Lelaki tua itu memilih untuk tidak menjadi manusia seperti kebanyakan.
Suatu siang, di bawah sengatan matahari tanpa ampun, ia berjalan melewati pasar dengan lentera menyala, dan itu terlihat seperti lelucon konyol. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian lusuh, rambutnya kusut, dan bau keringatnya yang melekat bercampur debu telah cukup membuat beberapa orang menutup hidung. Namun, reaksi jijik itu sejurus menjadi tawa. Jelas, mereka menertawakan lelaki tua itu karena menganggapnya telah hilang kewarasan.
Seorang pedagang bertubuh tambun, yang tengah sibuk menakar rempah, menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Sedang mencari apa, Pak Tua?!" Suaranya setengah mengejek, setengah penasaran. Tampaknya, ia sudah terbiasa menggoda lelaki tua itu.
"Manusia," jawab Pak Tua lantang.
Orang-orang menoleh, lalu tertawa keras. "Manusia? Memangnya ia sendiri bukan manusia?" seseorang menyeletuk, disusul gelak tawa lain.
Seorang pria berkumis tebal menepuk pundak orang di sebelahnya yang menyeletuk tadi, sambil menunjuk Pak Tua dengan dagunya. "Ia sekarang lebih mirip anjing kelaparan," bisiknya.
Bisikan itu cukup terdengar oleh Pak Tua, pun ejekan-ejekan lain. Kata-kata mereka menusuk seperti tancapan duri, tetapi Pak Tua tidak marah dan malah menerimanya sebagai pujian.
"Seekor anjing lebih jujur daripada manusia," katanya kepada kerumunan yang mengejeknya. Suaranya tenang, tidak terburu-buru. "Anjing tidak bersembunyi di balik topeng. Mereka makan, tidur, dan bercinta di depan umum tanpa rasa malu. Mereka adalah makhluk sejati."
Ia menundukkan kepalanya sedikit, memberi hormat kepada orang-orang itu sebelum melangkah pergi. Langkahnya tetap mantap. Tidak berubah. Suasana pasar pun kembali sibuk, seperti biasa.
Begitulah setiap hari, hidupnya penuh cibiran, tetapi ia tidak menderita karena itu. Penderitaan sejatinya justru ketika ia masih menjadi seorang hartawan. Pada masa itu, ia hidup dikelilingi kaum penjilat yang menghujaninya dengan puja-puji manis dan menyembahnya tiada henti. Setiap kali ia berjalan, orang-orang menyambut dengan senyum semringah; setiap kali ia bicara, semua mendengarkan dengan sikap patuh seolah-olah ia seorang nabi. Pak Tua tahu betul selubung kemunafikan itu. Penghormatan yang ia terima, bukan untuk dirinya. Mereka menghormati kekayaannya. Orang-orang tidak ingin mendengar isi pikirannya, mereka hanya ingin melihat berapa banyak yang bisa mereka ambil darinya. Pak Tua dapat merasakan itu: bau busuk keinginan-keinginan serakah, serupa bau bangkai tertutup bunga-bunga segar.
Ketika Pak Tua menguji kecurigaannya, meski emosionalnya hampir berantakan, ia nekat melepaskan hartanya. Namun, ia tidak menghibahkannya kepada orang-orang di dekatnya yang culas seperti burung pemakan karkas, tetapi kepada mereka yang hidup dalam ketiadaan: pengemis-pengemis bisu, anak-anak yatim, dan janda-janda tua yang terlupakan. Tidak main-main, ia berani menjual rumah megahnya untuk mereka dan hanya menggantikannya dengan gubuk sederhana di pinggir kampung sebagai huniannya. Tanah-tanah suburnya pun ia serahkan kepada petani yang tak pernah punya hak atas hasil bertani di tanah-tanah cukong majikan mereka. Ia pun terus mendermakan kekayaannya hingga akhirnya menyisakan tubuh dan pakaian yang melekat di kulit.
Apa yang terjadi kemudian? Ironi---tentu saja. Teman-teman yang pernah memanggilnya "saudara" menjauh, bahkan mereka tidak sudi lagi bertemu. Lebih pahit lagi, keluarganya sendiri---anak-anak dan istri yang pernah ia cintai---meninggalkannya tanpa kata-kata perpisahan.
"Kau sudah gila!" Istrinya kesal tiada tara. "Kau sudah kehilangan akal!"
Akan tetapi, di sinilah ia menemukan akal sehatnya kembali. Hidup bukanlah tentang apa yang ia miliki. Ia telah paham bagaimana seharusnya seseorang hidup dengan dirinya sendiri di hadapan Tuhan. Kekayaan hanyalah jebakan halus yang membuat manusia sering lupa pada esensi keberadaan.
*
Malam merambat pelan. Pak Tua berjalan di atas tanah keras. Beberapa radius ke depan, lampu-lampu kota berkelip. Ia tahu itu bukan tempat yang ia cari. Kota itu pusat hiruk-pikuk manusia rakus, manusia yang sibuk menimbun apa yang sering kali tidak mereka butuhkan.
Tak jauh darinya, bangunan restoran mewah berdiri terang benderang. Mobil-mobil berbaris. Pengunjung masuk berpakaian bagus dan berwajah senang. Mereka makan, tetapi kerap tidak menghabiskan, dan Pak Tua tahu ke mana sisa-sisanya akan berakhir: tong sampah di belakang dapur.
Benar saja. Di belakang dapur restoran, seorang pelayan muncul dengan kantong sampah besar. Ia membuang makanan sisa ke dalam tong. Makanan jatuh bertumpuk-tumpuk. Inilah momen yang ditunggu-tunggu anjing-anjing liar. Surga kecil mereka baru saja dihidangkan.
Pak Tua mendekat hati-hati. Ia mengamati para anjing yang mulai berdatangan, beberapa di antaranya mengendus-endus di dekat tong sampah. Ia menjaga jarak dari tong sampah agar kehadirannya tidak dianggap sebagai ancaman oleh anjing-anjing itu. Pelan-pelan ia memungut apa yang ia perlukan---sepotong tulang sapi tersisa sedikit daging, roti sisa gigitan, dan beberapa helai sayuran layu.
Kini, ia duduk di atas tanah dingin, lalu mengunyah makanan dengan tenang. Di hadapannya, para anjing liar sedang sibuk berpesta. Mereka berebut makanan dengan naluri primitif, saling menggeram, dan saling menggigit jika merasa terancam. Seekor anjing besar berbulu hitam mendominasi tumpukan makanan. Ia menyalak keras ke anjing-anjing yang lebih kecil, menghalau mereka dari "hartanya".
Pak Tua memandangi mereka dalam diam. Di benaknya, pikiran-pikiran mulai berbicara, lalu perlahan-lahan berubah menjadi dialog yang hidup.
Bagaimana mungkin mereka hidup seperti ini? Mengais sisa-sisa dari kerakusan manusia. Apakah mereka lebih hina daripada manusia itu sendiri?Â
Ia menatap seekor anjing kecil berbulu cokelat burik, sedang menggigit tulang dari tangan anjing lain. Ia tersenyum miris. "Kau juga rakus, ya?" gumamnya, seolah-olah berbicara pada anjing itu.
"Kami hanya lapar."
Pak Tua tertegun. Suara itu bukan dari anjing di sekitarnya---ia tahu itu gema dari dalam dirinya sendiri.
"Lapar?" Ia mengulang kata itu, menyipitkan mata. "Manusia juga lapar. Lapar harta, lapar kekuasaan, lapar kehormatan."
"Kami makan untuk bertahan hidup," balas suara itu lagi. "Tidak seperti manusia, yang rakus tanpa batas."
Pak Tua tertawa getir. "Jadi kau pikir kalian lebih mulia daripada manusia?"
"Kami tidak berpikir soal mulia atau hina. Itu urusan kalian, manusia. Kami hanya hidup sesuai dengan apa adanya kami. Tanpa pura-pura. Tanpa tipu daya," jawab suara itu dingin.
Pak Tua mencomot roti sambil merenungkan kata-kata itu. "Tetapi kalian juga berebut, saling menggigit, melukai sesama untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan. Bukankah itu sama saja dengan manusia?"
Suara itu terdiam sejenak, seperti sedang berpikir, lalu menjawab. "Mungkin. Tetapi, kami tidak menghakimi seperti manusia."
Pak Tua terkesiap. "Menghakimi? Kau pikir manusia hanya pandai menghakimi?"
"Bukankah itu yang kau lakukan sekarang?" balas suara itu tajam. "Kau menghakimi kami, menghakimi manusia lain, bahkan, menghakimi dirimu sendiri."
Mendengar itu, tangan keriput Pak Tua yang memegang tulang mendadak gemetar. Ia menatap anjing-anjing itu lagi, kali ini dengan pandangan berbeda. Apa benar aku sedang menghakimi? pikirnya.
"Kau berjalan ke pasar dengan lentera menyala di siang bolong mencari manusia, tetapi apa yang kau temukan? Cermin. Kau melihat kebusukan manusia, padahal sebenarnya itu pantulan dari kebusukanmu sendiri."
Pak Tua tersentak. Ia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. "Aku telah meninggalkan semua hartaku, kemewahanku, dan strata sosialku. Aku hidup sederhana. Bagaimana mungkin kau menyebutku busuk?"
"Karena di dalam dirimu masih ada kebanggaan," jawab suara itu tegas. "Kebanggaan bahwa kau lebih baik daripada mereka yang kau tinggalkan. Kebanggaan bahwa kau lebih murni, lebih jujur, lebih benar. Kau tidak hidup zuhud; kau hidup dalam kesombongan yang dibungkus kerendahan hati paling munafik."
Kata-kata itu menghantam Pak Tua seperti palu. Dadanya sesak. Ia mencoba membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Anjing-anjing itu, bak mengerti bahwa sesuatu sedang terjadi, berhenti sejenak dari pesta mereka, lalu menyeringai ke arah Pak Tua.
"Jadi ... apa yang harus kulakukan?" tanya Pak Tua, nyaris berbisik.
"Hiduplah tanpa berpura-pura menjadi apa pun. Tanpa merasa lebih baik, tanpa merasa lebih buruk. Temukanlah manusia di dalam dirimu sendiri."
Pak Tua menutup matanya. Pikirannya berputar-putar. "Tetapi aku tidak ingin menjadi seperti manusia lain. Mereka palsu, rakus, ... kejam."
"Dan kau pikir dirimu lebih baik?" Suara itu menyindir. "Kau telah menjadi manusia penggonggong. Sadarlah! Sesungguhnya kau adalah jelmaan terburuk dari binatang anjing sekali pun."
Pak Tua membuka matanya. Ia seperti seseorang yang baru saja menyaksikan sepahit-pahitnya kebenaran. Ia menatap potongan tulang di tangannya, lalu melemparkannya ke tanah. Anjing-anjing memperebutkannya. Parahnya, demi satu tulang itu, para anjing sampai-sampai bergumul penuh nafsu.
Pak Tua berdiri, tak peduli. Ia lebih memilih menjauhi anjing-anjing itu sebab terlanjur muak terhadap kebodohannya sendiri. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan, tanpa lentera, tanpa tujuan, tanpa kebanggaan.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan hancur sebagai manusia.
---
Shyants Eleftheria, freedom of thought
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H