Papua dan Papua Barat sebelumnya dikenal sebagai Irian Barat atau Irian Jaya. Dalam perjalanannya banyak peristiwa yang menjadi titik awal sejarah mengenai Irian.
Nama Irian juga merupakan akronim "Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Hal ini dicanangkan dalam rangka menggelorakan, membangun dan membakar semangat cinta tanah air bagi seluruh bangsa Indonesia pada dekade 1960 an pada saat itu.
Kemudian juga bertujuan untuk mengusir pemerintahan kolonial Belanda dari wilayah Irian Barat dan menjadikan wilayah integral Republik Indonesia.
Keputusan dan ketetapan Irian Barat sebagai wilayah yurisdiksi nasional Indonesia disponsori oleh fara founding father atau bapak bapak para pembentuk negara dalam rapat besar BPUPKI pada tanggal 10 sampai 11 Juli 1945.
Hal yang menjadi dasar dalam rangka penyusunan bentuk negara dalam rapat tersebut adalah teori tumpah darah dan juga teori geopolitik.
Menurut teori tumpah darah keinginan dan ketentuan untuk membentuk wilayah yusrisdiksi negara dimulai saat zaman kerajaan Majapahit yang ditegaskan oleh patih Gajah Mada melalui Sumpah Palapa.
Sedangkan menurut teori geopolitik, maka wilayah yurisdiksi Indonesia adalah merupakan lompatan terakhir dari wilayah nusantara menuju lautan pasifik dan dari lautan pasifik menuju nusantara.
Seperti halnya apa yang disampaikan oleh para Founding Father yang diantaranya oleh  Soekarno-hatta, yaitu;
,,,Bahwa Negara Indonesia harus merdeka dengan meliputi wilayah Malaya dan Papua itu saja,,, (Soekarno).
,,,Bagian papua saya serahkan pada orang lain. Akan tetapi kalau pemerintah Nippon memberikan Papua yang dulu dibawah pemerintahan Belanda kepada Indonesia, saya tidak keberatan,,,(Hatta).
Setelah menyimpulkan dari beberapa tanggapan yang beragam dari para panitia BPUPKI akhirnya diputuskan oleh Ketua panitia BPUPKI melalui voting dengan materi voting yaitu,
1. Hindia Belanda yang dahulu.
2. Hindia Belanda yang dahulu, Malaka, Borneo, Papua, Timor dan Kepulauan di sekitarnya.
3. Hindia Belanda yang dahulu, ditambah malaka dipotong papua.
Setelah dilakukan voting oleh 66 orang anggota yang hadir didapat hasil adalah;
Pilihan pertama 19 suara.
Pilihan kedua 39 suara.
Pilihan ketiga 6 suara.
Lainnya 1 suara.
Abstain 1 suara.
Sehingga didapat keputusan untuk menggunakan pilhan kedua sebagai dasar pembentukan negara Indonesia. Keputusan ini juga berdasar asas uti possidetis yuris, yang mengatur bahwa batas wilayah dari suatu negara bekas jajahan adalah berdasarkan batas wilayah yang dikuasai oleh pemerintah kolonial sebelum negara jajahan tersebut merdeka.
Dan yang tidak kalah penting dan dibanggakan dalam perumusan pembentukan negara ini didalam keanggotaan BPUPKI ada terdapat putera suku asli dari Papua, yaitu Silas Papare dan AB Karubui, yang berpartisipasi dengan aktif dalam rangka mengagas naskah UUD 1945 sebagai landasan konstitusional untuk dasar pembentukan NKRI.
Meskipun pada saat itu BPUPKI menetapkan wilayah yurisdiksi Indonesia, namun seiring waktu berjalan pada realisasinya beberapa daerah dan wilayah masih dalam kekuasaan asing termasuk daerah Papua.
Sehingga usaha usaha perjuangan kemerdekaan juga dilakukan dengan upaya diplomasi seperti perjanjian Linggar Jati, perjanjian Renville ataupun Konferensi Meja Bundar serta perjuangan konfrontasi bersenjata seperti halnya juga Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno.
Isi Trikora adalah;
1.Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda.
2.Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3.Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kesatuan tanah air dan bangsa.
Kemudian juga berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar ditetapkan secara de facto dan de jure mengenai kedaulatan Indonesia adalah meliputi wilayah administratif bekas jajahan Belanda.
Lalu terkait hasil KMB maka Belanda melakukan propaganda untuk memecah belah persatuan Indonesia dengan menggunakan cara de fide et empera sehingga tercetuslah ide ide separatis oleh beberapa kelompok di Papua.
Kemudian berdasarkan hasil ketetapan Undang undang no 15/1956 jumto Undang undang  nomor 5/1959 dan Undang undang darurat no 1957 jumto nomor 20/1957 jumto Undang undang nomor 23/1958 dan disempurnakan oleh hasil Konferensi Malino nama Irian Barat ditetapkan melalui UU no 1/PNPS/1962.
Selanjutnya berdasarkan hasil konferensi tersebut untuk mengatasi berbagai ketegangan bersenjata antara pihak pihak yang bersengketa maka atas prakarsa Dewan PBB dibentuklah Badan Penguasa Pelaksana Sementara di Irian Barat yaitu UNTEA atau United Nation Temporary Exekutive Authority.
Namun ketegangan bersenjata terus terjadi sampai akhirnya perundingan kembali digelar yaitu pada tanggal 26 Mei 1962 PBB mengumumkan konsep Ellswort Bunker yang akhirnya dikenal sebagai New York Agreemen yang memuat tiga hal pokok yaitu,
1.Pemerintah Belanda harus keluar dari Irian Barat dan menyerahkan kekuasaannya kepada UNTEA kemudian menyerahkannya kepada Pemerintah Republik Indonesia.
2.Tempat kedudukan dan status korps sukarelawan Irian Barat akan diatur oleh UNTEA dan pemerintah Republik Indonesia.
3.Penyelesaian akhir mengenai penentuan pendapat rakyat atau art of choice atau disingkat PEPERA didasarkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (Right of self determination).
Dan pada tanggal 15 Agustus 1962 pihak Belanda menyetujui dan menandatangani usulan tersebut di markas besar PBB di New York.
Dan pada akhirnya pada tanggal 1 Mei 1963 peran UNTEA di Irian Barat atau Papua berakhir yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di lapangan imbi atau di samping tugu Komodor Laut Yos Sudarso sekarang ini dan ketegangan antara Belanda dan Indonesia berakhir.
Kemudian sebagai langkah terakhir sesuai dengan perjanjian New york pada tanggal 14 Juli sampai 4 Agustus 1969 pemerintah RI menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat atau PEPERA di 8 Kabupaten Irian Barat yaitu Merauke, Fak fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cenderawasih, Paniai, Jayawijaya dan Jayapura.
Penyelenggaraan PEPERA bertujuan untuk menentukan keabsahan satus hukum Irian Barat melalui pemilihan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi sesuai persetujuan New York, apakah tetap bergabung bersama Indonesia atau memutuskan hubungan dengan Indonesia dan berdiri sendiri.
Namun setelah diadakan pemilihan dapat diperoleh hasil bahwa mayoritas warga Papua memilih bergabung dengan Republik Indonesia.
Selanjutnya sebagai laporan pertanggung jawaban maka pemerintah Republik Indonesia menyampaikannya kepada pihak PBB dan melalui hasil sidang maka diputuskan mengenai ketetapan resolusi Nomor 2504 tanggal 19 November 1969 yang mengukuhkan hasil PEPERA dan menetapkan dan mengakui bahwa wilayah Papua merupakan bagian integral wilayah NKRI.
Kemudian berdasarkan keputusan Presiden RI sejak tanggal 1 Maret 1973 nama Irian Barat ditetapkan menjadi nama Irian Jaya.
Setelah itu juga ditetapkan undang undang nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi otonomi khusus yaitu Irian Jaya Barat yang dalam pelaksanan pemerintahan daerahnya tetap berinduk pada Irian Jaya.
Perkembangan selanjutnya memasuki era reformasi sebagian masyarakat menginginkan  penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus dur memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut.
Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, Gus Dur memaklumatkan bahwa nama Irian Jaya diubah namanya menjadi Papua.
Kemudian juga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007 nama papua barat juga ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Papua dan Papua Barat merupakan provinsi yang memperoleh status otonomi khusus. Dalam hal ini Provinsi Papua Barat, meskipun telah menjadi provinsi tersendiri, tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya.
Melalui perkembangan yang berjalan sejak masa reformasi terminologi Papua seringkali menjadi sorotan. Bahkan perkembangan selanjutnya nama Papua jadi bermakna ambigu.
Pasalnya keambiguan makna ini mengandung pengkerucutan atau pengelompokan ke arah rumpun ras Melanisea, sehingga seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan kelempok kelompok tertentu ataupun separatis seperti organisasi papua merdeka (OPM) yang menginginkan Papua lepas dari NKRI.
Berbagai retorika dan propaganda di kembangkan untuk menafikan dan mengaburkan realita sejarah dan fakta yuridis yang merupakan dasar pengukuhan bahwa wilayah Papua sebagai bagian integral wilayah NKRI.
Era reformasi yang bernuansa kebebasan dan demokrasi seringkali dimanfaatkan sebagai kendaraan politik untuk mengatasnamakan aspirasi rakyat dan kepentingan rakyat.
Pertentangan mengenai PP nomor 77 tahun 2007 yang telah ditetapkan, menjadi sering terjadi dan dikembangkan agar peraturan terkait dihapuskan. Pada peraturan tersebut yang tertuang dalam pasal 6 ayat 4 yang secara tegas menyebutkan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan dengan desain organisasi terlarang yang ditetapkan RI.
Dalam peraturan diatas ditegaskan bahwa lambang beruang mambruk dan bintang kejora dilarang digunakan sebagai lambang dan bendera daerah Papua dan Papua Barat.
Selain itu dikuatkan lagi dengan undang undang lainnya yang berisi tentang penggunaan lambang daerah sesuai hukum yang antara lain juga diatur dalam Undang undang 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua pada pasal 2 ayat 2 dengan tegas menyatakan.
Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi simbol kemegahan jati diri dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Jadi dari latar belakang sejarah hingga perkembangan yang tertuang sesuai dalam tulisan ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa, hasil PEPERA yang mendasari tentang sejarah Papua dan Papua Barat, ditinjau secara politis dan yuridis, konteks hukum adat, konteks hukum nasional, maupun hukum internasional realita kenyataan dan fakta yang final, mutlak dan telah berkekuatan hukum tetap.
Kesuksesan pelaksanaan PEPERA merupakan hasil usaha yang padu dari segenap warga Papua sebagai bagian rumpun keluarga bangsa Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Papua sebagai bagian Integral wilayah NKRI adalah final, mutlak dan memiliki kekuatan hukum tetap sesuai dengan aspek hukum nasional maupun aspek hukum internasional.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta dan realitas sejarah maka sejatinya Papua adalah saudara sebangsa setanah air yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didalam NKRI yang kita cintai bersama ini.
Referensi berbagai sumber.
Hanya berbagi.
Semoga bermanfaat.
Sigit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H