Pasal 378 KUHP berbunyi:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Begitu pula, dalam aturan pidana lainnya semacam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 yang didalam rumusannya juga menyinggung soal "kebohongan". Tak dapat dipungkiri, ketentuan pidana dalam pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tersebut memang sering digunakan oleh pelapor atau polisi buat menjerat "pelaku kebohongan" tadi. Dan sepertinya hal ini sudah menjadi menjadi "tren" di mana masyarakat gemar melaporkan suatu ucapan atau tulisan orang lain yang tidak ia sukai (terutama lawan politiknya) dengan bermodalkan pasal pidana tadi dan bahkan sepertinya "pasal kebohongan" ini juga sering digunakan oleh oknum penguasa untuk menjerat lawan politik yang tidak senanginya.
Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 berbunyi:
Ayat (1): Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Ayat (2): Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Coba perhatikan bunyi pasal 14 di atas. Baik pada ayat (1) maupun ayat (2) memuat unsur akibat berupa "menerbitkan keonaran". Maksudnya, sekiranya ada kebohongan, maka kebohongan itu telah mengakibatkan timbulnya keonaran atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan keonaran. Begitulah syarat peristiwa lanjutan terkait kebohongan tadi yang dikehendaki oleh pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tadi. Jadi tak cukup hanya sebatas peristiwa kebohongan atau perbuatan bohong saja untuk dapat terjadinya tindak pidana tadi.
KASUS MIMPI HAIKAL HASAN
Dalam kasus Ustadz Haikal Hasan yang kabarnya dilaporkan ke polisi berdasarkan ketentuan pidana antara lain Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 atas tuduhan telah melakukan kebohongan terkait mimpinya bertemu Rasulullah yang diceritakannya di depan khalayak saat penguburan 6 jenazah anggota FPI, maka syarat terpenuhinya unsur terjadinya peristiwa terbit atau timbulnya "keonaran" sebagai akibat dari kebohongan itu mestilah berlaku pula.
Bahwa terlepas dari perdebatan apakah beliau berbohong atau tidak (tentang mimpinya itu), satu hal utama dan penting yang mesti dibuktikan dalam laporan polisi terkait kasus ini adalah persoalan apakah dari sebab cerita mimpinya (yang dianggap bohong oleh si pelapor) itu telah menimbulkan keonaran atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan keonaran sebagaimana ketentuan yang telah dirumuskan dalam Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tadi ?
Apakah benar dari sebab cerita mimpinya Haikal Hasan tadi telah menimbulkan keonaran, maka pembuktian akan hal ini tidak serta merta bisa dilakukan hanya dengan didasari oleh alasan subjektif si pelapor. Sekedar dilandasi oleh analogi (penyamaan peristiwa), asumsi (anggapan/perkiraan) atau rasa khawatir diri si pelapor belaka, hukum pidana tidak boleh diterapkan secara demikian.