Orang-orang yang masih marah dan kecewa kemudian pergi, membawa kekalahan beserta kekecewaan yang mereka rasakan sebagai luka. Brasil kalah tiga gol telak dan seorang anak Brasil girang menyambutnya.
Mendung menggayut di langit Sao Paulo. Jalanan sepi, tak ada suara terompet dan pawai berkeliling seperti beberapa hari lalu, ketika Brasil memastikan diri ke final. Sunyi dan lesu.
“Kenapa Eva? Ayah sudah menyuruhmu diam, kau tak tahu apa artinya, teriakanmu bisa menghancurkan rumah ini,” kata Ricardo pada putri kecilnya yang kecut dan takut karena kemarahan orang-orang hampir saja merusak rumah mereka.
“Aku suka warna biru, ayah. Kata Ibu, warna biru adalah warna terindah di dunia, ” kata Eva lirih. Ricardo, Luis dan Gracia saling berpandangan. Perlahan mereka mengerti, Eva tak tahu arti yang terlihat di tivi, ia baru tahu mengagumi warna dengan sederhana, bukan dengan cara orang dewasa.
Luis lalu tertawa kecil, disusul Ricardo, dan sedikit senyum Gracia yang sedikit merasa bersalah, karena apa-apa yang ia katakan mengenai warna setiap menemani putrinya belajar menggambar, hampir saja membuat rumah mereka hancur.
*) Kisah ini fiksi rekaan penulis saja, bukan saduran bukan juga kopian. Sejarah-sejarah sepak bola tak pernah kehabisan jalan untuk kembali diceritakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H