Jargonnya sebagai partai wong cilik hanya dianggap Jarkoni semata, tidak terbuktikan oleh keberpihakannya terhadap wong cilik.
Gurauan Megawati Cantik garing, sepertinya kurang dipertimbangkan terkait dampaknya, seperti enggak mikir panjang.
Dan kalau mau jujur, sejatinya tidak layak disampaikan oleh seorang ketua umum partai politik besar dan malah menunjukkan Megawati tidak memiliki sensitivitas sosial, tidak empati dan tidak sense of crisis terhadap wong cilik.
Secara sadar ataupun tidak sadar, Guyonan Mega Cantik malah merendahkan para abang tukang bakso, meletakan para abang tukang bakso dalam kelompok sosial rendahan, sehingga pantas jadi bahan tertawaan oleh para elite politik dalam forum resmi Rakernas partainya tersebut.
Astaga! Sebegitu rendahkah profesi tukang bakso buk mega cantik? Benarkah? Bah! Naif kali lah! Partai Wong Cilik kok begitu sih. Masyarakat ini loh lagi susah mbok ya sense of crisisnya itu main gitu loh.
Ya, kalau merujuk dari kritikan berbagai pakarnya di bidang politik, maka gaya komunikasi Megawati ini menunjukkan adanya diskrepansi atau jurang pemisah yang dalam antara elite politik dengan kalangan akar rumput.
Penulis pun yakin pasti di antara kader saat Rakernas tersebut sudah membatin, ah kenapa Bu Mega Cantik kok bikin pernyataan kontroversi lagi sih, aduh buukk gimana sih.
Lha penulis saja langsung spontan kok terucap "Ya Allah Bu Mega, kok segitunya sih merendahkan tukang bakso, bu nyebut bu, di ralat bu pernyataannya, kok pemimpin ngomong begitu", bah! ya begitulah namanya juga penulis spontanitas.
Nah, berkaitan dengan itu, sebaiknya para elite politik di PDIP mulai berbenah diri, terkait bagaimana etika politik yang bertatakrama dan elegan, apalagi kalau langsung jadi konsumsi publik.
Kalau enggak, ya itu tadi, secara simultan dan perlahan, elektabilitas dan pamor PDIP bisa saja akan semakin tergerus dan merosot.
Mau jadi seperti itu? Ya terserah aja sih. Karena yang jelas pihak-pihak pesaing pasti tertawa terbahak-bahak kalau PDIP sering blunder menyakiti masyarakat.