Hari pertama, perburuan kami bisa dibilang gagal. Total tagihan Rp27 ribu, tapi nasi dari termos disajikan di atas daun jamblang. Lauknya not bad, tapi tempatnya kurang nyaman.
Pada hari kedua, kami menemukan penjual nasi jamblang yang berjualan di Jalan Ciremai Raya pada pagi hari. Ia sudah buka sejak pukul 6 pagi. Tapi hari itu kami agak kesiangan tiba di sana, menjelang jam 8 pagi. Tak lebih dari 20 bungkus nasi yang tersisa.
Lauknya juga tak lengkap lagi. Saat kami datang, seorang ibu memborong delapan potong tempe goreng yang tersisa. "Remukannya juga mau ya," kata dia sambil memasukkan sendiri semua tempe ke dalam plastik.
Bayangin, sampai remukannya, loh, diborong. Tak tersisa remahan kedelai sedikitpun. >_<
Nasi jamblang yang dijual pagi hari biasanya dilahap sebagai sarapan sambil berangkat menuju tempat kerja. Jadi pagi itu, kami sarapan bersama pegawai rumah sakit, tukang becak, dan warga lokal. Kalau cari nasi jamblang pagi-pagi, bisa juga ke pasar.Â
Harga di tempat itu tergolong 'bener'. Kami berdua habis Rp22.000 untuk takaran yang cukup memuaskan, meski tanpa lauk tempe goreng yang digoreng garing.
"Ini asli dari Jamblang," kata si penjual, sambil mulai membereskan dagangannya.
Jamblang  memang nama sebuah desa di Cirebon. Jamblang juga nama buah. Dulu saat masih SD di Cirebon, selalu ada yang menjual buah jamblang di depan sekolah. Warnanya ungu, rasanya asam, biasa ditaburi garam dan dibungkus dengan kertas buku tulis yang tak terpakai lagi, berbentuk kerucut. Tapi waktu itu, kami mengenalnya dengan nama lokal, Duwet. Kalau ga salah, kita bisa beli seharga Rp50-.
Sayangnya, dulu SD saya swasta, dan ga pernah tau bahasa jawa cirebon. Akibatnya, saya cuma bisa kesel ketika dikerjain tukang jamblang pinggir jalan, tak jauh dari gang masuk ke Nasi Jamblang Bu Nur.
Di hari ketiga itu, kami ditodong Rp37 ribu untuk dua porsi nasi jamblang dengan jumlah lauk terbatas. Deuh, jadi ga bisa ngomel seperti supir grabcar yang fasih berbahasa Cirebonan.
Sing sabar, sing ikhlas bae.