Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Wanita Lain

29 September 2012   02:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:31 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak seperti awal mula beberapa bulan lalu. ia bahkan tak pernah menegurku. Tapi tiba-tiba ia mulai menegurku dan meninggalkan yang lain. Aku tak tahu apakah ia yang tak suka dengan mereka atau mereka yang bosan dengan gayanya, lalu tak memperhatikannya. Aku sendiri bosan sebenarnya, tapi aku tak ingin memperlihatkannya. Aku tak keberatan selama ia tak merugikanku.

---------

Lain pagi, lain pula yang dibicarakannya. Pagi ini ia lebih banyak bertanya tentang diriku. Aku tak menyukai ini. Tapi aku tak tahu kenapa ia merasa harus tahu banyak tentang diriku, Palupi, suamiku, dan semuanya. Ia ingin menyulitkanku barangkali.

"Saya yakin kalau berdandan, Jeng ini cantik!" celotehnya. Aku tersenyum saja seperti biasa. Berharap ia tak bertanya lagi. Topik pembicaraannya memang selalu berbeda, tapi ujungnya sama, ia senang menonjolkan dirinya.

"Jangan terlalu cuek lho, Jeng! Nanti suami Jeng cari pemandangan lain lho!"

Bicara apa dia? Ah, dia mulai mengada-ada. Membicarakan sesuatu yang tak jelas ujung pangkalnya. Ia mengajak bicara atau menghasut, sih?

"Menurut Mbak, saya harus bagaimana?" aku bertanya saja. Memberinya kesempatan untuk menunjukkan hegemoninya padaku.

"Jeng harus membuat suami Jeng betah dirumah, Jeng harus selalu tampil cantik didepannya!" ujarnya sembari menampilkan bahasa tubuh yang seolah mengatakan, seperti saya ini lho!

Aku tersenyum saja. Aku tak tahu apa ia berpikir apa yang dibicarakannya penting untukku. Berdandan?  Tampil cantik? Dia tak tahu, apapun yang kulakukan tetaplah hanya akan membuat laki-laki tua itu datang padaku seminggu sekali. Membuatku merasa hidup dan cinta untuk semalam saja. Membuat Palupi merasakan bahwa ia mempunyai ayah hanya di Kamis sore, hingga Jum'at pagi ketika ia memakai sepatu mungilnya dan berkata, "Upik berangkat dulu, Yah!"

Setelahnya, aku dan Palupi hidup dalam bayang-bayang. Bahwa aku mempunyai suami dan Palupi punya ayah. Bayang-berupa rumah megah, yang hanya terasa hidup sehari saja dalam seminggu.

Mungkin dia punya alasan kenapa ia tak ingin suaminya berpaling. Sedangkan aku tidak. Aku telah membuat seorang suami berpaling padaku. Tak ada alasan bagiku untuk takut suamiku berpaling pada wanita lain. Apalagi pada wanita, yang mana suaminya berpaling padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun