Aku hanya mengangguk-angguk, menyerap ceritanya.
Ia kemudian melanjutkan, bahwa ayahnya dulu sebelum wafat, macam seorang pelarian dari dunia yang membenci kebenaran. Pena yang dipegang sang Ayah persis tombak yang siap menusuk ketidakadilan para penguasa. Bisa jadi, satu paragraf yang ditulis bapaknya dianggap deklarasi perang. Maka mereka tidak ingin tinta di kertas membawa pengaruh buruk terhadap kekuasaan yang mereka cengkeram.
"Aku tumbuh menyaksikan bagaimana kata-kata kecil dapat menggoyangkan oligarki yang mereka kira kebal. Di sanalah aku belajar tentang kekuatan tersembunyi di balik huruf-huruf." Ia berucap getir. "Tapi aku tidak ingin mengikuti jejak ekstrem Ayah. Aku memilih jalur yang lebih halus: Menulis satir ala sufi."
Aku mengangguk lagi. Kali itu aku paham apa yang ia maksud. Dalam tradisi sufisme, kata-kata digunakan untuk menyampaikan kebenaran dengan keindahan dan simbol-simbol terselubung.
Ia memang kerap mengaburkan karya-karyanya dengan banyak metafora dan puisi-puisi manis---seperti permen beracun---agar para tirani tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sasaran empuk baginya tanpa terlihat seperti serangan langsung. Kritik-kritik tajam yang ia sampaikan hanya terlihat mencolok bagi pegiat sastra yang tahu cara membaca dengan otak, bukan hanya dengan mata.
"Para munafik itu pasti asyik terbuai oleh pujian yang kau selipkan dalam satir. Mungkin mereka telah mengira, mereka adalah bintang utama dalam tulisan-tulisan Bapak," ujarku mencoba menerka-nerka jalan pikirannya.
Ia tersenyum tipis, lalu mengambil rokok lagi. Dengan gerakan yang sudah sangat akrab, ia menyalakannya dan mengisapnya lagi. Aku perhatikan---ini sudah batang ketiga---ia seperti seorang pecandu. Pernah, suatu kali ia berkata bahwa rokok membuat otaknya lebih lincah berpikir saat menulis.
Itulah dirinya. Aku sudah mengenalnya sejak menjadi muridnya. Kami sering berdiskusi tentang penulis klasik hingga pergerakan sastra modern di kancah negeri. Dari perbincangan-perbincangan itu juga, aku tahu ada beban besar yang ia pikul sebagai anak dari seorang penulis terkemuka.
Aku adalah salah satu pembaca setianya. Esai-esainya telah merambah koran nasional, cerita-ceritanya banyak diterbitkan di majalah, dan novel-novelnya pun telah mengisi rak-rak toko buku, meski tidak banyak yang benar-benar memahami apa yang ia tulis. Ia tidak peduli orang-orang suka atau tidak. Asalkan pesannya tersampaikan, baginya itu sudah cukup, kendati hanya segelintir orang yang mengerti seni berbahasa, atau setidaknya untuk pembaca yang kurang cerdas, tetapi cekat menggunakan kamus bahasa.
Namun, aku ingat salah satu momen yang paling mengecewakannya. Ketika ia menyadari satu hal yang membuatnya berang.
"Karyaku dibajak!" katanya.