Jadi kesimpulannya menurut penulis, soal tato ini telah mengalami pergeseran nilai dan pandangan dari yang semula bermakna seni dan budaya bergeser ke makna kriminalitas sebagai dampak dari aspek salience dari tato itu sendiri dalam masyarakat.
Ketika orang yang bertato dengan secara sadar dan secara sengaja lebih menonjolkan tato untuk menunjukkan bahwa ini sebuah tanda kejantanan dan jati diri mereka, maka turut membawa pergeseran makna kalau tato itu sebenarnya sebagai seni dan budaya.
Masyarakat seyogianya diharapkan bisa memberikan ruang dan pandangan bahwa tato adalah sebagai seni, karena berbagai suku-suku bangsa di Indonesia masih ada yang juga menggunakan tato sebagai budaya kearifan lokal.
Tato bagi mereka adalah suatu hasil kebudayaan, suatu hal yang biasa yang ditempatkan sesuai dengan tradisi yang berlaku umum dalam kebudayaan mereka yang menggambarkan tato sebagai suatu karya seni dan esensi diri.
Sekaligus juga agar dapatnya memberikan ruang pada orang yang sengaja bertato adalah orang yang secara sejati ingin mengekspresikannya dan menghargainya sebagai suatu karya seni.
Oleh karena itu, stereotipe ataupun prasangka bahwa tato adalah sebuah kriminalitas tidaklah benar, tato belum tentu menunjukkan orang itu selalu preman, penjahat dan kriminal.
Karena hanya sering kebetulan saja bahwa banyak penjahat yang tertangkap itu bertato tapi bukan berarti semuanya juga, sebab ada juga pelaku kriminal yang tidak bertato.
Maka, dalam hal ini bukan berarti masyarakat harus mengeneralisasikan dan memprasangkakan sudut pandang tato itu selalu identik dengan kriminal.
Sehingga salah kaprah dari sudut pandang soal tato ini diharapkan bisa dikembalikan lagi sebagai sebuah karya seni dan budaya, serta dapat melepaskan streotip ataupun prasangka yang sudah mewabah.
Bahwa sejatinya tato itu bukanlah selalu identik dengan kriminal tapi tato adalah tentang seni.
Tatto is not a crime, but tatto is about art.
Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.