Di tengah keramaian selisih keris dan pedang, Hayam Wuruk bungkam
Seperti kerisnya yang masih tertancap rapat di selongsong kayu ukir
Bibirnya pun tertancap pada kebisuan abadi.
Tak seperti saat janinnya yang menggetarkan bumi Pabayu Pindah
Atau tangisan pertamanya yang menggemparkan Gunung Kelud, sekarang dia hanya bisa pasrah pada kekarepake bumi dan pangestune gunung.
Matanya terus mencari di antara darah-darah dalam silsilah
Pajajaran!
Pajajaran!
Gajah Mada! Matanya berhenti pada sebuah ironi
Dengan tajam dia mengamati patih yang menopangnya dalam kejayaan.
Pula, patih yang membawanya pada peprangan.
Mata Hayam Wuruk goyah, pada sisa-sisa rintihan dan runtuhan
Matanya terus mencari di antara darah dan silsilah
Pajajaran!
Pajajaran!
Kematian, Pembantaian, Ooh betapa malang nasibmu
Betapa enggan hidup panjang menyertaimu
Gegara dewi elok pemikat hati
Gegara upeti
Gegara Sang Bekti
Matanya kembali mencari,
Bibirnya yang seolah terikat dengan kebisuan abadi tergugah oleh doa dewata
Matanya kini yang seakan menanggung semua derita para bumi dan tanah yang tertumpahkan darah.
Dilihatnya,
Seorang Putri dengan sebilah belati mengikat memancarkan kekekalan,
Meleburkan belati dengan tubuhnya, belapati
"kehormatan" kata sepasang mata sang putri yang meneteskan doa kepada tanah dan bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H