Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Tato, Antara Seni, Budaya, Haram, Serta Identiknya dengan Kriminal

27 April 2020   20:40 Diperbarui: 27 April 2020   20:53 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar via Bislaw.id

Tato sebagai karya seni, tradisi dan warisan budaya serta kearifan lokal yang sangat perlu dilestarikan, tetapi disatu sisi masih jadi perbedaan pandangan antara sebagai seni budaya, haram, serta identiknya dengan kriminal.


Di Indonesia, sangat minim sekali masyarakat yang memandang tato sebagai seni. Pada umumnya persepsi yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, tato selalu saja di citrakan buruk dan negatif.

Tato seringkali di prasangkakan atau di identikan dengan pelaku premanisme, pelaku kriminal ataupun deretan identitas perilaku tanpa moral yang lainnya.

Entah kenapa bagi masyarakat, bahwa bertato itu seringkali dianggap negatif atau memiliki image dan citra yang buruk dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.


Padahal sebenarnya tidaklah semua orang yang bertato itu harus selalu identik dengan citra yang buruk dan negatif, premanisme, kriminal atau penjahat.


Mungkin hal ini bisa disebabkan karena motif dan landasan tujuan dari para penggunanya ataupun dari para preman itu sendiri yang memang menggunakan tato sebagai identitasnya agar terlihat lebih sangar dan menakutkan.

Atau mungkin ada orang yang dengan sengaja bertato tapi dengan maksud untuk menobatkan dirinya sebagai jagoan dan preman yang sangat ditakuti yang kalau begini tentunya bertujuan untuk membentuk salience dalam dirinya.

Atau bisa juga dari sudut pandang masyarakat yang memang sudah terlanjur terbiasa dan terbentuk yang berprasangka dan memberi stempel negatif kepada orang-orang yang bertato.

Karena terkadang juga secara kebetulan setiap kali melihat tindakan kriminal atau tertangkapnya pelaku tindakan kriminal, para pelakunya kerapkali selalu bertato.

Bahkan kejadian tertangkapnya pelaku kriminal yang bertato ini sering juga terjadi berulang-ulang dan semakin membuat masyarakat mengasosiasikan tato dengan kejahatan dan kriminal.

Sehingga timbullah alasan yang menjadi latar belakang pengaruh sosial, pengaruh psikologis, stereotipe ataupun prasangka dalam kehidupan masyarakat dan menjadi anggapan yang beredar di dalam masyarakat bahwa tato sangat erat kaitannya atau selalu identik dengan kriminal.

Selain itu, ditambah juga bila dari sudut pandang menurut hukum agama islam, ternyata soal tato ini secara tegas diharamkan.

Seperti menurut hadits HR Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW bersabda: 

"Allah melaknat orang-orang yang mentato dan yang minta untuk ditato."

Menurut penjelasannya kenapa sampai harus diharamkan, ini disebabkan karena tato merupakan tindakan memasukkan jarum halus dan zat-zat berwarna ke kulit.

Sebab, dalam proses membuat atau melukis tato itu adalah termasuk tindakan yang merupakan perbuatan untuk menyakiti diri sendiri dan mengubah pemberian Allah SWT.

Lebih lanjut juga dijelaskan, bahwa tato dapat merusak tubuh, tato tidak memiliki manfaat sama sekali dan tidak maslahat bagi manusia walaupun tato juga dianggap sebagai seni dan indah.

Namun kalau Berdasarkan Al-Quran 18 : 7 dan 7 : 32 disimpulkan bahwa hukum tato adalah mubah. Artinya, dalam hal ini, tak ada larangan ataupun anjuran.

Meskipun demikian, jika perbuatan merajah tubuh itu dapat membawa dampak negatif, maka hukum tato menjadi makruh atau lebih baik ditinggalkan, bahkan bisa menjadi haram.

Sehingga berlatar belakang dari seluruh penjelasan diatas, karena akibat prasangka negatif dan dari sisi hukum islam tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan sisi dilematis serta pro dan kontra.

Bahkan akhirnya soal pandangan terhadap tato ini dapat mengekang dan membatasi kreativitas orang yang memang murni ingin menciptakan tato sebagai karya seni.

Sebenarnya bila mundur jauh kebelakang menurut sejarahnya, semenjak 5.000 tahun yang lalu, tato merupakan warisan kebudayaan manusia.


Di Nusantara sendiri sebenarnya, budaya melukis tubuh dengan tato juga di miliki oleh berbagai suku, seperti salah satunya adalah masyarakat suku Dayak yang menggunakan tato sebagai simbol strata dan kelas sosial masyarakatnya.


Jadi sebenarnya kalau dikembalikan lagi menurut sejarahnya, maka tato ini sejatinya adalah seni, sehingga yang jadi masalah itu adalah bagaimana soal praktik pengejawantahannya dan tinggal bagaimana sebenarnya menilainya dari sisi sudut pandang masing-masing saja.

Sehingga disinilah yang menjadikan alasan penulis untuk menghindari perdebatan soal haram atau tidaknya soal tato ini, sebab kalau ditilik secara umumnya menurut pandangan islam masih bisa dimubahkan dan dimakruhkan, artinya masih bisa ditolerir dengan catatan tertentu.

Tentu saja juga, selama masih boleh berpendapat, maka tidak ada salahnya juga bila penulis mengambil pembahasan dari sisi sudut pandang tato sebagai seni.


Bagi para seniman dan suku tertentu di Indonesia, tato ini merupakan bagian dari budaya dan esensi diri untuk menghargai tato sebagai seni dan mengapresiasinya, menjunjung tinggi dan menjadikannya sebagai bagian dari jiwa.


Sehingga sudut pandang tato ini, perlu juga dibedakan lagi antara orang yang memakai tato karena memang sebagai seni ataupun budaya bawaan dari lingkungan mereka seperti suku-suku tertentu.

Ataupun yang memang dengan sengaja bertato demi ingin menonjolkan sesuatu dari dalam dirinya sebagai identitas dengan niat dianggap sangar atau menakutkan, yang sudah barang tentu memiliki suatu niat dan maksud tertentu sebab tidak mungkin tato hanya berfungsi sebagai gambar saja pada dirinya sendiri.

Inilah juga yang menyebabkan prasangka oleh masyarakat pada umumnya yang menunjukkan reaksi sikap dan tingkah laku negatif terhadap orang-orang yang bertato. Prasangka ini berefek mewabah, merusak dan meluas, bahkan masyarakat semakin takut untuk dekat dengan orang bertato.


Pada prinsipnya, sejatinya orang yang bertato itu bukanlah seorang kriminal. Tetapi, karena ada yang menginformasikan dan ada yang secara sengaja menobatkan tato dipakai untuk menunjukan keangkuhan jati diri termasuk dengan tertangkapnya penjahat yang bertato.


Maka masyarakat yang mendapatkan informasi itu akhirnya akan menelaahnya, menafsirkannya dan akhirnya menerima informasi ini juga sebagai pegangan atau pandangannya.

Jadi kesimpulannya menurut penulis, soal tato ini telah mengalami pergeseran nilai dan pandangan dari yang semula bermakna seni dan budaya bergeser ke makna kriminalitas sebagai dampak dari aspek salience dari tato itu sendiri dalam masyarakat.

Ketika orang yang bertato dengan secara sadar dan secara sengaja lebih menonjolkan tato untuk menunjukkan bahwa ini sebuah tanda kejantanan dan jati diri mereka, maka turut membawa pergeseran makna kalau tato itu sebenarnya sebagai seni dan budaya.


Masyarakat seyogianya diharapkan bisa memberikan ruang dan pandangan bahwa tato adalah sebagai seni, karena berbagai suku-suku bangsa di Indonesia masih ada yang juga menggunakan tato sebagai budaya kearifan lokal.


Tato bagi mereka adalah suatu hasil kebudayaan, suatu hal yang biasa yang ditempatkan sesuai dengan tradisi yang berlaku umum dalam kebudayaan mereka yang menggambarkan tato sebagai suatu karya seni dan esensi diri.

Sekaligus juga agar dapatnya memberikan ruang pada orang yang sengaja bertato adalah orang yang secara sejati ingin mengekspresikannya dan menghargainya sebagai suatu karya seni.

Oleh karena itu, stereotipe ataupun prasangka bahwa tato adalah sebuah kriminalitas tidaklah benar, tato belum tentu menunjukkan orang itu selalu preman, penjahat dan kriminal.

Karena hanya sering kebetulan saja bahwa banyak penjahat yang tertangkap itu bertato tapi bukan berarti semuanya juga, sebab ada juga pelaku kriminal yang tidak bertato.

Maka, dalam hal ini bukan berarti masyarakat harus mengeneralisasikan dan memprasangkakan sudut pandang tato itu selalu identik dengan kriminal.

Sehingga salah kaprah dari sudut pandang soal tato ini diharapkan bisa dikembalikan lagi sebagai sebuah karya seni dan budaya, serta dapat melepaskan streotip ataupun prasangka yang sudah mewabah.

Bahwa sejatinya tato itu bukanlah selalu identik dengan kriminal tapi tato adalah tentang seni.
Tatto is not a crime, but tatto is about art.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun