Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seberapapun Canggih Teknologi, Tak Akan Bisa Menggantikan Peran Guru dan Belajar di Sekolah

2 Mei 2020   21:29 Diperbarui: 2 Mei 2020   21:31 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar | Dokumen milik Kompasianer Ozy V. Alandika (sudah seizin pemilik)


Biar bagaimanapun eksistensi guru yang mengajar secara langsung anak didiknya tak akan bisa tergantikan dengan teknologi pembelajaran secara online ataupun daring.

Ya, secanggih apapun metode pembelajaran online ataupun daring tersebut, tentu tak akan bisa menyamai atau bahkan menggantikan rasa welas asih dan rasa ajar asuh guru saat mengajar secara langsung para anak didiknya.

Kenapa sebabnya penulis tegas menyatakan ini, karena guru yang mengajar secara langsung anak didiknya selalu memiliki bentuk sentuhan rasa kasih sayang secara langsung dan memiliki rasa tanggung jawab moral untuk memberikan pengajaran yang terbaik.

Ada interaksi langsung yang saling berhubungan antara guru dan anak didik, ada saling pengertian rasa welas asih guru bila anak didiknya sedang bertanya, atau tidak mengerti tentang apa yang diajarkan.

Inilah yang jadi sangat berbeda dengan metode pembelajaran online ataupun daring, meskipun tetap ada keterlibatan guru didalamnya, tapi tetap saja ada sebuah sekat yang membatasi ruang ekspresi guru dan anak didik, tetap saja ada ada dinding pembatas atau jurang pemisah untuk mencurahkan rasa welas asih dan kasih sayang dalam memberikan pendidikan tersebut.

Memang, dalam situasi dan kondisi tertentu seperti saat terjadi musibah bencana nasional seperti saat pandemi korona, maka metode pembelajaran online ataupun daring merupakan salah satu alternatif agar anak didik tetap bisa memperoleh pengajaran.

Tapi agar hendaknya ini tidak jadi patokan atau jadi bagian dari kurikulum pendidikan di negeri ini, karena belajar secara bersama disekolah itu jelaslah lebih efektif dan ampuh untuk memajukan pendidikan.

Ditambah juga bila berkaitan dengan sistem jaringan internet, biaya kuota dan sarana untuk belajarnya, belum tentu semua bisa terfasilitasi, belum tentu semua bisa ada.

Bagaimana coba dengan para anak didik yang ada di desa terpencil, bagaimana anak didik yang ada di daerah perbatasan yang segala sesuatunya berkaitan dengan jaringan internet, kuota dan fasilitas yang masih sangat terbatas. Mereka belum bisa menerapkan metode pembelajaran online ataupun daring ini.

Jadi sampai disini penulis tegas menyatakan kalau metode pendidikan atau pembelajaran secara online ataupun daring hanyalah sebagai solusi alternatif, dan bukan solusi efektif.

Karena yang lebih efektif itu soal dunia pendidikan ataupun metode pembelajaran itu, tetap yang paling efektif itu adalah dilaksanakan disekolah, termasuk juga pada kampus-kampus di pergurun tinggi.

Dalam hal ini penulis juga agak sedikit mengomentari pernyataan yang disampaikan oleh Mendikbud RI, Nadim Makariem kalau belajar itu tak harus selalu disekolah. Penulis merasa apa yang secara umumnya disampaikan oleh Nadiem itu agak kurang tepat dan kurang dapat diterima.

Memang ada benarnya bahwa belajar itu tak harus selalu disekolah, apalagi bila berkaitan dengan wabah pandemi korona yang melanda Indonesia.

Ya, tentunya boleh-boleh saja kalau Nadiem berpandangan ada hikmah ketika orang tua dan guru harus beradaptasi soal kolaborasi pembelajaran secara daring atau online.

Namun bentuk tanggung jawab itu tidak harus dilimpahkan begitu saja kepada orang tua, karena harus diakui dan dapat dimengerti ada keterbatasan dari orang tua, apalagi orangtua juga banyak tanggung jawab lainnya selain mengajari dan mendidik anak.

Sudah barang tentu orangtua sangat memahami pendidikan terhadap anak juga merupakan tanggung jawabnya, tapi tidaklah harus selalu orang tua yang dibebani bila pendidikan itu bicara soal jenjang pendidikannya, karena itulah orang tua menyekolahkan anak-anaknya.

Wajib belajar dan menempuh jenjang pendidikan itu haruslah tetap disekolah, karena adalah hak warganegara untuk tetap memperoleh pendidikan yang layak, dan merupakan kewajiban bagi negara untuk menunaikannya dan hal ini merupakan amanah konstitusi.

Apalagi janji Nadiem soal cetak biru atau blue print pendidikan belum ada gelagat juga bisa terwujud, bahkan, seperti yang dijanjikan oleh Nadiem beberapa waktu lalu, Nadiem bicara banyak soal kondisi pendidikan di Indonesia dan menargetkan cetak biru dunia pendidikan dapat diraih.

Padahal, pada praktiknya arah pendidikan belum menunjukan perubahan yang berarti dan signifikan, merdeka belajar dan cetak biru pendidikan seperti yang dikonsepkan tersebut belum ada gambaran seperti apa jelasnya.

Ditambah juga tiga dosa besar dalam dunia pendidikan, belum juga ada jalan keluar yang bisa mengentaskan persoalan ini, dunia pendidikan masih banyak ternodai dengan tiga dosa besar dunia pendidikan tersebut.

Jadi secara umumnya, semua konsep tersebut masih sebatas retorika dan teori belaka, karena faktanya sampai sekarang ini bisa dilihat, belum ada hasil yang diperoleh.

Penulis rasa, hal ini patut disayangkan, tidaklah perlu buang-buang ludah, jauh-jauh bicara teoritis soal cetak biru pendidikan, tapi kalau pada praktiknya masih terasa nol besar dilapangan, belum ada arah perubahan yang nyata dalam dunia pendidikan, lihat saja memanglah belum ada bukti adanya perubahan, yang mana bisa dinilai sebagai perubahan kalau semuanya masihlah terasa sama saja.

Seyogianya ini harus jadi perhatian, bahwasanya pendidikan itu tetap masih paling efektif bila langsung diajarkan disekolah, langsung diajarkan oleh para guru yang memang sudah handal dibidangnya masing-masing.

Peran guru ataupun dosen secara langsung sampai kapanpun, tidak akan bisa digantikan oleh secanggih apapun itu teknologi, tetap guru dan dosen yang paling mengerti tentang apa yang bisa mereka perbuat agar anak didiknya jadi cerdas dan pandai.

Jadi kesimpulannya, soal dosa-dosa dunia pendidikan, soal cetak biru pendidikan kalau hanya masih bicara retorika, konsep, teori tapi minim praktik nyata, tetap saja nol besar nilainya. Bagaimana bisa dicapai kalau semua itu hanya sebatas omong doang.

Termasuk juga metode pembelajaran online ataupun daring ini, jangan juga selalu jadi alasan efektifnya dunia pendidikan, lantaran kecanggihan teknologi tapi justru membebani anak didik dan orang tua.

Tentunya ini tidak bisa dibiarkan dan jadi pembenaran, seolah-olah jadi alasan juga untuk memojokkan pihak guru dan orangtua, karena memang pada praktiknya kalau dilihat bahwa metode pembelajaran online ataupun daring tersebut hanyalah sebatas sebagai solusi alternatif saja, bukanlah sebagai solusi efektif.

Besarnya tanggung jawab dunia pendidikan itu tetap ada dilingkup sekolah hingga perguruan tinggi, tetap merupakan tanggung jawab sepenuhnya negara dan pemerintah dalam rangka mencerdaskan anak anak bangsa ini.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun