Tan Malaka mencatat ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat itu, "lebih baik kita diatom (bom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen."
Pada puncaknya, perbedaan pandangan politik antar-elite pemerintahan yaitu antara kubu Amir serta Perdana Menteri Sjahrir dan Tan Malaka melatarbelakangi terjadinya peristiwa kudeta yang terjadi pada tanggal 3 Juli 1946.
Pada tanggal 3 Juli 1946 ini, terjadi peristiwa yang dilakukan oleh organisasi Persatuan Perjuangan dan juga bersama para simpatisannya dengan menculik Syahrir dan anggota-anggota Kabinet Sjahrir yang lainnya.
Dalam kronologis sejarah juga dituturkan bahwa peristiwa kudeta 3 Juli 1946, juga turut melibatkan Mayor Jenderal Soedarsono, Panglima Divisi Yogyakarta bersama para bawahannya dan pasukannya.
Pada akhirnya peristiwa kudeta 3 Juli 1946 dapat diselesaikan oleh pemerintah, dan dalam hal ini Tan Malaka karena dianggap terlibat dengan rangkaian peristiwa kudeta tersebut, maka Tan Malaka di tangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, pada September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dibebaskan begitu saja dari penjara, hingga akhirnya seiring perjalanan karir politiknya, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba yaitu pada tanggal 7 November 1948 di Yogyakarta.
Sementara itu, Mayor Jenderal Soedarsono beserta rekan-rekannya yang diduga turut terlibat dalam usaha kudeta, ditangkap dan diajukan ke pengadilan Mahkamah Tentara Agung.
Mayor Jenderal Soedarsono, dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dibebaskan dengan grasi Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1948, pada peringatan tiga tahun Kemerdekaan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman?
Sesuai bukti-bukti sejarah seperti yang dituturkan menurut ajudan Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo dalam bukunya---Kesaksian Bung Karno 1945 - 1947, menuturkan dialog Hatta Kepada Soekarno, menyebutkan bahwa Panglima Besar Jenderal Soedirman tak terlibat dalam kudeta tersebut.
Dituliskan juga bahwa sebelumnya, di ruang sebelah, Hatta berbicara dengan Jenderal Oerip Soemohardjo, yang mengatakan mustahil Soedirman menulis surat semacam itu kepada Presiden.