Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenang Go Gien Tjwan, Salah Satu Pendiri Baperki

29 September 2018   03:58 Diperbarui: 29 September 2018   04:24 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa jam yang lalu, Go Gien Tjwan meninggal dunia dengan tenang di rumah kediamannya, Amstelveen, Belanda. Ia baru saja memperingati ulang tahun ke 98 pada 22 September yang lalu.

Hingga beberapa jam yang lalu, Go Gien Tjwan, merupakan satu-satunya pendiri Baperki -- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia yang masih berada. Ke 43 pendiri organisasi yang dibentuk pada 13 Maret 1954 lainnya sudah meninggal dunia.

Saya beruntung berkesempatan bertemu dengan Go minggu lalu. Walaupun lemah, tetapi ia masih penuh dengan semangat. Yang sangat mengesankan adalah ingatannya tentang berbagai hal penting dalam sejarah.  

Sekitar 30 tahun yang lalu Go mendorong saya untuk menulis biografi politik ketua umum Baperki, Siauw Giok Tjhan dan sekaligus mempelajari sejarah politik peranakan Tionghoa Indonesia. Ketika melakukan penelitian, Go merupakan salah satu nara sumber terpenting.

Ia banyak memberi masukan yang sangat berarti dalam upaya saya mempelajari sejarah politik peranakan Tionghoa di Indonesia. Yang paling menonjol dari sekian jam pembicaraan dengannya adalah bagaimana Baperki menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.

Hal yang sama diucapkan pula oleh seorang pendiri Baperki lainnya, pengacara ternama, Yap Thiam Hien. Dalam salah satu pembicaraan dengan almarhum Yap pada akhir 1988, ia dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatannya dalam Baperki merupakan pengalaman berpolitik yang sangat mempengaruhi hidupnya.

Ternyata ketika saya mewawancarai banyak tokoh Baperki lainnya, antara lain Tjoa Sik Ien,  Oei Tjoe  Tat,  Siauw Giok Bie, Nyonya Lie Tjwan Sien, dan Phoa Thoan Hian, tanggapan serupa dilontarkan pula oleh mereka.

Mengapa demikian? Jawabannya erat berhubungan dengan masalah kewarganegaraan Indonesia dan pembangunan nasion Indonesia.

Para pendiri Baperki pada 13 Maret 1954 bertekad untuk mempertahankan status semua Tionghoa yang lahir di Indonesia yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 adalah Warga Negara Indonesia.  UU tersebut menyatakan semua orang yang lahir di Indonesia adalah WNI, kecuali secara aktif menolak kewarganegaraan Indonesia di pengadilan. 

Pada waktu itu ada arus politik kuat di dalam maupun di luar DPR untuk membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Beberapa tokoh politik di DPR menginginkan UU baru yang membuat semua Tionghoa di Indonesia warga negara asing dan mewajibkan mereka mengajukan permohonan untuk menjadi WNI dengan bukti mereka dan ayah mereka lahir di Indonesia. Suatu syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh sebagian besar Tionghoa yang menetap di Indonesia.

Berkat perjuangan Baperki, Rancangan UU kewarganegaraan baru ini berhasil dibatalkan pada 1954.  Upaya-upaya selanjutnya, Penyelesaian Masalah Dwi Kewarganegaraan dengan RRT pada 1955 dan RUU Kewarganegaraan 1958 yang menginginkan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia menjadi WNA, dipatahkan pula oleh Baperki dan para pendukungnya.

Ini adalah legacy terpenting yang ditinggalkan Baperki.  Tanpa para tokoh Baperki  seperti Siauw Giok Tjhan dan Go Gien Tjwan, sebagian besar orang Tionghoa yang kini hidup Indonesia, akan berstatus warga negara asing.

Tekad para pendiri Baperki tersebut bersandar atas pengertian bahwa komunitas Tionghoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nasion Indonesia. Mereka lahir, hidup dan mati di Indonesia. Indonesia adalah tanah airnya. Sejak tahun 1958, para tokoh Baperki kerap menyatakan bahwa komunitas Tionghoa adalah salah satu suku bangsa Indonesia.

Baperki memformulasikan paham integrasi wajar, yang kini lebih dikenal sebagai multi-kulturalisme atau pluralisme. Komunitas Tionghoa didorong untuk turut aktif membangun Indonesia tanpa menanggalkan ke-Tionghoaannya. Kesetiaan terhadap Indonesia, menurut Baperki, tidak berkaitan dengan latar belakang etnisitas seseorang.

Sikap politik membangun pimpinan Baperki menyebabkannya cepat berkembang. Setiap kebijakan anti Tionghoa ditanggapi dengan jalan keluar yang membangun.  Diskriminasi dalam hal perdagangan dilawan dengan pengembangan kebijakan ekonomi yang menggaris-bawahi pengembangan modal domestik yang dikelola oleh para pedagang Tionghoa.

Diskriminasi dalam bidang pendidikan ditanggapi dengan pembentukan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang membangun ratusan sekolah dan Universitas Respublica, menampung lebih dari 100.000 siswa Tionghoa. Tanpa Baperki, mereka tidak bisa sekolah di Indonesia.

Sayangnya peta politik Indonesia berubah secara drastis pada akhir 1965. Semua kegiatan yang membangun ini harus dihentikan, apalagi setelah Jendral Soeharto berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya pada 12 Maret 1966.

Sebagai Sekretaris Jendral Baperki, Go Gien Tjwan sangat berperan dalam memformulasikan dan melaksanakan sikap politik membangun Baperki yang digambarkan di atas. Oleh karena itu bisa dimengerti mengapa Go dan para pemimpin Baperki lainnya, semasa hidupnya memiliki "obsesi" tentang Baperki dan perwujudan objektif politik Baperki.   

Go mengenal Siauw Giok Tjhan sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945), di Malang. Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Go mendukung semua kegiatan Siauw dalam memperkokoh keberadaan Republik Indonesia.

Pad awal September 1945, Siauw Giok Tjhan mendirikan Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Pada 10 November 1945, Siauw Giok Tjhan, Siauw Giok Bie, Go Gien Tjwan dan sekelompok pemuda Tionghoa yang bergabung dalam Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru, turut berperan di medan pertempuran di Surabaya. 

Sikap politik Siauw dan Go memisahkan mereka dari mayoritas komunitas Tionghoa pada zaman revolusi (1945 -1949).  Mereka pada umumnya a-politis dan menganggap berpihak pada Republik Indonesia merupakan pilihan yang salah dan berbahaya. Sebagian besar Tionghoa karena ekses-ekses negatif revolusi yang merugikannya, menginginkan kembalinya Belanda atau menjadi bagian dari Tiongkok.

Sejarah membuktikan ketepatan visi politik Siauw dan Go, dan para pemimpin Baperki lainnya, yaitu mendorong komunitas Tionghoa untuk mendukung Republik Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai tanah air.  

Para mantan mahasiswa Universitas Respublica di Jakarta mengingat keterlibatan Go Gien Tjwan dalam membangun dan mengembangkan kualitas dan prestasi universitas ini dari 1958 hingga 1965.  

Ketika Universitas Respublica di Jakarta diserbu oleh massa yang dikerahkan dan didukung militer pada 15 Oktober 1965, Go Gien Tjwan turut memimpin ratusan mahasiswa melawan penyerbuan. Perlawanan tersebut hanya bisa bertahan 30 menit karena jumlah penyerbu jauh lebih besar.  Siauw dan Go hanya bisa mengucurkan air mata karena tidak berdaya melihat jerih payah politik dan sosial mereka hancur.

Setelah penyerbuan tersebut, Siauw Giok Tjhan mengunjungi Presiden Soekarno dan beberapa tokoh pemerintah lainnya  menuntut semua sekolah dan universitas yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki diizinkan berlangsung menampung puluhan ribu siswa Tionghoa dengan prinsip "Pendidikan Bukan Barang Dagangan". Sebagian sekolah-sekolah Baperki dijadikan sekolah-sekolah negeri. Ada yang ditutup dan lahan-lahan dijadikan proyek-proyek real estates. Universitas Respublica di Jakarta diambil alih oleh Yayasan Trisakti dan dinamakan Universitas Trisakti. Di Surabaya, dijadikan Universitas Surabaya.  Cabang-cabang di berbagai kota lain tidak diteruskan dan lahan-lahan dijadikan proyek-proyek komersial.

Go Gien Tjwan ditahan oleh militer pada November 1965. Berkat bantuan kawannya, Jendral Amir Machmud, ia dibebaskan pada April 1966. Pada 1967 ia dan isteri  ke Belanda, menghindari persekusi politik.     

Berbeda dengan para tokoh Baperki lainnya, Go memiliki kelebihan lain. Ia berkembang pula sebagai seorang akademisi yang berbobot. Di bawah bimbingan profesor ternama, Wertheim, ia menyelesaikan program PhD-nya dalam bidang Political Science yang rampung pada 1964.  Dan yang menjadi fokus penelitiannya adalah ketepatan paham yang dianut oleh Baperki, yaitu integrasi suku Tionghoa di desa Dadap, Tanggerang.

Setibanya di Belanda pada 1966, Go menjadi dosen senior di Universitas Amsterdam. Ia  menulis berbagai makalah yang secara ilmiah menggambarkan sumbangsih Baperki dalam sejarah Indonesia.

Selama di Belanda, ia aktif  melakukan berbagai kegiatan yang membongkar kejahatan negara yang dipimpin oleh Jendral Soeharto.

Hingga akhir hidupnya, walaupun sudah berusia sangat lanjut, Go Gien Tjwan tidak pernah berhenti memikirkan bagaimana ia sebagai salah satu pendiri Baperki dan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, bisa menuntut kepemilikan aset Baperki dan Yayasannya, yang dirampas secara tidak sah oleh kekuatan militer. Ia menginginkan ratusan lahan sekolah-sekolah dan universitas Baperki, pada suatu hari, dijadikan sandaran proyek-proyek sosial yang mempercepat perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan cita-cita mulya Baperki.

Hari ini Indonesia kehilangan salah satu putranya yang terbaik. Seorang putra yang rela berkorban demi menjunjung tinggi komitmen politik dan berjuang untuk Indonesia hingga akhir hayatnya.  

Semoga semangat dan komitmen politik Go Gien Tjwan senantiasa menginspirasi generasi muda untuk meneruskan jejak Go dan para pemimpin Baperki lainnya.

Selamat jalan Go Gien Tjwan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun