Politisi "jekejek-jekejek" kadang-kadang takada logikaahh, yeah,"telolet-telolet".
Ilusi sebuah hasrat dalam hatieehh, "dung-dung plak", "dung-dung plak", inteleknya hanya untuk tersesat eh sesaat at, at, at, t, t. Eyo eyo eyouw ouw, wouwoo uwo iyeiyeiyeiihh.
Waduh, saya kan mau buat artikel, kok malah gubah lagu sih, oiya saya mohon izin ya Mbak AgnezMo, lagunya saya cuplik dan gibah halaahh, saya gubah sedikit maksudnya.
Ya sudahlah, kalau begitu saya lanjut sajalah, jadi, ya kembali ke leptop, eaa, eaa, eaa, tepuk tangan dulu, plok plok plok, hush apaan sih, baiklah serius.
-----
Yah, memang miris dan memprihatinkan kalau menonton Drakor eh menyimak komunikasi politik para politikus di negeri ini.
Statemen atau pernyataan politik sebagai bagian dari komunikasi politik yang sering keluar dari pantat eh dari mulut para politikus, kadang-kadang enggak mikir aspek kelogisan dalam hal tatakrama dan etika politik.
Padahal kan, setiap pernyataan para politikus, baik itu pernyataan secara lisan maupun tertulis, akan selalu bermuatan pesan politis dan ada kepentingan politik.
Sehingga pernyataan para politikus haruslah dikemas dengan bahasa politik yang bertatarama, logis dan berlandaskan etika dan tatakrama politik, bahkan argumen politik yang dibangun melalui pernyataan tersebut haruslah berbobot, berkualitas dan edukatif bukan provokatif dan memecah belah.
Tapi sungguh sayang nian, justru semakin kekinian, ternyata para tikus poli eh politikus malah mengebelakangkan aspek logis, tatakrama dan etika politik dalam merilis pernyataan-pernyataan politiknya.
Contohnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya, melalui pernyataannya terkait dugaan kudeta atas dirinya yang ditudingkan kepada pihak istana yang telah dirilisnya kepada publik.
Lalu, politikus Ambroncius Nababan misalnya bagaimana tidak bertatarama dan beretikanya dirinya melontarkan pernyataan tidak berlogika bernada rasis yang akhirnya membuat gaduh ruang publik.
Dan masih banyak lagi sebenarnya para politikus yang dalam mengeluarkan pernyataanya mengebelakangkan aspek kelogisan, tidak bertatarama dan tidak beretika, tidak mempertimbangkan dampaknya bagi publik, yang pada akhirnya justru membuat kegaduhan dan keriuhan khalayak publik.
Bahkan jadi perdebatan pro dan kontra di ruang publik yang justru semakin menyulut kebencian dan perpecahan di antara khalayak publik.
Seyogianya, terlepas dari berbagai pertimbangan mengenai faktor muatan dan kepentingan politik yang menjadi latarbelakang pernyataan, maka kaidah-kaidah berpikir logis haruslah tetap diutamakan oleh para politikus.
Sebab, bila berbicara tentang aspek kelogisan pernyataan politik, akan selalu terkait dengan epistemologi, aksiologi dan premis-premis, sehingga pernyataan ataupun argumen politik, haruslah relevan menurut sudut pandang logika yang lex moralis atau bertatakrama dan beretika, bukannya malah memperlihatkan kesesatan berpikir.
Disadari atau tidak, secara umumnya pernyataan-pernyataan ataupun argumen-argumen politik yang dikemukakan oleh para politikus senantiasa ditujukan kepada khalayak publik yang tentunya memiliki tingkat intelektual dan kemampuan pemahaman berbeda-beda.
Dan jelas dalam hal ini, pernyataan politik itu mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi reaksi ataupun respon publik.
Sehingga janganlah pernyataan tersebut justru membawa publik terbawa sesat pikir, seperti, pernyataan berupa tuduhan kepada pihak tertentu misalnya, prasangka dan penafsiran yang bersifat subjektif misalnya, nyinyiran misalnya dan sejenisnya.
Hal ini tentunya akan berdampak juga secara signifikan pada logika berpikir publik dan daya nalar pemahaman publik, bahkan perilaku dan pandangan publik terhadap politik.
Para politikus harusnya bisa bijak, apalagi bagi para politikus yang menjabat sebagai pemimpin organisasi, kalau dalam mengemukakan pernyataan politik saja nggak kompeten dan nggak logis dengan mempertimbangkan dampaknya pada publik, bagaimana bisa mendidik publik lah kalau begini caranya.
Jadi intinya, kalau para politikus ataupun politisi pemimpin mau diteladani dan dicintai publik, maka harus mahir bermain dengan kata-kata politik yang logis, berhati nurani yang berkesadaran moral dan konsekuen menjabarkannya dalam perilaku konkret yang bertatakrama dan beretika.
Tapi entahlah, kalau melihat perkembangan dinamika tingkah polah perilaku para politikus kekinian, nampaknya masih cukup jauh panggang dari api, masih mending nonton Drakor daripada nonton drama koplak para politikus di negeri ini.
Ya, mudahan saja masih ada para politikus di negeri ini yang bisa diteladani dan dicintai publik, politikus yang berhati nurani, berkesadaran moral dengan mengedepankan aspek kelogisan dalam bertutur politik, serta selalu mengedepankan tatakrama dan etika politik.
Demikian artikel singkat ini.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H