Bagaimana mungkin mereka hidup seperti ini? Mengais sisa-sisa dari kerakusan manusia. Apakah mereka lebih hina daripada manusia itu sendiri?Â
Ia menatap seekor anjing kecil berbulu cokelat burik, sedang menggigit tulang dari tangan anjing lain. Ia tersenyum miris. "Kau juga rakus, ya?" gumamnya, seolah-olah berbicara pada anjing itu.
"Kami hanya lapar."
Pak Tua tertegun. Suara itu bukan dari anjing di sekitarnya---ia tahu itu gema dari dalam dirinya sendiri.
"Lapar?" Ia mengulang kata itu, menyipitkan mata. "Manusia juga lapar. Lapar harta, lapar kekuasaan, lapar kehormatan."
"Kami makan untuk bertahan hidup," balas suara itu lagi. "Tidak seperti manusia, yang rakus tanpa batas."
Pak Tua tertawa getir. "Jadi kau pikir kalian lebih mulia daripada manusia?"
"Kami tidak berpikir soal mulia atau hina. Itu urusan kalian, manusia. Kami hanya hidup sesuai dengan apa adanya kami. Tanpa pura-pura. Tanpa tipu daya," jawab suara itu dingin.
Pak Tua mencomot roti sambil merenungkan kata-kata itu. "Tetapi kalian juga berebut, saling menggigit, melukai sesama untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan. Bukankah itu sama saja dengan manusia?"
Suara itu terdiam sejenak, seperti sedang berpikir, lalu menjawab. "Mungkin. Tetapi, kami tidak menghakimi seperti manusia."
Pak Tua terkesiap. "Menghakimi? Kau pikir manusia hanya pandai menghakimi?"