Setelahnya kasus dapat diselesaikan dengan damai, penulis juga memberi pengertian pada kerabat penulis, agar juga jangan sampai terulang lagi dan kebablasan dalam berperilaku di Medsos, harus bijak dan hati-hati agar tidak terjerat UU ITE.
Yah, memang begitulah UU ITE ini, sehingga meski harus bijak dan hati-hati, sebab sudah banyak juga yang terjerat pidana karena laporan kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan, bahkan kalau tidak diseriusi dalam proses hukumnya peluang terlepas dari jeratan UU ITE bisa jadi akan sangat kecil apabila kasusnya sudah masuk dalam ranah proses pengadilan.
Dari referensi data yang penulis peroleh, menurut pantauan SAFEnet, bahwa 35,92 persen pelaporan UU ITE dilakukan oleh pejabat negara, termasuk kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan.
Korban yang paling umum adalah kelompok awam, atau 29,4 persen terlapor dan patut dicatat pula, bahwa UU ITE sering digunakan juga untuk menjerat aktivis (8,2%), pelajar dan mahasiswa (6,5%), guru dan dosen (6,1%), serta jurnalis (5,3%).
Sehingga inilah juga yang melatar belakangi banyak pihak mengkritik UU ini bahwa dalam penerapannya, "pasal-pasal karet" dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk membungkam kebebasan berpendapat, sekaligus menyisakan banyak ruang untuk penafsiran lain, karena justru kebebasan berpendapatlah yang menjadi konsekuensi dari penerapan UU ITE tersebut.
Yang pasti, bila anda terjerat UU ITE, maka senjata rahasia Anda adalah minta bantuan pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, atau pihat terkait hukum yang lainnya.
Seperti halnya YLBHI, lembaga ini akan memberikan bantuan hukum dan pendampingan hukum secara gratis bagi siapa saja, terutama bagi masyarakat yang awam banget soal hukum.
Mereka semua yang tergabung di dalamnya sudah sangat berpengalaman mendampingi aktivis, jurnalis, pekerja kantoran, mahasiswa, PNS, hingga masyarakat sipil biasa yang menghadapi jeratan pasal yang ada pada UU ITE.
Lantas, apa yang harus dievaluasi?
Bias yang terbentuk akibat dari multitafsirnya berbagai konteks atas sudut pandang yang berbeda dalam memaknai UU ITE Â pada pasal 27 ayat 3, adalah tidak ada pembatas yang jelas dan perincian atas penghinaan apa yang dapat menjerat seseorang.
Seperti pada kasus yang dialami oleh kerabat penulis, yang sebenarnya motivasi dan tujuannya adalah melakukan kritikan dengan menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Kritik terhadap kinerja DPR, tapi ditafsirkan sebagai hinaan, ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.