Ini adalah legacy terpenting yang ditinggalkan Baperki.  Tanpa para tokoh Baperki  seperti Siauw Giok Tjhan dan Go Gien Tjwan, sebagian besar orang Tionghoa yang kini hidup Indonesia, akan berstatus warga negara asing.
Tekad para pendiri Baperki tersebut bersandar atas pengertian bahwa komunitas Tionghoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nasion Indonesia. Mereka lahir, hidup dan mati di Indonesia. Indonesia adalah tanah airnya. Sejak tahun 1958, para tokoh Baperki kerap menyatakan bahwa komunitas Tionghoa adalah salah satu suku bangsa Indonesia.
Baperki memformulasikan paham integrasi wajar, yang kini lebih dikenal sebagai multi-kulturalisme atau pluralisme. Komunitas Tionghoa didorong untuk turut aktif membangun Indonesia tanpa menanggalkan ke-Tionghoaannya. Kesetiaan terhadap Indonesia, menurut Baperki, tidak berkaitan dengan latar belakang etnisitas seseorang.
Sikap politik membangun pimpinan Baperki menyebabkannya cepat berkembang. Setiap kebijakan anti Tionghoa ditanggapi dengan jalan keluar yang membangun. Â Diskriminasi dalam hal perdagangan dilawan dengan pengembangan kebijakan ekonomi yang menggaris-bawahi pengembangan modal domestik yang dikelola oleh para pedagang Tionghoa.
Diskriminasi dalam bidang pendidikan ditanggapi dengan pembentukan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang membangun ratusan sekolah dan Universitas Respublica, menampung lebih dari 100.000 siswa Tionghoa. Tanpa Baperki, mereka tidak bisa sekolah di Indonesia.
Sayangnya peta politik Indonesia berubah secara drastis pada akhir 1965. Semua kegiatan yang membangun ini harus dihentikan, apalagi setelah Jendral Soeharto berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya pada 12 Maret 1966.
Sebagai Sekretaris Jendral Baperki, Go Gien Tjwan sangat berperan dalam memformulasikan dan melaksanakan sikap politik membangun Baperki yang digambarkan di atas. Oleh karena itu bisa dimengerti mengapa Go dan para pemimpin Baperki lainnya, semasa hidupnya memiliki "obsesi" tentang Baperki dan perwujudan objektif politik Baperki. Â Â
Go mengenal Siauw Giok Tjhan sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945), di Malang. Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Go mendukung semua kegiatan Siauw dalam memperkokoh keberadaan Republik Indonesia.
Pad awal September 1945, Siauw Giok Tjhan mendirikan Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Pada 10 November 1945, Siauw Giok Tjhan, Siauw Giok Bie, Go Gien Tjwan dan sekelompok pemuda Tionghoa yang bergabung dalam Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru, turut berperan di medan pertempuran di Surabaya.Â
Sikap politik Siauw dan Go memisahkan mereka dari mayoritas komunitas Tionghoa pada zaman revolusi (1945 -1949). Â Mereka pada umumnya a-politis dan menganggap berpihak pada Republik Indonesia merupakan pilihan yang salah dan berbahaya. Sebagian besar Tionghoa karena ekses-ekses negatif revolusi yang merugikannya, menginginkan kembalinya Belanda atau menjadi bagian dari Tiongkok.
Sejarah membuktikan ketepatan visi politik Siauw dan Go, dan para pemimpin Baperki lainnya, yaitu mendorong komunitas Tionghoa untuk mendukung Republik Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai tanah air. Â