“Brasil itu yang berbaju kuning, lihat, kau lihat, Ronaldo? Pakai baju kuning. Itu Brasil. Diamlah, orang-orang bisa memarahi dan memukuli ayah kalau kau berteriak seperti tadi,” kata Felix pada adiknya dengan setengah berbisik.
Pertandingan terus berlangsung, Felix duduk nyaman bersama Eva di sofa berlubang kesayangan mereka, di mana pada ujung tempat tangan tertumpang di kiri dan kanan sofa ada lubang yang timbul dari kebiasaan tangan Felix dan Eva mencerabuti busanya. Lubang itu kian hari kian membesar seperti lubang tanah di pertambangan.
“Ronaldo akan membalasnya sebentar lagi,” kata Luis, kawan akrab ayah Felix yang jika sudah berbincang tentang sejarah sepak bola Brasil sampai lupa waktu dan berbusa-busa. “Pulang kau, Luis!” terkadang Gracia, ibu Felix sampai meradang dan mengusirnya.
“Ya, Perancis pantas malu di rumahnya sendiri,” tukas yang lain dan sejenak suara mendukung membangkitkan semangat yang sempat ‘terlempar’ oleh koyaknya gawang Taffarel
Tapi Brasil belum juga segera membalas. Mereka justru melihat bahwa gol Zidane membuat Perancis semakin ganas. Berulangkali justru gawang merekalah yang terus terancam. Semangat yang sempat menyeruak kembali tenggelam. Tapi tak benar-benar tenggelam. Mereka sangat percaya bahwa Brasil akan memenangkan kejuaraan ini, membawa pulang Piala Dunia lagi untuk yang kelima kali.
Empat tahun lalu mereka memenangkannya di Amerika. Felix masih kecil ketika itu, ia sudah bisa ikut bergembira tapi belum tahu artinya. Sekarang di sekolah, Felix sudah tahu tentang Brasil yang sepak bolanya terkenal di dunia, dan sudah empat kali juara dunia.
Tahun ini sebentar lagi Brasil akan memenangkannya lagi. Semalam ia sudah tak sabar menunggu pertandingan ini. Tapi kekecewaan dan kekhawatiran kini memenuhi pikiran Felix. Brasil sulit untuk mendekati gawang Perancis. Sebaliknya Perancis terus membuat ia dan orang-orang di depan tivi tercekam.
Kenyataan di layar tivi menenggelamkan harapan itu sekali lagi. Zidane mencetak gol kedua untuk Perancis. Wajah-wajah yang memenuhi rumah Felix kian suram. Mereka sulit untuk percaya bahwa Brasil dibobol untuk kali kedua. Kekecewaan itu menjadi semakin sakit ketika Eva kembali bereaksi kegirangan menyambut gol Zidane.
“Hore! Goool!”
“Diam kau, tak tahu diri!” ayah Felix berteriak sebelum suara-suara mendahuluinya. Eva terdiam dan raut muka girangnya hilang seketika berganti ketakutan. Teriakan Ricardo tak bisa menghentikan suara menggerutu dari orang-orang itu.
“Hentikan anakmu sebelum dia tumbuh menjadi pengkhianat, Ricardo!”