Pemandangan silaturahmi yang lumayan ramai hanya dapat terlihat saat lebaran atau ada acara hajatan itupun hanya antar rekan kerja, sanak saudara dan famili masing-masing serta tetangga tertentu yang dikenal saja.
---
Ya, itulah yang diungkapkan oleh kawan saya berkaitan perilaku individualistis di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan perumahan elit.
Sungguh sangat disayangkan sebenarnya, padahal kalau saya pikir warga yang tinggal di kawasan perumahan elit tersebut rata-rata memiliki pemikiran yang maju dan gaya hidup yang modern.
Tapi kenapa dalam hal saling bertetangga justru lebih guyub warga kampung saya yang kebanyakan warganya dari kalangan menengah kebawah.
Bukannya bermaksud apa-apa sih, untuk mengatakan warga kampung saya lebih guyub, tapi kenyataan tersebut memang membuat saya jadi prihatin.
Karena di kampung saya tradisi gotong royong masih lestari, saling tegur sapa dan saling silaturahmi antar tetangga jadi budaya dan gaya hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun mereka juga harus bekerja, bahkan soal durasi waktu pekerjaannya juga kurang lebihnya sama, kerja pagi pulang sore dan ada yang pulang malam, tapi warga kampung saya tetap bisa saling tegur sapa, tetap bisa saling tatap muka dan saling membina kerukunan bertetangga.
Kalau ada yang hajatan para tetangga saling bantu, seperti ibu-ibu yang saling ngerewang, bapak-bapaknya bantu-bantu korve dan dirikan tarub, kongkow ngopi bareng sambil gaplekan.
Nampaknya warga kawasan perumahan elit perlu menengok kembali untuk menghidupkan lagi keguyuban antar warga tersebut.
Sebab jalinan silaturahmi sangat penting untuk tetap dapat saling pangerten di antara sesama, menguatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan di antara sesama.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!