"Jangan terlalu pesimis. Kau mungkin benar bahwa sebagian besar orang hanya peduli pada diri mereka sendiri. Tapi ingatlah, dunia ini tidak seluruhnya hitam. Masih ada ruang bagi mereka yang ingin berbagi kebaikan."
Adit Satria mendadak terbahak-bahak. Tawa itu kasar dan saya tidak suka mendengarnya. Caranya tertawa seperti menghina, seolah-olah apa yang saya katakan hanyalah lelucon konyol. Ketika tawanya mereda, dia berkata dengan masih menyisakan tawa itu.
"Apakah ada? Apa kita tidak hanya sedang bermimpi? Dalam mimpi, semuanya terasa mungkin. Nah, begitu kita terjaga, yang tersisa hanyalah kesendirian. Orang-orang begitu tenggelam dalam ambisi, dalam obsesi akan materi, hingga lupa pada siapa pun yang mencoba menyentuh mereka." Selanjutnya, dia seperti mengejek saya. "Lihat dirimu, kau menulis tentang empati, padahal kau tidak benar-benar merasakannya."
Saya menelan ludah dan perasaan saya telah terganggu oleh pernyataannya yang menyengat. "Dengar, Dit. Saya mungkin tidak sempurna. Tidak ada salahnya jika saya berusaha, kan?"
Adit Satria tampak tidak begitu puas dengan jawaban saya. Matanya menyipit, seakan-akan kata-kata saya tidak cukup baginya.Â
"Empati bukan tentang menulis atau bicara, kawan. Empati adalah tentang hadir. Tentang benar-benar merasa sakitnya dunia di setiap tarikan dan embusan napas. Jika kita tidak merasakannya di hati kita, tulisan kita hanyalah hiasan kosong."
Saya mulai terliputi emosi. Adit Satria seperti hendak membantai saya sehingga sesuatu di dalam diri saya bergolak. Saya tidak bisa terima. "Saya menulis tentang harapan. Mengapa kau bicara seolah-olah segalanya sia-sia?"
Adit Satria tertawa lagi. Namun, kali ini suaranya terdengar lebih menyerupai tangisan yang tidak terdengar. "Bukan segalanya sia-sia, kawan. Hidup ini absurd. Kau menulis tentang harapan. Mengertikah bahwa harapan itu sendiri pisau bermata dua? Kita berharap agar hidup ini punya makna, hanya, kadang-kadang makna itu tidak ada, kawan."
Saya lantas diam. Dalam percakapan ini, saya merasa kalah. Kata-katanya bagai menembus tubuh saya, merobek keyakinan saya tentang kehidupan. Adit Satria tampak seperti seseorang yang telah lama berjuang dalam kesunyian dan kesendirian. Meskipun saya mencoba melawan pandangan gelapnya, diam-diam hati saya bertanya: Apakah dia benar?
Saya mencoba mengalihkan pembicaraan ke kenangan lama. "Kau pernah bicara tentang absurditas hidup ketika kita masih remaja. Saya tidak pernah menduga kalau kau masih memikirkannya hingga sekarang."
Adit Satria menghela napas, berat yang terdengar seperti napas terakhir. "Kadang-kadang, saya merasa tidak berada di dunia ini. Semua terasa asing. Saya terjebak di antara pemikiran-pemikiran besar. Sialnya, tidak ada yang benar-benar bisa saya perbaiki."