Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menyoal Perilaku Individualistis di Kawasan Perumahan Elit

8 Juni 2020   23:19 Diperbarui: 10 Juni 2020   16:46 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah saya ingin menyambangi rumah kawan, kebetulan kawan saya ini tempat tinggalnya ada di salah satu kawasan perumahan elit.

Kenapa saya bilang kawasan perumahan elit, karena rata-rata rumahnya type 45-an keatas, rumahnya besar magrong-magrong, bertingkat dan dikelilingi pagar-pagar yang tinggi.

Nah, sesampainya saya di kawasan perumahan elit tersebut, saya seperti merasa aneh sendiri, karena saya merasa kawasan ini layaknya seperti tak ada penghuninya, padahal waktu itu masih sore hari.

Memang sih, ada satu dua  orang dan kendaraan yang melintas tapi tetap saja saya merasa sunyi di dalam kawasan perumahan elit tersebut.

Rumah-rumah gedong tersebut banyak yang sepi layaknya nggak ada penghuninya, hanya terlihat aktivitas beberapa satpam di perumahan yang memang rumahnya ada bangunan pos jaga.

Padahal warga di kawasan perumahan elit ini saling bertetangga tapi kok rasanya seperti nggak saling bertetangga, pikir saya.

Jauh beda banget dibandingkan kawasan perumahan kampung tempat saya tinggal, ada saja aktivitas-aktivitas yang dikerjakan para tetangga saya.

Saya sempat kebingungan juga mengitari blok-blok di kawasan perumahan elit ini, padahal sudah di kasih map juga oleh kawan, dimana letak posisi rumahnya.

Saya juga sudah mencoba bertanya kepada beberapa orang yang melintas di sekitar kawasan perumahan elit tersebut, tapi nggak ada yang tau juga patokan dan letak persisnya rumah kawan saya.

Lalu saya telpon kawan saya tersebut, untuk minta tolong dipandu melalui telpon agar saya bisa lebih mudah menemukan letak rumahnya.

Nah, sepertinya saya sudah sampai, karena kawan saya bilang saya sudah sampai dan sesuai map di handphone juga menunjukkan kalau saya sudah sampai di depan rumahnya.

Kebetulan ada satpam di pos jaga, lalu saya bilang saya mau bertamu dan sudah janjian ketemu kawan saya tersebut, tapi ternyata saya kecele, rumah tersebut bukan rumah kawan saya.

Karena pas saya sebut nama kawan saya tersebut satpamnya bilang nama yang saya sebutkan tersebut bukan nama pemilik rumah. Lalu saya tanya lagi soal kawan saya tersebut dimana rumahnya, ternyata satpamnya nggak kenal sama sekali dengan kawan saya ini.

Wahduh, gimana ini padahal satu kompleks kok bisa satpamnya nggak kenal sih, saya telpon lagi kawan saya, ternyata rumahnya agak kesana sedikit, hanya beda jarak satu rumah dari rumah yang saya kira rumah kawan ini.

Setelah masuk rumah dan kelar dengan urusan bisnis, saya ungkapkan apa yang saya alami tadi waktu kebingungan mencari letak rumahnya.

Ternyata menurut teman saya di lingkungan tempatnya tinggal ini memang begitu yang berlaku di kawasan perumahan elit tersebut, kental dengan perilaku gaya hidup yang individualistis, istilahnya "elo-elo" dan "gue-gue".

Saling bertetangga tapi nggak saling kenal, bahkan tetangga terdekat saja yang cuma ada di depan samping dan belakang rumah bisa saling tidak kenal.

Wah repot dan runyam juga kalau individualistis seperti ini kalau pas ada apa-apa misalnya, ada kejadian kriminal seperti pencurian dan perampokan bisa-bisa nggak ada yang tau.

Atau pas ada hal-hal darurat ada yang sakit atau terjadi musibah seperti kebakaran bisa-bisa jadi nggak saling bantu.

Tapi kata kawan saya tersebut memang adanya seperti itu yang berlaku di kawasan perumahannya warganya banyak yang berlaku individualistis.

Suasana guyub dan saling silaturahmi saja jarang sekali terbentuk di kawasan perumahannya tersebut, hanya kalau ada hajatan saja sesekali ramai dan saling berkunjung.

Gotong royong juga jarang banget tercipta, mereka lebih memilih membayar orang untuk membersihkan lingkungan rumah masing-masing atau donasi sumbangan untuk kebersihan sektor umum.

Saya jadi miris dan prihatin juga sebenarnya mendengar apa yang telah diungkapkan oleh kawan saya tersebut. Hal ini jadi membuat saya penasaran, apakah ini umum juga berlaku di kawasan perumahan elit yang lainnya, atau hanya kebetulan saja saya alami.

Saya pun mencoba googling untuk mencari informasi ini dengan mengetik kata kunci "individualistis di perumahan elit"

Ternyata banyak juga yang mengulasnya, yang artinya apa yang sudah saya alami ini ternyata masih ada, perilaku individualistis masih ada yang berlaku di kawasan perumahan elite yang lainnya.

Jadi ironi sebenarnya, padahal tetangga itu merupakan kerabat terdekat yang paling bisa dimintai tolong kalau sewaktu-waktu ada apa-apa ataupun butuh bantuan.

Teman diluaran tetangga mungkin banyak tapi tak bisa seperti tetangga yang bisa sewaktu-waktu datang menolong kalau pas butuh bantuan.

Karena makin penasaran saya pun kembali menelpon kawan saya mencoba menganalisanya kenapa perilaku individualistis ini berlaku di kawasan perumahannya.

Jadi, seperti halnya yang dikatakan kawan saya, rata-rata warganya, baik yang laki-laki ataupun perempuan  bekerja semua.

Profesinya juga rata-rata para pejabat manager dan jajaran direksi keatas, bekerja berangkat pagi sekaligus juga mengantar anak-anak mereka ke sekolah lalu pulangnya sore jelang magrib dan kadang ada yang pulang malam.

Setelah pulang langsung berdiam masuk rumah masing-masing, kalaupun ada waktu libur bekerja mereka banyak habiskan untuk berlibur di tempat wisata dan tempat rekreasi lainnya, kalau tidak berlibur hanya berdiam saja di dalam rumah.

Antar tetangga sangat jarang bisa saling tegur sapa karena jarang bisa ketemu saling tatap muka karena saling berselisih waktu oleh hal kesibukan aktivitas masing-masing.

Silaturahmi hampir tidak ada, karena menurut pengakuannya, selama kawan saya tinggal di kawasan perumahan elit tersebut hanya pak RT saja yang pernah datang silaturahmi ke rumahnya begitu juga sebaliknya dia hanya pernah silaturahmi ke tempat pak RT untuk urusan administrasi dan berkunjung ke tetangga tertentu saja, itupun karena rekan kerja sekantor.

Pemandangan silaturahmi yang lumayan ramai hanya dapat terlihat saat lebaran atau ada acara hajatan itupun hanya antar rekan kerja, sanak saudara dan famili masing-masing serta tetangga tertentu yang dikenal saja.

---

Ya, itulah yang diungkapkan oleh kawan saya berkaitan perilaku individualistis di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan perumahan elit.

Sungguh sangat disayangkan sebenarnya, padahal kalau saya pikir warga yang tinggal di kawasan perumahan elit tersebut rata-rata memiliki pemikiran yang maju dan gaya hidup yang modern.

Tapi kenapa dalam hal saling bertetangga justru lebih guyub warga kampung saya yang kebanyakan warganya dari kalangan menengah kebawah.

Bukannya bermaksud apa-apa sih, untuk mengatakan warga kampung saya lebih guyub, tapi kenyataan tersebut memang membuat saya jadi prihatin.

Karena di kampung saya tradisi gotong royong masih lestari, saling tegur sapa dan saling silaturahmi antar tetangga jadi budaya dan gaya hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun mereka juga harus bekerja, bahkan soal durasi waktu pekerjaannya juga kurang lebihnya sama, kerja pagi pulang sore dan ada yang pulang malam, tapi warga kampung saya tetap bisa saling tegur sapa, tetap bisa saling tatap muka dan saling membina kerukunan bertetangga.

Kalau ada yang hajatan para tetangga saling bantu, seperti ibu-ibu yang saling ngerewang, bapak-bapaknya bantu-bantu korve dan dirikan tarub, kongkow ngopi bareng sambil gaplekan.

Nampaknya warga kawasan perumahan elit perlu menengok kembali untuk menghidupkan lagi keguyuban antar warga tersebut.

Sebab jalinan silaturahmi sangat penting untuk tetap dapat saling pangerten di antara sesama, menguatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan di antara sesama.

Sejatinya tetangga itu merupakan saudara yang jadi kerabat terdekat kita termasuk warga lainya di kompleks sekitar tempat tinggal kita.

Merekalah yang paling bisa segera cepat datang menolong dan dimintai tolong dan membantu bila kita sedang dalam kondisi yang sifatnya darurat.

Teman, sahabat, saudara dan sanak famili pasti bisa datang menolong, tapi belum tentu bisa segera datang menolong bila kita sedang segera butuh bantuan yang sifatnya darurat.
---

Semoga fenomena perilaku individualistis di antara tetangga yang masih berlaku di beberapa kawasan perumahan elit kembali dapat menyadari, bahwa jalinan silaturahmi antar tetangga dan hubungan saling bertetangga yang guyub itu sangat penting.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun