Mohon tunggu...
Yai Baelah
Yai Baelah Mohon Tunggu... Pengacara - (Advokat Sibawaihi)

Sang Pendosa berkata; "Saat terbaik dalam hidup ini bukanlah ketika kita berhasil hidup dengan baik, tapi saat terbaik adalah ketika kita berhasil mati dengan baik"

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kebohongan, Peristiwa Pidana dan Kasus Mimpi Ustadz Haikal

23 Desember 2020   16:03 Diperbarui: 24 Desember 2020   11:13 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah berbohong dilarang oleh hukum? Apakah setiap kebohongan itu bisa dipidana dan dapat dilaporkan ke polisi?

Sebagaimana banyak diberitakan, belakangan ini memang semakin marak orang yang dilaporkan ke polisi dari sebab berbohong atau dituduh berbohong. Kejadian belum lama yang masih bisa diingat semisal kasus Ratna Sarumpaet yang telah berbohong hingga akhirnya diperiksa polisi dan bahkan sempat dihukum oleh pengadilan. Lalu yang baru-baru ini terjadi adalah kasus yang menimpa Ustadz Haikal Hasan. Beliau diangggap telah berbohong sehingga pihak yang tidak senang terhadapnya melaporkan beliau ke polisi. Ya, masih ada kasus-kasus lainnya yang dilaporkan ke polisi dari sebab "kebohongan" yang tidak semuanya perlu disebutkan di sini.

KEBOHONGAN DAN PERISTIWA PIDANA

Ada dua hal yang menarik dan perlu digaris bawahi dari fenomena banyaknya laporan yang berhubungan dengan perbuatan bohong tadi, yakni semakin entengnya orang berbohong dan semakin entengnya pula orang melapor ke polisi. Boleh jadi, ini semua disebabkan "euforia kebebasan" yang mulai terasa sejak awal reformasi.

Orang merasa bebas untuk berkata apa saja dan juga merasa bebas untuk melaporkan apa saja. 'Kebebasan' tadi ternyata didukung pula oleh kemajuan teknologi komunikasi yang melahirkan media penyebaran informasi yang lebih cepat dan sangat luas (medsos) semacam facebook, twitter atau instragram yang makin familiar digunakan oleh hampir semua orang. Kini, setiap orang memiliki kesempatan yang lebih bebas untuk berkata atau bercerita, menjadi lebih mudah untuk menulis atau bicara apa saja. Ya, bicara apa saja!. Bahkan untuk berbicara bohong sekalipun, orang-orang tak lagi mengalami banyak hambatan.

Sekali lagi pertanyaannya, apakah setiap kebohongan itu bisa dilaporkan ke polisi? Apakah berbohong itu merupakan peristiwa pidana atau merupakan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dan karenanya dapat dituntut secara pidana?

Pertanyaan tadi penting untuk dijadikan pokok bahasan karena nyatanya sering terjadi salah kaprah pada diri kebanyakan masyarakat, di mana seseorang yang merasa telah dibohongi menganggap dirinya juga telah tertipu. Padahal tidak setiap kebohongan itu merupakan penipuan. Meskipun misalnya orang itu benar-benar terbukti berbohong.

Ya, kebohongan tidak identik dengan penipuan. Boleh saja seseorang merasa telah dibohongi, namun tidak berarti orang itu telah ditipu. Bisa saja terjadi seseorang itu berbohong, namun tidak lantas kemudian ia (su pelaku) menjadi pantas untuk dilaporkan ke polisi. Untuk dipahami, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penipuan maka hukum pidana telah menetapkan syarat keadaan atau kejadian tertentu yang harus terpenuhi dalam satu rangkaian peristiwa sebagaimana ketentuannya yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.

Ada rumusan dan unsur-unsur tertentu sehingga suatu perbuatan itu bisa dikualifikasikan sebagai "penipuan". Tak cukup hanya karena adanya perbuatan bohong maka dikatakan telah terjadi tindak pidana penipuan , tetapi mestilah pula ada kejadian tertentu yang timbul dari sebab kebohongan tadi.

Kejadian tertentu (yang merugikan) yang mesti secara tegas telah disebutkan di dalam undang-undang. Dari sebab kebohongan itu mestilah ada suatu akibat tertentu yang diatur oleh pasal pidana tertentu, maka barulah peristiwa kebohongan itu bisa dikategorikan sebagai peristiwa pidana (yang dapat dituntut secara pidana).

Dalam tindak pidana penipuan misalnya, mestilah seseorang itu (si korban) "menyerahkan sesuatu", misalnya berupa barang yang berharga kepada si pembohong itu (pelaku). Bila si pelaku sekedar berbohong saja lalu kemudian tidak terjadi peristiwa pemberian sesuatu barang atau jasa oleh korban maka si pelaku yang berbohong tadi tidak dapat seketika dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana penipuan.

Pasal 378 KUHP berbunyi:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Begitu pula, dalam aturan pidana lainnya semacam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 yang didalam rumusannya juga menyinggung soal "kebohongan". Tak dapat dipungkiri, ketentuan pidana dalam pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tersebut memang sering digunakan oleh pelapor atau polisi buat menjerat "pelaku kebohongan" tadi. Dan sepertinya hal ini sudah menjadi menjadi "tren" di mana masyarakat gemar melaporkan suatu ucapan atau tulisan orang lain yang tidak ia sukai (terutama lawan politiknya) dengan bermodalkan pasal pidana tadi dan bahkan sepertinya "pasal kebohongan" ini juga sering digunakan oleh oknum penguasa untuk menjerat lawan politik yang tidak senanginya.

Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 berbunyi:

Ayat (1): Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Ayat (2): Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Coba perhatikan bunyi pasal 14 di atas. Baik pada ayat (1) maupun ayat (2) memuat unsur akibat berupa "menerbitkan keonaran". Maksudnya, sekiranya ada kebohongan, maka kebohongan itu telah mengakibatkan timbulnya keonaran atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan keonaran. Begitulah syarat peristiwa lanjutan terkait kebohongan tadi yang dikehendaki oleh pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tadi. Jadi tak cukup hanya sebatas peristiwa kebohongan atau perbuatan bohong saja untuk dapat terjadinya tindak pidana tadi.

KASUS MIMPI HAIKAL HASAN

Dalam kasus Ustadz Haikal Hasan yang kabarnya dilaporkan ke polisi berdasarkan ketentuan pidana antara lain Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 atas tuduhan telah melakukan kebohongan terkait mimpinya bertemu Rasulullah yang diceritakannya di depan khalayak saat penguburan 6 jenazah anggota FPI, maka syarat terpenuhinya unsur terjadinya peristiwa terbit atau timbulnya "keonaran" sebagai akibat dari kebohongan itu mestilah berlaku pula.

Bahwa terlepas dari perdebatan apakah beliau berbohong atau tidak (tentang mimpinya itu), satu hal utama dan penting yang mesti dibuktikan dalam laporan polisi terkait kasus ini adalah persoalan apakah dari sebab cerita mimpinya (yang dianggap bohong oleh si pelapor) itu telah menimbulkan keonaran atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan keonaran sebagaimana ketentuan yang telah dirumuskan dalam Pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tadi ?

Apakah benar dari sebab cerita mimpinya Haikal Hasan tadi telah menimbulkan keonaran, maka pembuktian akan hal ini tidak serta merta bisa dilakukan hanya dengan didasari oleh alasan subjektif si pelapor. Sekedar dilandasi oleh analogi (penyamaan peristiwa), asumsi (anggapan/perkiraan) atau rasa khawatir diri si pelapor belaka, hukum pidana tidak boleh diterapkan secara demikian.

Jelas bahwa seseorang tidak boleh disimpulkan telah bersalah tanpa didukung oleh alat bukti yang berkualitas sebagai fakta hukum. Sudah ada kriteria pembuktian yang bersifat objektif berkenaan dengan itu. Tentunya pembuktian dimaksud mestilah berdasarkan sesuatu keadaan yang nyata yang bisa diterangkan sehingga menjadi sebuah fakta hukum, fakta tentang "keonaran" seperti apa dan bisa dijelaskan kaitan atau hubungan hukumnya dengan perbuatan bohong yang terjadi sebelumnya. Meski dalam ayat (2) Pasal 1 dalam rumusannya disebutkan kata "dapat" (menerbitkan keonaran), artinya sebagai sesuatu peristiwa yang belum terjadi (fiktif), namun tetap saja untuk menentukan hal "dapat" itu mesti didasari oleh penilaian-penilaian yang objektif, yakni berdasarkan fakta-fakta pendukung. Sekali lagi, tidak boleh didasari oleh rasa atau perkiraan-perkiraan semata yang cenderung imajinatif.

Maka, berkaca dari kasus Haikal Hasan tadi, hendaknya ke depan masyarakat tidak terlalu mudah untuk melaporkan atas setiap kebohongan yang dijumpainya. Karena tidak setiap kebohongan dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana. Ini juga menjadi kewajiban polisi untuk menjelaskan kepada si pelapor dan yang terpenting penasihat hukum (pengacara/advokat) yang mendamping calon pelapor harus jujur, berani untuk mengatakan hal sebenarnya tentang layak atau tidaknya sesuatu hal atau peristiwa untuk dapat dilaporkan ke polisi. Apalagi peristiwa yang dilatarbelakangi oleh sebuah mimpi (tidak semata dalam soal mimpi Ustadz Haikal Hasan sekarang ini), yang boleh dikata mimpi yang demikian tidak mungkin akan dapat dibuktikan kebohongannya. Alangkah baiknya penasihat hukum dapat mengingatkan soal "ketidakmungkinan" itu. Karena bohong atau tidaknya hal mimpi itu, hanya orang yang bermimpi itu sendiri dan Tuhanlah yang tahu!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun