Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Parah, DPR dan Pemerintah "Angel Tenan Tuturane" Disinformasi Ruang Publik Tak Terjawab

17 Oktober 2020   11:28 Diperbarui: 17 Oktober 2020   11:40 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen Koran Tempo

"Angel tenan tuturane"

Ya, begitulah kalau menyikapi bagaimana memprihatinkannya komunikasi publik yang dibangun oleh Pemerintah dan DPR kepada rakyat, dalam kaitannya dengan polemik yang menerpa UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Para figur pemimpin bangsa di Pemerintahan dan DPR yang seharusnya bijaksana dalam membangun komunikasi publik atas polemik UU Omnibas Law Cipta Kerja tetapi justru lebih mengedepankan keegoisan dan kesewenang-wenangan.

Publik yang seharusnya berhak memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya atas polemik UU Omnibus Law Cipta Kerja, justru semakin dibuat bingung dan geregetan, serta tidak memperoleh jawaban yang dapat meneduhkan dan mampu menenangkan publik.

Sebab apa, statemen, rilis hingga konferensi pers yang dikomunikasikan kepada publik bukannya semakin dapat menetralisir polemik ruang disinformasi publik terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja, karena komunikasi publik yang terjadi adalah justru semakin membuka ruang kontroversi dan kegaduhan publik.

Bahkan, Pemerintah dan DPR, ternyata terkesan lebih menunjukan tekanan kekuatannya karena "mentang-mentang" punya kewenangan dan kekuasaan.

Seperti salah satunya saja dari pihak Pemerintah yaitu Menkominfo RI, Johnny G. Plate, menteri yang seyogianya bisa memberikan bagaimana seharusnya cerminan komunikasi publik yang baik tapi justru tidak bijak dalam komunikasi publik.

Yang terjadi adalah statemen-nya justru menjadi sorotan dan menuai kontroversi publik, seperti sorotan statemen dari Johnny G. Plate berikut;

"Kalau pemerintah bilang hoaks, ya hoaks kenapa dibantah lagi". Dengan nada bicara emosional dan marah dari Menkominfo RI, Johnny G. Plate.

Lalu bisa dilihat juga, bagaimana dari pihak DPR kurang dapat memberi penjelasan secara spesifik mengenai polemik kenapa terjadi perbedaan jumlah halaman pada UU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Publik.

Sebab seperti yang diketahui telah terjadi disinformasi di ruang publik, karena ada empat draft UU Omnibus Law Cipta Kerja yang beredar diruang publik.

Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsudin berikut ini;

"Kemarin sudah dijelaskan, itu hanya teknis dari kertas ukuran biasa ke legal kalau dulu kita menyebut folio," kata Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsudin.

Dalam hal ini, Azis hanya menjelaskan masalah teknis saja, padahal sebenarnya yang dibutuhkan oleh ruang publik itu adalah jawaban yang jelas terkait mengapa dan bagaimana bisa sampai ada empat draft UU Omnibus Law Cipta Kerja yang beredar di ruang publik.

Inilah sekiranya yang patut sangat disayangkan atas komunikasi publik yang dibangun oleh Pemerintah dan DPR pada ruang publik dan bukan hanya Johnny dan Azis saja sebenarnya, tapi menggejala secara signifikan kepada para pejabat publik yang lainnya.

Seharusnya terkait polemik UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, agar tidak menimbulkan beragam pemahaman maupun penafsiran, maka Pemerintah dan DPR sangatlah perlu mengomunikasikan dan menjelaskannya secara detail kepada publik.

Sehingga jadi wajar saja kiranya kalau publik jadi masih terus bertanya-tanya, karena dari Pemerintah dan DPR hanya sepotong-sepotong saja memberikan keterangan dan penjelasan, tidak mendetail dalam memberikan jawaban atas pokok masalah yang sebenarnya, publik tidak mendapat jawaban yang semestinya.

Bagaimana publik bisa percaya kalau komunikasi, keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh Pemerintah dan DPR malah semakin membentuk citra yang menurunkan kepercayaan ruang publik.

Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
Kemudian juga, dalam menyikapi ataupun merespon aksi masif demonstrasi massa penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang terjadi di berbagai pelosok nusantara, Pemerintah dan DPR bukannya menyikapinya dengan apa yang menjadi pokok sebab dan masalahnya, kenapa sampai terjadi aksi masif demonstrasi massa ini.

Para punggawa Pemerintah dan DPR justru berlomba-lomba mengeluarkan rilis publik demi melakukan pembenaran sendiri dan tidak menghargai aspirasi yang disuarakan oleh publik, aksi demonstrasi massal yang dilakukan oleh publik justru terkesan diremehkan.

Ya bisa dilihat, bagaimana Pemerintah dan DPR justru menyudutkan publik yang melakukan demonstrasi, bahwa publik dianggap tidak paham, tidak baca, tertipu hoaks dan sebagainya.

Padahal sebenarnya, kalau secara faktanya dilihat dari berbagai urut-urutannya, apa yang menjadi akar penyebab dan masalahnya mulai dari proses prosedural hingga pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja adalah dari Pemerintah dan DPR sendirilah yang melakukan disinformasi publik.

Dalam prosesnya, publik dibuat bingung dengan beredarnya sejumlah versi naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja yang berubah-ubah, ada yang 905 halaman, 1032 halaman, 1.035 halaman, dan 812 halaman, sehingga bagaimana mungkin publik tidak semakin murka kalau yang begini saja tidak dijelaskan secara mendalam dan detail.

Jadi jelaslah sudah, bahwa memang komunikasi publik yang dikomunikasikan oleh Pemerintah dan DPR kepada ruang publik memanglah tidak beres, lebih menunjukan sisi egoisme dan kesewenang-wenangan, serta maunya menang sendiri dan inilah alasannya kenapa Pemerintah dan DPR benar-benar "angel tenan tuturane" kepada publik.

Entahlah sampai kapan komunikasi publik Pemerintahan Jokowi dan DPR pada periode pemerintahan Jokowi ini terus berlangsung seperti di atas, yang jelas semoga saja kedepannya terkait hal ini dapat disadari, ada evaluasi dan perbaikan.

***

Masih kaitannya juga dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja, maka UU ini memang harus dikawal terus oleh publik.

Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
UU Omnibus Law Cipta Kerja ini katanya ditujukan demi kesejahteraan rakyat, dan tentu saja kalau niatnya seperti itu adalah pasti akan sangat didukung oleh rakyat.

Tapi kalau melihat sedikit analisa yang dapat penulis jabarkan berikut di bawah ini, nampaknya memang perlu jadi perhatian dan layak untuk diperjuangkan dan jadi perhatian penting khalayak publik.

Dari berbagai sumber berita yang penulis dapatkan, ternyata ada perbedaan mendasar dari salinan draf setelah pengesahan.

Bisa diambil saja dari salah satunya yaitu draft setelah pengesahan, yang semula berjumlah halaman 1.035 terdiri dari 177.554 kata dan 1.306.373 karakter, bila dibandingkan dengan salinan yang berjumlah 812 halaman terdiri dari 178.738 kata dan 1.314.779 karakter ada perbedaan yang cukup signifikan.

Artinya, dengan kata lain di sini, DPR ada kemungkinan takhanya mengubah format kertas, jenis, serta ukuran font, namun ada potensi melakukan perubahan dalam editorial.

Sehingga sebenarnya, takperlu bicara substansi saja, karena sejak awal memang sudah ada kelihatan, bahwa proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja telah bermasalah.

Apalagi dengan perubahan yang terakhir, seharusnya tak boleh ada perubahan apapun, kecuali perubahan format, ketika sebuah UU telah disahkan dalam paripurna.

Perubahan-perubahan yang berdampak pada pemaknaan yang berbeda pada dua naskah seharusnya tak bisa terjadi pascaparipurna, kecuali atas hasil keputusan paripurna.

Faktanya tak ada pembicaraan soal adanya substansi yang masih perlu dirumuskan saat paripurna, artinya disini takada ruang bagi munculnya norma baru dengan cara apapun, karena bila masih ada perubahan maka sudah pasti akan bermasalah secara formil.

Potensi adanya perubahan substansi yang signifikan di dalam draf tersebut sama-sama terjadi pada saat pascaparipurna, sehingga bisa semakin menguatkan dugaan cacat formil dalam perjalanan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Karena draf yang diputuskan di paripurna ada kemungkinan diutak-atik lagi dan mengubah makna yang ada dalam norma-norma yang sudah diputuskan di paripurna.

Selain itu potensi adanya perubahan substansi ini, menguatkan dugaan dan mengonfirmasi, bahwa proses pembahasan hingga pengesahannya memang dilakukan secara tertutup.

Ketertutupan yang memberikan kemudahan dan peluang bagi DPR dan Pemerintah untuk mengubah ataupun mengutak-atik klausul sesuai dengan keinginan mereka sampai di tahapan menyerahkan naskah final ke presiden untuk ditandatangani.

Munculnya sejumlah versi UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan pada subtansi pasal setelah disahkan DPR dalam paripurna pada 5 Oktober 2020 menjadi tanda yang kuat bahwa ada potensi cacad formal.

Perubahan subtansi setelah pengesahan menunjukkan bahwa dari sisi legal dan legitimasinya ada potensi  melanggar konstitusi, sebab bila berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, DPR memiliki waktu 7 hari untuk merapikan draf undang-undang yang disahkan kepada Presiden.

Dan menurut undang-undang ini ditegaskan, yang boleh diubah hanya kesalahan ketik dan penyesuaian format tulisan. Perubahan subtansi tidak diperkenankan karena akan mengubah materi Undang-undang. Sementara UU Omnibus Law Cipta Kerja ada potensi melanggarnya.

Sehingga karena masih menjadi polemik, karena ada potensi kecacadan hukum dan tidak layak diundangkan serta inkonstitusi, maka suatu kewajaran bagi publik untuk tetap berhak mengawalnya, seperti berjuang untuk mendorong Presiden RI Jokowi menerbitkan Perppu hingga berjuang melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Yang jelas rakyat tentu saja akan sangat percaya kalau pemerintah tidak akan menyengsarakan rakyatnya terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, itu pasti.

Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen facebook milik Benks Evano
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen Koran Tempo
Ilustrasi gambar diambil dari dokumen Koran Tempo
Tapi, kalau secara terlihat mata saja bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah berpotensi cacat hukum dan inkonstitusi, sebenarnya untuk apa juga berkeras diundangkan.

Dan yang pasti terkait ini semua masih dalam proses pengawalan dan perjuangan publik, tinggal bagaimana saja nantinya ending drama UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, Semoga saja Endingnya adalah yang terbaik bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama ini.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun