"Bukankah itu yang kau lakukan sekarang?" balas suara itu tajam. "Kau menghakimi kami, menghakimi manusia lain, bahkan, menghakimi dirimu sendiri."
Mendengar itu, tangan keriput Pak Tua yang memegang tulang mendadak gemetar. Ia menatap anjing-anjing itu lagi, kali ini dengan pandangan berbeda. Apa benar aku sedang menghakimi? pikirnya.
"Kau berjalan ke pasar dengan lentera menyala di siang bolong mencari manusia, tetapi apa yang kau temukan? Cermin. Kau melihat kebusukan manusia, padahal sebenarnya itu pantulan dari kebusukanmu sendiri."
Pak Tua tersentak. Ia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. "Aku telah meninggalkan semua hartaku, kemewahanku, dan strata sosialku. Aku hidup sederhana. Bagaimana mungkin kau menyebutku busuk?"
"Karena di dalam dirimu masih ada kebanggaan," jawab suara itu tegas. "Kebanggaan bahwa kau lebih baik daripada mereka yang kau tinggalkan. Kebanggaan bahwa kau lebih murni, lebih jujur, lebih benar. Kau tidak hidup zuhud; kau hidup dalam kesombongan yang dibungkus kerendahan hati paling munafik."
Kata-kata itu menghantam Pak Tua seperti palu. Dadanya sesak. Ia mencoba membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Anjing-anjing itu, bak mengerti bahwa sesuatu sedang terjadi, berhenti sejenak dari pesta mereka, lalu menyeringai ke arah Pak Tua.
"Jadi ... apa yang harus kulakukan?" tanya Pak Tua, nyaris berbisik.
"Hiduplah tanpa berpura-pura menjadi apa pun. Tanpa merasa lebih baik, tanpa merasa lebih buruk. Temukanlah manusia di dalam dirimu sendiri."
Pak Tua menutup matanya. Pikirannya berputar-putar. "Tetapi aku tidak ingin menjadi seperti manusia lain. Mereka palsu, rakus, ... kejam."
"Dan kau pikir dirimu lebih baik?" Suara itu menyindir. "Kau telah menjadi manusia penggonggong. Sadarlah! Sesungguhnya kau adalah jelmaan terburuk dari binatang anjing sekali pun."