"Selamat pagi, Jeng!"
Ah, dia lagi!
"Pagi!" aku memaksa senyum. Tak berselera sebenarnya untuk melakukannya. Tapi aku tak ingin menarik perhatiannya. Jadi, senyum saja, agar ia biasa saja. Tak banyak mendengar pertanyaan darinya selalu lebih baik. Karena dia takkan berhenti melakukannya, seakan seperti ingin menguliti bersih-bersih. Seperti polisi menanyai pencuri.
Dia senang bertanya dan senang pula menjawab. Kadang dia melakukannya tanpa pertanyaan sebelumnya. Begitulah dia, harus ada jawaban untuk pertanyaannya, sebagaimana dia senang memberi jawaban, meski tak ada pertanyaan untuknya.
"Ini, semalam ke Gardena! Aku tak berminat sih, sebenarnya. Tapi bapaknya Nisa mengatakan, sepertinya cocok buat kamu, Ma! Aku bilang, Papa ada uang?"
Nah, dia sudah mulai berceloteh sambil mematut pakaiannya. Jadi itu pakaian baru? Dan langsung dipakainya pagi ini? Hmmm...menunggu lebaran hanya untuk memakainya memang akan terlalu lama. Apalagi untuk memamerkannya.
"Aku sedang ada rejeki, Ma! Ya, sudah, aku ambil untuk menyenangkannya. Apa susahnya sih, nurutin suami yang ingin menyenangkan istrinya?" imbuhnya sambil mengerling dan tersenyum lebar.
Aku mengangguk dan kembali mengangsurkan sedikit senyum lagi. Apa susahnya untuk menyenangkan dia yang semalam sudah disenangkan suaminya.
Celotehannya mendapat sedikit senyumku. Tapi tidak dengan dua anak kecil itu. Satu dalam gandengan tanganku dan seorang lagi bersamanya. Keduanya hanya memandangnya tanpa ekspresi. Entah apa yang dirasakan keduanya. Kagum, heran atau aneh. Aku tak tahu, dan biar saja mereka pada rasa masing-masing.
"Menurut Jeng bagaimana, apa ini memang kelihatan cocok untuk saya?"
Benar kan? Sebelum kukatakan sesuatu untuk memuaskannya, maka ia akan menanyakan itu lagi nanti. Tentu saja dengan mengganti pertanyaannya.