Mohon tunggu...
Shyntako
Shyntako Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

A Cancerian woman who love her Taurus's son so much. I'm also a freelancer and blogger who love to write about culinary, travelling, financial, parenting, and daily life. And let's get connected https://www.yoayoproject.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Goodbye Malin Kundang, Sekarang Eranya Orang Tua Durhaka

31 Januari 2020   21:42 Diperbarui: 2 Februari 2020   04:01 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, seringkali kita diingatkan oleh hikayat/cerita rakyat tentang Malin Kundang biar kita bisa berperilaku sopan dan sayang terhadap orang tua. 

Singkat ceritanya, dikisahkan Malin Kundang adalah anak daerah yang merantau dan sukses di perantauan hingga mempersunting perempuan kaya. Dan, sang Ibu yang memendam rasa rindu karena sekian lama tidak berjumpa pun pergi menghampiri Malin Kundang yang sudah lupa diri. 

Ia menghina dan tidak mengakui Ibu kandungnya sendiri. Dan si Ibu yang terlanjur sakit hati pun mengutuk Malin Kundang menjadi batu. Menurut saya, selain nilai bahwa kita harus hormat dan mengasihi orang tua kita, ada juga satu nilai hidup yang penting dari cerita tersebut. 

Yaitu, kita sebagai orang tua pun kelak harus senantiasa menjaga ucapan apalagi sampai mengutuk anak kita. Karena kita tidak pernah tahu kapan Tuhan menjawab keluhan hati kita.

Seiring waktu, kisah anak yang durhaka memang selalu ada saja. Tapi, sekarang yang lebih menyayat hati adalah meningkatnya kasus orang tua yang durhaka terhadap anaknya. Ah, masa sih ada kasus orang tua durhaka? Ada. Bahkan banyak! 

Pernah dengar kasus orang tua yang bermasalah dan menelantarkan anak-anaknya dirumah mereka di daerah Cibubur sekitar 2015 yang lalu? Ya, kedua orang tuanya bermasalah dan terjerat masalah narkoba.  

Lalu, seberapa sering kita melihat atau mendengar berita kasus bayi yang dibuang di tempat sampah atau ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya? Belum lagi, masalah anak yang terlantar sebagai dampak dari kasus perceraian. 

Menurut saya, terlepas dari apapun alasan dan penyebab perceraian, orang tua harusnya memiliki komitmen yang tinggi dan kesadaran untuk sama-sama mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap anak.  

Data dari Komnas Perlindungan Anak pada 2019 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak berjumlah sekitar 52% dan sisanya bentuk kekerasan lain sebesar 48% termasuk diantaranya penelantaran anak, penganiayaan dan perdagangan anak.

Kita sebagai orang tua pun ternyata bisa secara tidak sadar terperosok dalam perilaku menelantarkan anak, diantaranya;

  1. Kekerasan seksual pada anak. Jangan langsung defensif bahwa gak mungkinlah kita sebagai orang tua melakukan kekerasan seksual sama anak kandung kita sendiri. Tapi, disini ada beberapa hal yang kadang kita lalai, misalnya membiarkan anak terpapar tontonan bioskop/tv/youtube yang ratingnya bukan untuk konsumsi anak-anak.

    Dan, tahu gak sih, ternyata memaksa anak untuk membuka baju di depan umum, misal di kolam renang itu akan berakibat bertabrakannya beberapa nilai yang sebelumnya sudah ditanamkan dan diajarkan. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk melindungi dan menjaga tubuh mereka, tapi disatu sisi orang tua terkadang cuek karena merasa "ah, masih anak-anak gak apa-apa kok...".

  2. Kekerasan emosional pada anak. Ini dia yang paling sering dilakukan dan jarang kita sadari. Pernah menakut-nakuti anak agar dia mau menuruti instruksi kita? Misalnya, 'Ayo, habisin makanannya nanti ditangkap Polisi'.

    Ini ternyata salah loh moms and dads, karena dia akan jadi punya gambaran buruk tentang Polisi yang tidak benar. Atau pernah gak bilang, 'Ayo udah sore, waktunya pulang. Kalo gak tar dibawa Setan.'. Ini lagi pake bawa makhluk gaib untuk nakut-nakutin.

    Selain itu, terkadang orang tua juga suka memarahi anak di depan umum, suka membandingkan dengan saudaranya dan jarang menunjukkan afeksi seperti pelukan dan ciuman juga ternyata bentuk penelantaran secara emosional.

  3. Penelantaran fisik pada anak; Salah satu bentuknya adalah menelantarkan hak mereka untuk mendapatkan perawatan fisik yang baik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membiarkan anak lusuh bin kumel seharian bisa termasuk loh ternyata moms dan dads. Atau misalnya membiarkannya kelaparan karena kita sedang sibuk dengan aktifitas lain atau pekerjaan kita juga bentuk penelantaran fisik pada anak.

  4. Penelantaran medis pada anak; sebagai orang tua umumnya kita akan mengupayakan yang terbaik agar anak mendapatkan akses kesehatan yang optimal ketika sakit.

    Membiarkan kondisi anak hingga berlarut-larut termasuk menelantarkan hak mereka untuk mendapatkan perawatan medis yang layak. Lagipula, gak ada alasan kan sekarang ada BPJS. Bahkan, lebih baik lagi kalo kita punya asuransi kesehatan tambahan untuk anak.

  5. Penelantaran pendidikan pada anak; sering membiarkan anak bolos sekolah karena alasan yang kurang penting? Hal ini bisa berarti kita lali dalam hal pendidikan anak loh. Termasuk menyerahkan urusan pendidikan ke guru atau pihak sekolah saja, tanpa kerja untuk mengajarkan anak di rumah.

Tapi, menurut saya yang lebih parah adalah mereka yang secara sadar melakukan penelantaran anak. Apalagi alasannya hanya karena masalah ekonomi. Lah, kalo memang belum siap jadi orang tua ya mbok ya jangan 'berbuat'. 

Kalo alasannya masalah finansial, kita sebagai orang tua kan bisa bekerja dan melakukan segala daya upaya untuk menjalankan nafkah kita kepada anak.

Kalo alasannya masalah pihak ketiga, hellooo gak ada judulnya di dunia ini yang namanya Bekas Anak! Entah apa yang merasukimu deh kalo gitu mah.

Tahukah Anda, bahwa tindakan penelantaran anak itu bisa menimbulkan dampak psikologis pada anak? Kalo gak tahu, sini saya bantu kasih tahu ya. Satu hal yang pasti, anak akan merasa ditolak oleh Anda! 

Hal ini bisa membuat mereka menarik dan menutup diri dari lingkungan. Ketidakmampuan anak untuk bersosialiasi ini menyebabkan anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, penyendiri, sensitif dan egosentris. 

Apalagi untuk anak yang belum bisa mengungkapkan secara verbal dan ekspresif. Bahkan bisa membuat mereka menyalahkan diri mereka sendiri.

Bahkan, faktanya mereka-mereka yang durhaka sama anak ini konon mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan sekarang terhadap anaknya sendiri. 

Mereka ini gak paham gimana seharusnya menjadi orang tua. Hal inilah yang membuat mereka lalai dalam menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

Padahal, kewajiban kita sebagai orang tua terhadap anak sudah diatur dalam setiap agama. Dan bagi saya, di Al-Quran jelas termuat tentang hal tersebut. 

Dimulai dengan memberikannya nama yang baik sebagai doa untuk hidupnya kelak, memberikannya ASI, mengajarkan dan mengkaji Al-Quran, memberi nafkah dan makanan yang halal, serta menikahkannya kelak dengan pasangan yang terbaik. 

Duh, ini hidup loh bukan episode di sinetron. Lalai dan menelantarkan di saat anak sedang butuh-butuhnya sosok Anda sebagai orang tua. Gak ada faedahnya juga sih kalo anak hanya dieksploitasi untuk pencitraan saja di sosial media! 

Tapi, actionnya nol besar. Jangan nanti baru sadar dan mengaku-aku sebagai orang tua saat anak sudah sukses. 

Mungkin Anda kebanyakan nonton sinetron kali ya. Percaya kan ada hukum Tabur Tuai? Apa yang Anda tabur, siap-siaplah akan Anda tuai cepat atau lambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun