Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hal yang Dilakukan Bila Anda Terjerat UU ITE Pasal 27 Ayat 3

24 Oktober 2020   21:23 Diperbarui: 24 Oktober 2020   21:32 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE telah menjerat banyak terlapor sejak disahkan pada 2008. Kebanyakan dikenai pasal pencemaran nama. Status hukum mereka pun banyak yang tak jelas | Dokumen Tempo.co

Siapapun anda tentu bisa dikenakan UU ITE, sehingga kalau tidak bijak, maka anda dapat meringkuk dipenjara akibat unggahan konten Anda di Media Sosial yang tak berkenan di hati orang lain.

Ya, soal UU ITE ini kalau tidak hati-hati, memang bisa menjadi momok yang menakutkan bagi siapa saja yang ingin beraspirasi atau bersuara di dunia maya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan bila ternyata Anda dilaporkan atau dikenakan melanggar UU ITE?

Yang pertama adalah, Anda mesti memahami atau mengenal terlebih dahulu apa itu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Yang kedua adalah, meminta bantuan kepada pihak-pihak yang mengerti ataupun memahami benar tentang hukum, seperti misal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ataupun yang lainnya yang ada keterkaitan dengan hukum.

Ya, memang pada awal perumusannya, UU ITE ini hanya dimaksudkan untuk meregulasi transaksi e-commerce dan dokumen digital sebagai alat bukti hukum yang sah dalam transaksi elektronik.

Produk hukum dengan fungsi untuk meregulasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pertukaran informasi dan transaksi yang berbasis pada media elektronik.

Namun, seiring perjalanannya, pasal-pasal yang mengatur penyebaran informasi hoaks, ujaran kebencian, pornografi, judi daring, hingga pencemaran nama baik menjadi bagian dalam UU tersebut.

Sehingga pada tahun 2016, UU ITE yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memuat 11 BAB dan 54 Pasal ini direvisi, dengan menambah dan/atau merubah redaksi, serta menambah beberapa poin dan penjelasan pada pasal 1, pasal 5, pasal 26, pasal 27, pasal 31, pasal 40, pasal 43, dan pasal 45.

Dalam artikel ini, khusus yang penulis sorot adalah penjelasan pada pasal 27 ayat 3, yaitu redaksi pencemaran nama baik dan fitnah yang ditafsirkan dengan mengacu pada pasal 310-311 KUHP, yang mana dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai apa yang menjadikan tindakan seseorang sebagai perbuatan fitnah dan/atau mencemarkan nama baik.

Sehingga pasca revisi ini, sesuai pasal 27 ayat 3, kebanyakan yang terjadi adalah ancaman dari pihak yang akan mengenakan Anda dengan UU ITE ini karena perilaku Anda di media sosial, yang mengacu pada penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Inilah salah satu "Pasal Karet" yang dapat disangkakan kepada Anda bila konten yang Anda buat atau Anda sebarkan via Medsos, seperti Twitter, Facebook, WhatsApp dan lainnya yang sejenis, dinilai atau dianggap mencemarkan nama baik atau secara umumnya melanggar pasal 27 pada UU ITE.

Namun sebenarnya, tidaklah sembarang pihak ataupun perorangan dapat melaporkan anda, karena ada perbedaan mendasar antara delik aduan dan delik biasa.

Sebagai contoh pembelajaran kasus adalah seperti yang pernah dialami oleh salah satu kerabat penulis, yang harus berurusan dengan hukum akibat cuitannya di Medsos yang dikenakan pada Pasal 27 Ayat 3 dengan tuntutan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah.

Posisi Pasal 27 UU ITE dalam kasus kerabat penulis ini adalah sebagai delik aduan, yang dipertegas oleh dua perkara, yaitu dari ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, utamanya pada Pasal 310 dan 311 bahwa penghinaan merupakan delik aduan dan berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 serta Revisi UU ITE yang terjadi pada 2016 pun mempertegas bahwa Pasal 27 adalah delik aduan.

Sehingga sebenarnya bila berdasar delik aduan, maka tidaklah sembarang pihak ataupun perorangan dapat melaporkan kerabat penulis, karena ada perbedaan yang mendasar antara delik aduan dan delik biasa.

Sebab tercemar atau tidaknya nama baik seseorang hanya dapat ditentukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan, bukan oleh orang lain.

Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan (Referensi dari Hukumonline.com).

Jadi begini cuitannya dalam twitternya;

"Tolak Omnimbus Law Cipta Kerja, DPR Pengkhianat Rakyat."

Tweetnya tersebut ternyata dianggap menghina, karena ternyata ada pihak yang melaporkannya sebagai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, sehingga kerabat penulis harus berurusan dengan pihak kepolisian.

Mendapati kabar tersebut, yang namanya masih kerabat, maka penulis berupaya membantu seoptimalnya dan sekaligus mengontak beberapa rekan penulis yang aktif dalam YLBHI.

Nah singkatnya, setelah dimediasi dan mendapat bantuan hukum dan pendampingan dari rekan-rekan penulis di YLBHI, akhirnya kerabat penulis dapat bernafas lega, karena akhirnya dapat dibebaskan dari sangkaan hukum atau UU ITE yang mengancamnya.

Jadi begini prosesnya, dalam kasus kerabat penulis ini, ternyata yang melaporkan adalah pihak perseorangan sebut saja namanya Si A misalnya.

Nah ternyata dalam proses pendalaman, Si A ini tidak boleh melaporkan kerabat penulis atau sebut saja Si B kepada pihak kepolisian atas tuduhan mencemarkan nama baik oleh Si A.

Sesuai yang dilaporkan, Di sini B dianggap mencemarkan dan menghina ataupun mencemarkan nama baik "DPR", dan dilaporkan secara perorangan oleh A karena dia si A ini adalah salah satu staf yang bekerja di DPRD kota.

Berdasar proses pendalaman kasus dan bantuan hukum dari YLBHI, ternyata dalam kasus ini, hanya pihak secara atas nama kelembagaan yaitu dari DPR yang berhak melaporkan secara langsung kepada polisi, sebab dalam hal ini hanya DPR secara kelembagaan yang dapat menentukan apakah tweet tersebut benar-benar mencemarkan nama baik atau merugikan DPR atau tidak, dan inilah juga yang disebut sebagai delik aduan.

Termasuk juga dalam persoalan-persoalan konteks, yang ternyata pada prosesnya setelah disidik dengan mempertimbangkan suasana hati pelaku, motivasi yang mendasarinya dan maksud, tujuan serta kepentingan si B dalam menyebarkan informasi tersebut, maka tidak bisa si A langsung melaporkan B dengan sangkaan Pasal 27 Ayat 3 pada UU ITE.

Mesti ditelaah secara rinci dengan melibatkan pendapat ahli seperti pakar bahasa dalam menyoal "frasa DPR", ataupun secara utuhnya tweet yang dilaporkan, termasuk juga ternyata melibatkan pakar psikologi, hingga pakar komunikasi.

Untungnya dalam hal ini, rekan-rekan penulis di YLBHI sudah sangat fasih dan berpengalaman mengurusi kasus semacam yang dialami kerabat penulis ini, sehingga mereka saling membantu dengan mengontak pakar-pakar yang saling berkaitan dengan kasus.

Singkatnya lagi, setelah dimediasi dengan mengedepankan rasa kekeluargaan, toleransi, dan dibantu dengan beberapa pihak dari YLBHI dan beberpa pakar yang terkait kasus, akhirnya kerabat penulis (Si B) dapat terlepas dari sangkaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang di laporkan oleh A.

Yang jelas kaitannya dalam kasus ini kata rekan-rekan penulis di YLBHI, situasinya bisa jadi berbeda kalau tuntutanya adalah Pasal 28 Ayat 2 tentang penyebaran ujaran kebencian SARA, sebab dalam putusan MK maupun UU ITE, tidak menyatakan secara tegas apakah Pasal 28 Ayat 2 itu bergantung pada delik aduan atau delik biasa.

Sehingga siapapun dapat melaporkan Anda ke polisi atas tuduhan melanggar Pasal 28 Ayat 2, tidak mesti seseorang atau pihak yang terang-terangan merasa dilanggar seperti Pasal 27 ayat 3, dan beruntung dalam hal ini, kerabat penulis masih dilaporkan atas sangkaan melanggar pasal 27 ayat 3.

Setelahnya kasus dapat diselesaikan dengan damai, penulis juga memberi pengertian pada kerabat penulis, agar juga jangan sampai terulang lagi dan kebablasan dalam berperilaku di Medsos, harus bijak dan hati-hati agar tidak terjerat UU ITE.

Yah, memang begitulah UU ITE ini, sehingga meski harus bijak dan hati-hati, sebab sudah banyak juga yang terjerat pidana karena laporan kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan, bahkan kalau tidak diseriusi dalam proses hukumnya peluang terlepas dari jeratan UU ITE bisa jadi akan sangat kecil apabila kasusnya sudah masuk dalam ranah proses pengadilan.

Dari referensi data yang penulis peroleh, menurut pantauan SAFEnet, bahwa 35,92 persen pelaporan UU ITE dilakukan oleh pejabat negara, termasuk kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan.

Korban yang paling umum adalah kelompok awam, atau 29,4 persen terlapor dan patut dicatat pula, bahwa UU ITE sering digunakan juga untuk menjerat aktivis (8,2%), pelajar dan mahasiswa (6,5%), guru dan dosen (6,1%), serta jurnalis (5,3%).

Sehingga inilah juga yang melatar belakangi banyak pihak mengkritik UU ini bahwa dalam penerapannya, "pasal-pasal karet" dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk membungkam kebebasan berpendapat, sekaligus menyisakan banyak ruang untuk penafsiran lain, karena justru kebebasan berpendapatlah yang menjadi konsekuensi dari penerapan UU ITE tersebut.

Yang pasti, bila anda terjerat UU ITE, maka senjata rahasia Anda adalah minta bantuan pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, atau pihat terkait hukum yang lainnya.

Seperti halnya YLBHI, lembaga ini akan memberikan bantuan hukum dan pendampingan hukum secara gratis bagi siapa saja, terutama bagi masyarakat yang awam banget soal hukum.

Mereka semua yang tergabung di dalamnya sudah sangat berpengalaman mendampingi aktivis, jurnalis, pekerja kantoran, mahasiswa, PNS, hingga masyarakat sipil biasa yang menghadapi jeratan pasal yang ada pada UU ITE.

Lantas, apa yang harus dievaluasi?

Bias yang terbentuk akibat dari multitafsirnya berbagai konteks atas sudut pandang yang berbeda dalam memaknai UU ITE  pada pasal 27 ayat 3, adalah tidak ada pembatas yang jelas dan perincian atas penghinaan apa yang dapat menjerat seseorang.

Seperti pada kasus yang dialami oleh kerabat penulis, yang sebenarnya motivasi dan tujuannya adalah melakukan kritikan dengan menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Kritik terhadap kinerja DPR, tapi ditafsirkan sebagai hinaan, ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Dari kasus kerabat penulis ini dapat dilihat, bahwa sebenarnya kerabat penulis menggunakan haknya untuk berpendapat dan berekspresi, namun pernyataan pendapatnya harus dibungkam dengan UU pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berisi penghinaan dan pencemaran nama baik.

Hal ini menciptakan kebiasan, karena apa yang dilakukan kerabat penulis hanyalah menyuarakan apa yang menjadi keresahan dirinya, namun ternyata ada yang melaporkannya dengan jeratan pasal tersebut, sehingga akhirnya pada prosesnya kasus pelaporan penghinaan ataupun pencemaran nama baik tersebut dirasa kurang akurat untuk menjeratnya.

Terkhususnya pada pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan, karena belum ada batasan dan rigit yang jelas atas pemaknaan penghinaan itu seperti apa.

Jika penghinaan hanya sebagai redaksi mutlak tanpa mengategorisasikan macam-macam muatan penghinaan, justru akan menjadi bias atau terjadi pemultitafsiran, karena penghinaan merujuk pada cara seseorang atau kelompok yang memaknainya atas penggalian pengetahuan secara individu ataupun kelompok dalam memaknai penghinaan.

Ketersinggungan tidak dapat membenarkan argumentasi seseorang ataupun kelompok jika argumentasi atau tindakan dasarnya atas dasar penafsiran secara individu ataupun kelompok dalam memaknai penghinaan.

Jadi, terkhusus pada pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, telah banyak korban yang terjerat pada pasal tersebut, akibat dari perbedaan konteks dalam memahami kasus yang menjadi dalang pelaporannya, sehingga perlu direvisi, dievaluasi atau ditinjau kembali dengan menambahkan beberapa penjelasan atau justru menghapus pasal tersebut.

Oleh karenanya, sampai dengan berlatar belakang penjelasan artikel ini, maka penerapan UU ITE yang menjadi "Pasal Karet" sangat perlu dievaluasi dan ditinjau kembali, untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyatnya bebas dalam berpendapat, sesuai dengan amanah konstitusi yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, termasuk didalamnya mengenai kebebasan berpendapat di media sosial dan sejenisnya.

***

Ditulis berdasarkan pengalaman dan berbagai referensi, baik itu dari rekan di YLBHI, dan bacaan referensi lainnya diberbagai media.

Sigit Eka Pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun