Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu Saya yang Berkunjung Tadi Malam

23 Oktober 2024   22:38 Diperbarui: 24 Oktober 2024   04:30 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua orang teman yang sedang bertemu dan bercakap | sumber gambar www.istockphoto.com

Tadi malam, saya sungguh terkejut sebab kedatangan tamu tidak terduga. Sepuluh tahun kami tidak pernah lagi bertemu secara langsung, dan tiba-tiba, di ambang pintu, berdirilah Adit Satria. Kawan saya ini berkunjung tanpa ada pemberitahuan, tanpa isyarat apa pun---barangkali dia mencoba menghubungi, tetapi saya tidak yakin sebab sudah sangat lama kami tidak berkabar, di samping ponsel saya mati selama tiga jam sebelumnya---dan saya merasakan ada hawa aneh dari kemunculannya meski saya tahu dia memang sosok teman yang aneh. Dia berpakaian longgar dan rambutnya sudah memutih, bahkan terlihat menipis, padahal usia kami belum terlalu tua.

Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Saya mengajak Adit Satria masuk ke ruangan paling pribadi di rumah ini---ruang kerja. Ruangan saya itu sederhana, hanya berisi rak-rak penuh buku yang selalu menjadi sumber inspirasi saya, serta sebuah laptop di atas meja. Di situlah saya biasanya melepaskan ide-ide yang berputar di kepala, tempat saya mengembara dalam dunia menulis yang saya geluti; tempat pikiran-pikiran saya bebas mengalir tanpa gangguan.

"Tidak saya sangka, kau masih ingat saja dengan saya, Dit, " ujar saya sembari mempersilakan Adit Satria duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu.

Sebelum duduk, Adit Satria meraih salah satu buku di rak, hanya melihat-lihat isinya sekilas, dan mengembalikan buku itu ke barisan semula, lalu membalas pertanyaan saya dengan senyum tipis.

"Bagaimana mungkin saya lupa denganmu, Haris Prakarsa? Kau satu-satunya yang pernah bisa memahami pikiran saya." Suaranya terdengar lebih berat dari yang saya ingat.

"Dan saya sering tersesat di antara pemikiran-pemikiranmu yang misterius."

Adit Satria tertawa pelan, lalu mengangguk seperti mengakui sesuatu yang tidak terucapkan selama bertahun-tahun. "Dan tetap saja, kau satu-satunya yang mau mendengarkan saya." Suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan, "maka itu saya ke sini."

Saya dan Adit Satria memang berkawan lama, terhitung sejak sekolah menengah pertama, meskipun saya pun heran dan bertanya-tanya, bagaimana bisa kami menjalin kedekatan sedemikian rupa. Saya tidak pernah benar-benar memahami cara berpikirnya, apalagi dalam banyak hal, dia begitu berbeda dari kawan-kawan yang lain.

Adit Satria sering kali berbicara tentang hal-hal yang tidak biasa bagi usia kami ketika itu, yang bagi kebanyakan orang hanya memusingkan kepala, tetapi bagi dirinya, malah bisa menjadi renungan berhari-hari---belakangan saya paham bahwa apa yang dia katakan dulu ternyata merupakan pandangan filsuf mengenai nihilisme dan eksistensialisme. Entah dari mana dia mendapat pemikiran semacam itu. Tidak mengherankan jika dia akhirnya memilih kuliah di jurusan filsafat. Mungkin di sanalah tempat yang paling tepat untuk dia bisa terus bermain-main dengan keruwetan pikirannya sendiri.

Kami terdiam sejenak, hingga akhirnya Adit Satria mulai membuka percakapan kembali. "Kau masih menulis sekarang, ya?"

Saya mengangguk. "Ya, pekerjaan yang menyenangkan bagi saya."

Adit Satria menatap saya dengan tatapan yang sulit saya artikan. "Bagus. Di zaman sekarang, tulisan-tulisanmu itu---mereka butuh itu."

"Maksudmu?" Saya mendengar keganjilan dalam kalimatnya.

"Begini. Saya ragu pada dunia. Dunia ini sudah terlalu jauh dari empati. Orang-orang terlalu sibuk mengejar bayangannya sendiri. Hidup seperti parade ilusi. Semua orang berpura-pura bahagia, tapi, dalam sunyi, mereka kosong."

Begitulah Adit Satria yang saya kenal. Dia selalu punya pandangan yang dalam tentang hidup. Terkadang, ada pesimistis yang menyelip di antara kata-katanya.

"Saya mencoba menulis tentang empati, tentang bagaimana kita seharusnya saling merangkul." Saya berusaha meyakinkannya mengenai idealisme yang selalu saya pegang.

Namun, tiba-tiba Adit Satria menatap saya tajam, seperti meragukan apa yang saya katakan. "Kau menulis tentang empati? Apa gunanya bicara tentang empati, jika di sekeliling kita, semua orang begitu sibuk mengurus diri sendiri hingga lupa pada mereka yang menderita tepat di depan mata?"

Saya terhenyak dengan kalimat retorisnya dan tidak menyangka tanggapannya sekeras itu. "Saya mengerti maksudmu, Dit. Namun, saya percaya pada kebaikan di dalam setiap orang. Dunia mungkin makin dingin, tetapi masih ada mereka yang tulus. Bukankah itulah yang membuat kita terus bertahan?"

Adit Satria menggeleng-geleng pelan.

"Kebaikan? Apa itu kebaikan? Sering kali, orang-orang baik hanya jadi pion dalam catur kehidupan. Mereka diabaikan, diremehkan. Dalam dunia yang begitu cepat dan tidak sabar, siapa yang punya waktu untuk peduli? Kita hanya berpegangan pada ilusi bahwa kebaikan kita akan diingat, tapi nyatanya, kita semua akan dilupakan."

Kalimat itu menghantam saya. Sebagai penulis, saya sering kali merasa yakin bahwa kebaikan dan empati adalah sesuatu yang perlu ditulis, diteruskan, dan dibagikan. Namun, Adit Satria telah membuat saya meragukan hal itu. Apakah saya benar-benar berhasil? Atau saya hanya berbicara tentang sesuatu yang palsu?

"Jangan terlalu pesimis. Kau mungkin benar bahwa sebagian besar orang hanya peduli pada diri mereka sendiri. Tapi ingatlah, dunia ini tidak seluruhnya hitam. Masih ada ruang bagi mereka yang ingin berbagi kebaikan."

Adit Satria mendadak terbahak-bahak. Tawa itu kasar dan saya tidak suka mendengarnya. Caranya tertawa seperti menghina, seolah-olah apa yang saya katakan hanyalah lelucon konyol. Ketika tawanya mereda, dia berkata dengan masih menyisakan tawa itu.

"Apakah ada? Apa kita tidak hanya sedang bermimpi? Dalam mimpi, semuanya terasa mungkin. Nah, begitu kita terjaga, yang tersisa hanyalah kesendirian. Orang-orang begitu tenggelam dalam ambisi, dalam obsesi akan materi, hingga lupa pada siapa pun yang mencoba menyentuh mereka." Selanjutnya, dia seperti mengejek saya. "Lihat dirimu, kau menulis tentang empati, padahal kau tidak benar-benar merasakannya."

Saya menelan ludah dan perasaan saya telah terganggu oleh pernyataannya yang menyengat. "Dengar, Dit. Saya mungkin tidak sempurna. Tidak ada salahnya jika saya berusaha, kan?"

Adit Satria tampak tidak begitu puas dengan jawaban saya. Matanya menyipit, seakan-akan kata-kata saya tidak cukup baginya. 

"Empati bukan tentang menulis atau bicara, kawan. Empati adalah tentang hadir. Tentang benar-benar merasa sakitnya dunia di setiap tarikan dan embusan napas. Jika kita tidak merasakannya di hati kita, tulisan kita hanyalah hiasan kosong."

Saya mulai terliputi emosi. Adit Satria seperti hendak membantai saya sehingga sesuatu di dalam diri saya bergolak. Saya tidak bisa terima. "Saya menulis tentang harapan. Mengapa kau bicara seolah-olah segalanya sia-sia?"

Adit Satria tertawa lagi. Namun, kali ini suaranya terdengar lebih menyerupai tangisan yang tidak terdengar. "Bukan segalanya sia-sia, kawan. Hidup ini absurd. Kau menulis tentang harapan. Mengertikah bahwa harapan itu sendiri pisau bermata dua? Kita berharap agar hidup ini punya makna, hanya, kadang-kadang makna itu tidak ada, kawan."

Saya lantas diam. Dalam percakapan ini, saya merasa kalah. Kata-katanya bagai menembus tubuh saya, merobek keyakinan saya tentang kehidupan. Adit Satria tampak seperti seseorang yang telah lama berjuang dalam kesunyian dan kesendirian. Meskipun saya mencoba melawan pandangan gelapnya, diam-diam hati saya bertanya: Apakah dia benar?

Saya mencoba mengalihkan pembicaraan ke kenangan lama. "Kau pernah bicara tentang absurditas hidup ketika kita masih remaja. Saya tidak pernah menduga kalau kau masih memikirkannya hingga sekarang."

Adit Satria menghela napas, berat yang terdengar seperti napas terakhir. "Kadang-kadang, saya merasa tidak berada di dunia ini. Semua terasa asing. Saya terjebak di antara pemikiran-pemikiran besar. Sialnya, tidak ada yang benar-benar bisa saya perbaiki."

"Mengapa kau tidak pernah menghubungi kami, kawan-kawanmu? Kami akan senang mendengar kabar darimu. Kau tidak sendiri, Dit." Saya mencoba menghiburnya, walau suara saya mungkin terdengar hampa di telinganya.

Adit Satria memandang saya dengan sorot mata sayu. Dia lelah. Kelelahan itu terlihat jelas menggantung di wajahnya. "Kalian tidak tahu. Jiwaku sudah lama tiada."

Kata-katanya itu seketika membuat suasana hening. Saya merasa bak kehilangan sesuatu yang tidak bisa saya genggam. Malam tadi, ada sesuatu yang tenggelam di antara percakapan kami---sesuatu yang mungkin tidak pernah benar-benar saya mengerti. Kami berbicara lama, makin lama, hingga kata-kata saya makin sedikit. Menjelang tengah malam, saya membiarkan Adit Satria berbicara sendiri bagaimana dia merasa semua ini hanya sebuah lingkaran tanpa ujung dan saya mendengarkan dengan hati yang tidak menentu.

"Maafkan saya, Dit," bisik saya merasa bersalah.

Adit Satria hanya diam. Setelah beberapa saat, dia pamit. Saya menawarkan dia untuk menginap, tetapi dia menolak sebab katanya ingin mengunjungi lebih banyak keluarga. Akhirnya, kami berpelukan, erat, dan entah, mengapa begitu menyesakkan. Saya lantas menemaninya sampai pintu, dan saat ia pergi dengan mobil tuanya, tubuh saya seperti tercerabut karena merasa kehilangan sahabat saya lagi---untuk kedua kalinya.

Saya menyadari bahwa selama ini, saya hanya sibuk berbicara tentang empati, tanpa betul-betul merasakannya. Saya bahkan tidak pernah tahu betapa sunyi Adit Satria, betapa dia dalam kesakitannya.

Sepanjang pembicaraan malam tadi, Adit Satria sering berbicara tentang rasa keterasingan dan absurditas hidup, tetapi saya hanya bisa mendengarkan. Mungkin benar kata Adit Satria, di tengah dunia yang sibuk ini, kita semua hanya peduli pada diri kita sendiri, terlalu sibuk mengejar duniawi tanpa menyadari orang-orang yang di sekitar kita membutuhkan kita.

Pagi ini, saya baru menyadari telah kehilangan kesempatan terakhir untuk benar-benar peduli. Dan ironisnya, kesadaran saya itu muncul setelah semuanya terlambat. Saat saya menyalakan ponsel, ternyata notifikasi telah menumpuk di layar dan membuat jantung saya berhenti sejenak. Syok.

: Adit Satria meninggal tadi malam sekitar pukul sepuluh di rumahnya karena bunuh diri.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun