscayaan atau dihalalkan.
Masing-masing Parpol sudah mulai curi star menggalang kekuatannya, terlihat sudah saling adu strategi mengangkat pamor elektabilitas partai, bahkan sudah saling menggenjot pamor elektabilitas figur yang kiranya ke depan bakal dicalonkan jadi RI-1 dan RI-2 di negeri ini.
Isu aktual empat poros koalisi sudah bergema ke seluruh negeri ini, dengan masing-masing visi misinya di 2024 mendatang.
PDIP sepertinya bakal di keroyok oleh koalisi PKB-Gerindra, koalisi Golkar-PAN-PPP, dan Koalisi Nasdem-Demokrat-PKS, atau mungkin ke depan koalisi lainnya.
Ya, kalau memang empat poros ini konsisten, setidaknya sedikit menunjukan perkembangan yang baik, dibanding dua pemilu ke belakang, karena Pemilu 2024 mendatang ada asa meminimalisir polarisasi masyarakat.
Keseluruhannya perilaku parpol dan panggung politiknya masing-masingnnya sah-sah saja sih, akan tetapi dari perilaku tersebut, nampaknya ada yang sangat patut disayangkan dan jadi hal yang miris.
Apakah itu?
Terjadinya gejala degradasi etika moral politik yang di antaranya adalah perilaku dan komunikasi politik Parpol!
Apa buktinya?
Ya, memang sih yang dipersoalkan ini, tidak berlaku untuk semua parpol, namun kalau dilihat dari skala seberapa banyak kursi Parpol di Parlemen, maka setidaknya mereka cukup mewakili terkait mulai menggejalanya degradasi etika moral politik Parpol!
Bisa dilihat bagaimana balutan gurau atau canda politik yang kebablasan dan kekonyolan tergambar nyata, bahkan saling berseteru tidak etis di medsos maupun media lainnya dengan candaan yang tidak elegan.
Inilah setidaknya yang jadi gambaran nyata betapa komunikasi dan perilaku politik yang dibangun justru tidaklah memberi edukasi politik yang bermartabat bagi masyarakat.
Semakin memantik kontradiksi dan kritik dari berbagai kalangan, dan termasuk masyarakat, betapa sebenarnya bikin malu dan menyedihkan! Bah naif kali!
Bisa diambil contoh bagaimana perseteruan Cak Imin dan Yenny Wahid, bagaimana kurang elegannya Megawati Cantik soal statetmennya yang menyinggung perasaan para tukang bakso sejagat Indonesia.
Termasuk saat Megawati cantik menyakiti hati para emak-emak seantero Nusantara terkait statemennya soal minyak goreng.
Lalu, perilaku saling sindir menyindir soal Parpol sombong, belum lagi soal selfi puan yang banyak menuai kontra karena dinilai tidak beretika dan ke depan bisa saja ada lagi keanehan-keanehan perilaku politik di negeri ini.
Inipun belum termasuk kalau menengok ke belakang terkait perilaku etika politik parpol berkaitan dalam hal komunikasi politiknya ini, kalau boleh di bilang, kian kesini kok gejalanya semakin parah alias semakin degradasi.
Sah-sah saja sih menggenjot popularitas dan elektabilitas bagi panggung politik masing-masing, tapi janganlah juga kebelakangkan edukasi politik bagi masyarakat.
Jangan hanya mengedepankan faktor kepentingan belaka tapi menjual murah martabat etika politik, bahkan cara haram pun digunakan.
Sebab, faktor kepentingan itu sangat mudah terbaca, sudah Basi!
Masyarakat itu sudah banyak yang kritis, kalau hanya soal kepentingan gampang banget ketahuan! Mau bikin drama politik dengan skenario bagaimanapun kalau sudah soal kepentingan, gampang banget ditebak arahnya kemana.
Halal jadi haram pun bisa saja terbaca!
Yang jelas, dari sependek wawasan penulis, etika komunikasi politik itu sejatinya mengedepankan tata nilai dalam berbagai peristiwa politik, etika komunikasi politik para elite politik kepada khalayak publik adalah yang berperan sebagai hierarki tertinggi dalam kehidupan sosial.
Dan termasuk juga menyangkut bagaimana pesan politik yang dibangun dalam saluran politiknya masing-masing.
Para elit politik sebagai pelaku komunikator politik adalah figur yang berperan selaku penyampai dan pembentuk pesan bagi khalayak publik.
Sehingga dampak dari hasil penyampaian dan pembentukan pesan politik adalah bukan hanya linear atau satu arah saja, ataupun interaksi sebab akibatnya bukan hanya sebatas bagaimana soal feed back atau umpan balik dari kelompoknya saja, tapi terjadi secara khalayak publik.
Itulah sebabnya mengapa pengaruh elite politik sebagai publik figur sangat berdampak bagi kedewasaan politik khalayak publik.
Kalau para elite politiknya "ndableg" dalam penyampaian dan pembentukan pesan politiknya, ya terang saja akan semakin memberi dampak buruk bagi khalayak publik.
Jadi jangan salahkan juga kalau dari hasil dari "kendablegkan" pembentukan dan penyampaian pesan politik tersebut justru menuai kritikan pedas dari khalayak publik.
Masih mending kalau kritikan, karena tak dimungkiri juga seringkali yang datang menghantam adalah nyiyiran, umpatan, cacian atau makian. Miris bukan!
Boleh sih menarik simpati publik untuk menggenjot elektabilitas, tapi ya tetap ke depankanlah etika politik yang bertatanan sosial, dalam hal komunikasi politik yang bertata krama dan elegan.
Gurauan, kelakar ataupun candaan politik bukanlah haram, ya memang sih itu termasuk komunikasi politik, tapi tentunya tidaklah juga langsung asal "njeplak", setidaknya sebelum jadi gurauan dipertimbangkan dulu, apakah gurauan politik ini mengedukasi khalayak publik atau tidak.
Soal lucu atau tidaknya gurauan politik tersebut tentu relatif, makanya yang patut harus dilihat dulu adalah terkait layak atau tidak jadi bahan tertawaan atau ditertawakan.Â
Sehingga harus dipertimbangkan dulu dari sisi kepantasannya dan dampaknya kepada khalayak publik, menyakiti masyarakat atau tidak, mendidik masyarakat atau tidak.
Biar bagaimanapun juga, gurauan politik itu juga merupakan komunikasi dan pesan politik yang mengejawantahkan wujud kepribadian personal dan juga wujud kepribadian secara organisasi partai, oleh karenanya janganlah sembarangan kalau bergurau politik.
Jadi, mohon para pihak pengusung kepentingan politik agar dicamkan baik-baik, bahwa makna berpolitik adalah dengan kedewasaan berpikir dan berempati dalam perbedaan, jiwa etika politik yang bertatanan sosial adalah komunikasi politik yang bertata krama.
Semoga saja para elit partai ataupun seluruh punggawa politik di negeri ini menjadi manusia yang beradab dan bijaksana demi NKRI yang kita cintai bersama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H