Contohnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya, melalui pernyataannya terkait dugaan kudeta atas dirinya yang ditudingkan kepada pihak istana yang telah dirilisnya kepada publik.
Lalu, politikus Ambroncius Nababan misalnya bagaimana tidak bertatarama dan beretikanya dirinya melontarkan pernyataan tidak berlogika bernada rasis yang akhirnya membuat gaduh ruang publik.
Dan masih banyak lagi sebenarnya para politikus yang dalam mengeluarkan pernyataanya mengebelakangkan aspek kelogisan, tidak bertatarama dan tidak beretika, tidak mempertimbangkan dampaknya bagi publik, yang pada akhirnya justru membuat kegaduhan dan keriuhan khalayak publik.
Bahkan jadi perdebatan pro dan kontra di ruang publik yang justru semakin menyulut kebencian dan perpecahan di antara khalayak publik.
Seyogianya, terlepas dari berbagai pertimbangan mengenai faktor muatan dan kepentingan politik yang menjadi latarbelakang pernyataan, maka kaidah-kaidah berpikir logis haruslah tetap diutamakan oleh para politikus.
Sebab, bila berbicara tentang aspek kelogisan pernyataan politik, akan selalu terkait dengan epistemologi, aksiologi dan premis-premis, sehingga pernyataan ataupun argumen politik, haruslah relevan menurut sudut pandang logika yang lex moralis atau bertatakrama dan beretika, bukannya malah memperlihatkan kesesatan berpikir.
Disadari atau tidak, secara umumnya pernyataan-pernyataan ataupun argumen-argumen politik yang dikemukakan oleh para politikus senantiasa ditujukan kepada khalayak publik yang tentunya memiliki tingkat intelektual dan kemampuan pemahaman berbeda-beda.
Dan jelas dalam hal ini, pernyataan politik itu mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi reaksi ataupun respon publik.
Sehingga janganlah pernyataan tersebut justru membawa publik terbawa sesat pikir, seperti, pernyataan berupa tuduhan kepada pihak tertentu misalnya, prasangka dan penafsiran yang bersifat subjektif misalnya, nyinyiran misalnya dan sejenisnya.
Hal ini tentunya akan berdampak juga secara signifikan pada logika berpikir publik dan daya nalar pemahaman publik, bahkan perilaku dan pandangan publik terhadap politik.
Para politikus harusnya bisa bijak, apalagi bagi para politikus yang menjabat sebagai pemimpin organisasi, kalau dalam mengemukakan pernyataan politik saja nggak kompeten dan nggak logis dengan mempertimbangkan dampaknya pada publik, bagaimana bisa mendidik publik lah kalau begini caranya.