"Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu. Politik negara adalah politik tentara". (Panglima Besar Jenderal Soedirman).
Ya, inilah prinsip yang selalu dipegang teguh dan menjadi pedoman Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam menghadapi para politisi yang ingin menarik tentara ke dalam kancah politik.
Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah penentang keras politisi Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin, dalam rangka perjuangan revolusi nasional Indonesia untuk menghadapi kolonialisme Belanda yang ingin menguasai kembali Tanah Air Indonesia.
Meski sebenarnya terdapat persamaan tujuan yaitu sama-sama ingin memenangkan revolusi nasional, tapi sejarah telah mencatat, bahwa pernah terjadi pertentangan pandangan politik negara di antara Panglima Besar Jenderal Soedirman dan politisi Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin
Pertentangan tersebut adalah menyoal tentang bagaimana strategi dan taktik politik yang dijalankan dalam rangka mengusir Belanda dari bumi pertiwi.
Dalam hal strategi dan taktik menghadapi Belanda ini, Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin menginginkan politik damai yaitu dengan cara diplomasi, melakukan perundingan dengan Belanda.
Sedangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman lebih menginginkan strategi dan taktik politik perjuangan bersenjata daripada harus berunding dengan Belanda.
Sebenarnya pandangan politik Panglima Besar Jenderal Soedirman sama dengan pandangan politik Tan Malaka, sehingga karena merasa sejalan dengan pandangan politiknya, membuat Panglima Besar Jenderal Soedirman merapat ke barisan Tan Malaka.
Kehadiran Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto adalah bukti telah ada kesamaan sikap di antara mereka.
Persatuan Perjuangan adalah organisasi pimpinan Tan Malaka dan dikenal segaris dengan panglima Besar Jenderal Soedirman, dan juga Mayor Jenderal Soedarsono, Panglima Divisi Yogyakarta.
Tan Malaka mencatat ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat itu, "lebih baik kita diatom (bom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen."
Pada puncaknya, perbedaan pandangan politik antar-elite pemerintahan yaitu antara kubu Amir serta Perdana Menteri Sjahrir dan Tan Malaka melatarbelakangi terjadinya peristiwa kudeta yang terjadi pada tanggal 3 Juli 1946.
Pada tanggal 3 Juli 1946 ini, terjadi peristiwa yang dilakukan oleh organisasi Persatuan Perjuangan dan juga bersama para simpatisannya dengan menculik Syahrir dan anggota-anggota Kabinet Sjahrir yang lainnya.
Dalam kronologis sejarah juga dituturkan bahwa peristiwa kudeta 3 Juli 1946, juga turut melibatkan Mayor Jenderal Soedarsono, Panglima Divisi Yogyakarta bersama para bawahannya dan pasukannya.
Pada akhirnya peristiwa kudeta 3 Juli 1946 dapat diselesaikan oleh pemerintah, dan dalam hal ini Tan Malaka karena dianggap terlibat dengan rangkaian peristiwa kudeta tersebut, maka Tan Malaka di tangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, pada September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dibebaskan begitu saja dari penjara, hingga akhirnya seiring perjalanan karir politiknya, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba yaitu pada tanggal 7 November 1948 di Yogyakarta.
Sementara itu, Mayor Jenderal Soedarsono beserta rekan-rekannya yang diduga turut terlibat dalam usaha kudeta, ditangkap dan diajukan ke pengadilan Mahkamah Tentara Agung.
Mayor Jenderal Soedarsono, dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dibebaskan dengan grasi Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1948, pada peringatan tiga tahun Kemerdekaan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman?
Sesuai bukti-bukti sejarah seperti yang dituturkan menurut ajudan Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo dalam bukunya---Kesaksian Bung Karno 1945 - 1947, menuturkan dialog Hatta Kepada Soekarno, menyebutkan bahwa Panglima Besar Jenderal Soedirman tak terlibat dalam kudeta tersebut.
Dituliskan juga bahwa sebelumnya, di ruang sebelah, Hatta berbicara dengan Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mengatakan mustahil Soedirman menulis surat semacam itu kepada Presiden.
Ya, surat yang intinya berisikan maklumat menurunkan kabinet Syahrir yang menurut pangakuan Mayjen Soedarsono telah mendapat persetejuan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Sehingga dalam hal ini telah menegaskan, bahwa Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak terlibat dalam konflik politik para elit pemerintahan yang akhirnya menjadi peristiwa kudeta tersebut.
Dalam rangkaian peristiwa sejarah lampau seiring perkembangan berbangsa dan bernegara, di Indonesia memang pernah terjadi dikotomi antara Sipil dengan Militer.
Ada hasrat dan keinginan para politisi yang hendak menarik militer dalam lingkungan pengaruh politiknya sebagai Subjective Civilian Control dan Objective Civilian Control bagi partai politik.
Namun demikian seiring pengalaman sejarah, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan tegas menentang keras usaha-usaha para politisi untuk dapat menguasai pasukan-pasukan TNI melalui suatu program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra).
Seiring waktu, pada masa demokrasi liberal/parlementer kondisi negara yang penuh dengan pertentangan antar elit politisi dan partai politik mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat itu.
Kondisi itu membuat prihatin Wakil Presiden Moh. Hatta yang mengatakan, "Negara hanya dijadikan sebagai kuda beban untuk menarik kepentingan dari partai-partai politik".
Para politisi mengesampingkan sense of belonging terhadap negara dan bangsanya, Mereka berjuang hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, hanya melihat untung dan rugi bagi kelompoknya.
Sehingga membuat kondisi resistensi terhadap Pancasila dan UUD 1945, apalagi ada sebagian parpol yang hendak menarik kekuatan TNI ke dalam pengaruh atau kekuasaannya dengan harapan dapat memperkuat nilai partai politiknya.
Efek dari demokrasi liberal atau parlementer yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi rakyat pada saat itu dan jelas-jelas menyimpang dari UUD 1945 menjadikan militer Indonesia semakin kuat memiliki sense of state.
Akan tetapi sebagaimana yang telah ditekankan dan dipesankan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, bahwa TNI adalah milik nasional, bukan milik golongan dan menyatakan bahwa garis politik tentara adalah garis politik negara, bukan penguasa atau golongan.
Maka dari itu, seiring perjalanannya hingga kekinian institusi TNI tetap menjadi organisasi yang otonom sebagaimana yang telah digariskan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman TNI tetaplah TNI seperti yang telah diajarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sehingga TNI tetap menjaga otonomi dan kesoliditasannya dalam menjaga negara dan bangsanya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang ada pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Jadi, berdasarkan historical memory tentang Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai kelampauan sejarah dapat dianggap sebagai pengalaman sejarah yang akan terus mengalir dalam ingatan sejarah bangsa dan negara.
Peristiwa sejarah masa lampau harus dipandang sebagai willed event, yaitu sesuatu terjadi karena manusia berpikir, percaya, memutuskan, merencanakan, dan bertindak, serta menjadi ingatan dan kesadaran bersama bagi masa-masa yang selanjutnya.
Segala hal ingatan sejarah tentang Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah sebagai sejarah bagi generasi selanjutnya.
Jadi, tinggal bagaimana perjalanan generasi selanjutnya memaknai nilai-nilai sejarah tersebut, apakah sebagai ingatan kesadaran sejarah bangsa ataukah hanya sebagai cerita dan romantisisme belaka.
Biar bagaimanapun juga sejarah Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan warisan sejarah yang tiada terhingga untuk dijadikan sebagai entry point menuju kemajuan yang lebih baik bangsa dan NKRI yang kita cintai bersama ini.
Referensi, wikipedia, tempo, tirto.id, Dinas Sejarah Angkatan Darat dan sumber sejarah lainnya.
Semoga Bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H