Jelas bahwa seseorang tidak boleh disimpulkan telah bersalah tanpa didukung oleh alat bukti yang berkualitas sebagai fakta hukum. Sudah ada kriteria pembuktian yang bersifat objektif berkenaan dengan itu. Tentunya pembuktian dimaksud mestilah berdasarkan sesuatu keadaan yang nyata yang bisa diterangkan sehingga menjadi sebuah fakta hukum, fakta tentang "keonaran" seperti apa dan bisa dijelaskan kaitan atau hubungan hukumnya dengan perbuatan bohong yang terjadi sebelumnya. Meski dalam ayat (2) Pasal 1 dalam rumusannya disebutkan kata "dapat" (menerbitkan keonaran), artinya sebagai sesuatu peristiwa yang belum terjadi (fiktif), namun tetap saja untuk menentukan hal "dapat" itu mesti didasari oleh penilaian-penilaian yang objektif, yakni berdasarkan fakta-fakta pendukung. Sekali lagi, tidak boleh didasari oleh rasa atau perkiraan-perkiraan semata yang cenderung imajinatif.
Maka, berkaca dari kasus Haikal Hasan tadi, hendaknya ke depan masyarakat tidak terlalu mudah untuk melaporkan atas setiap kebohongan yang dijumpainya. Karena tidak setiap kebohongan dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana. Ini juga menjadi kewajiban polisi untuk menjelaskan kepada si pelapor dan yang terpenting penasihat hukum (pengacara/advokat) yang mendamping calon pelapor harus jujur, berani untuk mengatakan hal sebenarnya tentang layak atau tidaknya sesuatu hal atau peristiwa untuk dapat dilaporkan ke polisi. Apalagi peristiwa yang dilatarbelakangi oleh sebuah mimpi (tidak semata dalam soal mimpi Ustadz Haikal Hasan sekarang ini), yang boleh dikata mimpi yang demikian tidak mungkin akan dapat dibuktikan kebohongannya. Alangkah baiknya penasihat hukum dapat mengingatkan soal "ketidakmungkinan" itu. Karena bohong atau tidaknya hal mimpi itu, hanya orang yang bermimpi itu sendiri dan Tuhanlah yang tahu!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H